URL: www.pejuangislam.com
Email: editor@pejuangislam.com
 
Halaman Depan >>
 
 
Pengasuh Ribath Almurtadla Al-islami
Ustadz H. Luthfi Bashori
 Lihat Biografi
 Profil Pejuang Kaya Ide
 Imam Abad 21
 Info Asshofwah
Karya Tulis Pejuang


 
Ribath Almurtadla
Al-islami
 Pengasuh Ribath
 Amunisi Dari Tumapel
 Aktifitas Pengasuh
 Perjuangan Pengasuh
 Kalender Ribath
Pesantren Ilmu al-Quran (PIQ)
 Sekilas Profil
 Program Pendidikan
 Pelayanan Masyarakat
 Struktur Organisasi
 Pengasuh PIQ
 
Navigasi Web
Karya Tulis Santri
MP3 Ceramah
Bingkai Aktifitas
Galeri Sastra
Curhat Pengunjung
Media Global
Link Website
TV ONLINE
Kontak Kami
 
 
 Arsip Teriakan Pejuang
 
SETAN BISU & SETAN BICARA 
  Penulis: Pejuang Islam  [7/8/2025]
   
AYOO SHALAT MALAM ! 
  Penulis: Pejuang Islam  [4/8/2025]
   
KOMUNIKASI DI MEJA MAKAN 
  Penulis: Pejuang Islam  [28/7/2025]
   
SUJUD SYUKUR 
  Penulis: Pejuang Islam  [27/7/2025]
   
MENGALAHKAN HAWA NAFSU 
  Penulis: Pejuang Islam  [20/7/2025]
   
 
 Book Collection
 (Klik: Karya Tulis Pejuang)
Pengarang: H. Luthfi B dan Sy. Almaliki
Musuh Besar Umat Islam
Konsep NU dan Krisis Penegakan Syariat
Dialog Tokoh-tokoh Islam
Carut Marut Wajah Kota Santri
Tanggapan Ilmiah Liberalisme
Islam vs Syiah
Paham-paham Yang Harus Diluruskan
Doa Bersama, Bahayakah?
 
 WEB STATISTIK
 
Hari ini: Senin, 22 September 2025
Pukul:  
Online Sekarang: 5 users
Total Hari Ini: 206 users
Total Pengunjung: 6224318 users
 
 
Untitled Document
 PEJUANG ISLAM - MEDIA GLOBAL
 
 
Sekularisme: Dari Roma ke Aceh 
Penulis: Anugrah Roby Syahputra [16/6/2013]
 
Sekularisme: Dari Roma ke Aceh

Anugrah Roby Syahputra

SEKULARISME adalah tema yang tak henti dikaji. Mulai dari akademisi di perguruan tinggi, hingga menjadi topik pembicaraan para penikmat warung kopi. Wacana ini merupakan paham yang lahir dari rahim peradaban Barat. Oleh karenanya, untuk memahami hakikat sekularisme, kita harus menilik langsung pada sejarah masa lalu Barat yang banyak didominasi oleh kekuasaan Gereja Katolik.

Bermula dari Sejarah Hegemoni Gereja

Hegemoni Kristen di Eropa berawal dari kebijakan politik strategis Kaisar Konstantin, Edict of Milan yang hendak mendamaikan kaum pagan Romawi yang merupakan mayoritas, dengan penganut Kristen yang baru berkembang di negerinya. Konstantin pulalah yang menginisiasi diadakannya Konsili Nicea yang memberikan pengaruh besar dalam sejarah kekristenan dan “menyumbangkan” kota Roma sebagai pusat agama Kristen.

Puncaknya, pada tahun 392 M, Kristen resmi menjadi agama Negara (state religion) bagi Kekaisaran Romawi (Roman Empire). Sejak itulah kemudian, Kristen begitu dahsyat mewarnai peradaban Eropa. Bahkan, ketika Romawi runtuh pada tahun 476, kekuasaan Tahta Suci Vatikan tetap tegak sebagai pemersatu Eropa. Seluruh wilayah bekas kekuasaan Romawi tunduk pada mereka. Bahkan, Gereja tetap memegang kuasa untuk mengangkat, memecat, mengasingkan, sampai mengutuk raja-raja.

Namun, justru di sanalah sejarah kelam itu bermula. Saat itu, muncul noktah hitam yang tak pernah bisa dihapus dari sejarah Kristen-Barat, yaitu Inkuisisi. Sepanjang lebih kurang 350 tahun, tak kurang empat juta orang menjadi korban penyiksaan lembaga Inkuisisi. Peter De Rosa dalam Vicars of Christ memaparkan adanya korban yang dibakar hidup-hidup, matanya dicungkil, lidahnya dipotong, kepalanya diremukkan, vaginanya dibor dan aneka siksaan tak beradab lainnya. Semua itu dilakukan karena orang-orang tersebut dianggap melawan titah Gereja.

Karen Armstong dalam Holy War: The Crusades and Their Impact on Today’s World menyebutnya sebagai “intitusi gereja paling jahat” dan “instrumen teror Gereja Katolik”. Selain tindakan represif tersebut, skandal seks yang melibatkan para Paus dan perilaku korup seperti penjualan pengampunan dosapun semakin mengokohkan suara perlawanan masyarakat Kristen terhadap Gereja.Trauma sejarah yang disebut dark-age ini merupakan salah satu alasan Barat memilih jalan hidup sekular-lilberal.

Sampai-sampai seorang psikolog kenamaan, Scott Peck menerangkan bahwa jika kata “agama” disebut di dunia Barat, maka akan membuat orang berpikir tentang inkuisisi, tahayul, paham dogmatis, munafik, benar sendiri, pembakaran buku dan sebagainya.

Wajarlah jika persepsi kolektif yang demikian membuat Barat bersepakat tentang perlunya sekularisasi. Agama harus dipisahkan dari negara, karena kekuasaan Gereja yang absolut sudah terbukti diselewengkan untuk kepentingan elit agama.

Sekularisme dalam Perspektif Islam

Dalam Islam dan Sekularisme, Sayyid Naquib Al-Attas menukil “The Secular City” karya Harvey Cox yang menegaskan bahwa sekularisme adalah sebuah ideologi, seperti agama yang merupakan pandangan alam (world-view) tertutup dan paham nilai yang mutlak. Sementara sekularisasi dimaknai Sayyid Al-Attas sebagai penghilangan pesona dari alam tabi’i (disenchantment of nature), peniadaan kesucian dan kewibawaan agama dari politik (desacralization of politics) dan penghapusan kesucian dan kemutlakan nilai agama dari kehidupan (desacralization of values).

Tentulah kemudian sekularisme tak mendapat tempat dalam ajaran Islam. Sebab, sekularisme sendiri bertujuan untuk memisahkan agama -termasuk Islam- dari kehidupan. Agama bukan saja dilarang berpolitik, tapi juga dilarang mempengaruhi nilai-nilai kehidupan. Jelas saja ini bertentangan dengan begitu banyak ayat Al-Qur’an yang menegaskan kesempurnaan Islam seperti ayat terakhir yang diwahyukan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, “Pada hari ini telah Kusempurnakan Islam sebagai agama bagimu...” (QS. Al-Maidah: 3).

Selain itu, kaum muslimin juga diwajibkan masuk Islam secara totalitas, alias tidak setengah-setengah seperti termaktub dalam Surat Al-Baqarah ayat 208, “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara kaffah (menyeluruh). Dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.”

Wajarlah jika kemudian Majelis Ulama Indonesia dalam Musyawarah Nasional tahun 2005 mengeluarkan fatwa tentang haramnya sekularisme. Sebab, sekularisme bersama pluralisme dan liberalisme telah menyimpang dari aqidah Islam. Program sekularisasi yang sudah berjalan tanpa sadar telah menggerogoti keteguhan keyakinan ummat Islam kepada agamanya. Bahkan ideologi yang bersandar pada nilai liberalisme ini lebih berbahaya.

Sebabnya, jika pelaku maksiat yang berbuat keji dan munkar menyadari bahwa perbuatannya adalah dosa, maka penganut ajaran sekularisme ini meyakini bahwa semua pemikiran adalah sebuah kebenaran. Mereka yakin bahwa yang mereka sebarluaskan adalah “pemahaman Islam yang benar”, maka mereka menganggap dirinya sedang beramal shalih, bukan sedang berlaku keliru.

Merasuk Istanbul, Jakarta Sampai Aceh

Di dunia Islam, ideologi sekularisme dan gerakan sekularisasi menemukan takdir kesuksesannya ketika Kekhalifahan Utsmani runtuh pada tahun 1924. Mustafa Kemal Attaturk dengan sokongan Zionis berhasil menciptakan negara Turki Modern yang sekuler. Di sana, sekularisme tampil dengan wajah garang menggusur semua atribut keagamaan kaum muslimin. Muslimah dilarang mengenakan jilbab di ruang publik, adzan harus dikumandangkan dalam bahasa Turki, aksara hijaiyah dieliminasi, diganti dengan alfabet Latin. Bahasa Arab dan Persia dihilangkan dari kurikulum pendidikan, diganti bahasa Urdu. Libur hari Jumat diganti ke hari Minggu. Bahkan, sejumlah masjid coba dikonversi menjadi gereja demi mengurangi pengaruh Islam dalam kehidupan sosial. Jelas saja ini menjadi kenyataan pahit bagi ummat Islam. Almarhum Ahmad Sumargono, aktivis Dewan Dakwah dalam I am A Fundamentalist menyebut kebengisan ini sebagai “Primitive Kemalism”.

Jika ditelusuri ke belakang, gagasan sekular telah dimulai oleh Presiden Soekarno. Kalangan ulama pun gerah dan memberikan kritik. Seperti A. Hassan, Natsir dan Hamka. Bahkan Mohammad Natsir pernah menyindir ide sekular-liberal Soekarno sebagai “akal merdeka yang salah pasang”. Namun, secara simbolik pemikiran sekular di Indonesia ditandai dengan pernyataan populer Nurcholish Madjid “Islam Yes, Partai Islam No!”. Dengan kemasan “pembaharuan Islam” bersama gembong liberalnya, NM menolak Islam masuk ke ranah politik. Charlez Kurzman dalam Wacana Islam Liberal menukil pendapatnya.

Apologi bahwa Islam adalah ad-dien, bukan agama semata-mata, melainkan juga meliputi bidang lain menurutnya tidaklah benar. Ia berdalih ada inkonsistensi bahasa, meragukan ketegasan Al-Qur’an soal politik hingga tuduhan sikap inferiority complex. Semua alasan-alasan itu tegas dibantah dalam Hartono Ahmad Jaiz dalam Bahaya Islam Liberal. “ Walaupun diputar-putar, intinya sama, menolak syariat Islam.”

Hingga kini, ideologi sekularisme terus berkembang secara terstruktur di seluruh wilayah Republik Indonesia. Termasuk sampai ke provinsi Aceh yang digadang-gadang sebagai prototype penegakan syariat Islam di Indonesia. Sayangnya, proses distribusi aqidah sekularisme ini tidak disadari oleh mayoritas kaum muslimin. Padahal, realitasnya sekularisme ini terpampang jelas di depan mata.

Misalnya saja tentang kelahiran partai politik lokal pasca MoU Helsinki yang kebanyakan tidak berasas Islam. Tercatat hanya PDA yang secara resmi menjadikan Islam sebagai asas. Selain itu, terkatung-katungnya pengesahan Qanun Jinayah dan Qanun Acara Jinayah juga menjadi bukti suksesnya ideologi sekularisme. Apalagi sampai ada statement yangmenyatakan bahwa syariat Islam di Aceh bertentangan dengan HAM dan konvensi hukum internasional karena adanya hukum cambuk.

Di sisi lain, di kampus-kampus terjadi persemaian ideologi sekularisme ini, baik secara formal melalui kurikulum perguruan tinggi, maupun secara non-formal melalui kajian-kajian yang dibuat untuk mempropagandakan ide-ide sekularisme. Pemikiran sekular pada awalnya ditolak oleh kultur Aceh yang kata sebuah hadih maja (peribahasa Aceh): “agama ngon adat lagee dzat ngon sifeut”.

Namun perlahan dengan kemampuan agen-agennya beretorika dan mengolah kata, tampilan mereka yang terkesan intelektual itu tak sedikit mempengaruhi anak-anak muda yang masih dalam proses pencarian jati diri. Karena kepiawaiannya berdebat dan menggunakan kosa kata asing yang kelihatan ilmiah, ada saja yang mulai tertarik pada pemikiran Sekular-Liberal dari guru-guru mereka seperti Mohamed Arkoun, Nasr Hamid Abou Zayd, Ashgar Ali Engineer dan Abdallah Laroui.

Berbungkus “kajian agama dan filsafat” atau “diskusi Islam Warna-Warni”, ideologi yang sesungguhnya rapuh ini mencoba meraih simpati pelajar Aceh. Tanpa disadari, pelan-pelan nilai sekularisme-liberalisme itu mulai dicelupkan. Apalagi para pejuangnya rajin menuangkan pendapatnya di media massa baik cetak dan online, mengisi kajian agama di radio, menerbitkan jurnal, menuliskan dalam bentuk buku dan selalu mengampanyekannya lewat jejaring sosial. Sampai-sampai peneliti Aceh Institute, Fuad Mardhatillah berani menggagas ide “Islam Protestan” dan seorang alumni Qom, Affan Ramli tak gentar mencoba “Merajam Dalil Syariat.”

Kalau dari sekarang kita tidak membentengi aqidah, maka gagasan sekular akan mudah berinkubasi di bumi Iskandar Muda tersebut. Sudah sepatutnya kalangan ulama, ormas Islam dan organisasi mahasiswa Islam bersatu padu merapatkan shaf untuk membina ummat agar bisa memfilter mana yang haq dan mana yang bathil. Wallahua’lamu bish-shawab.

suaraaceh.com

   
 Isikan Komentar Anda
   
Nama 
Email 
Kota 
Pesan/Komentar 
 
 
 
 
Kembali Ke Index Berita
 
 
  Situs © 2009-2025 Oleh Pejuang Islam