Sekularisme: Dari Roma ke Aceh
Anugrah Roby Syahputra
SEKULARISME adalah tema yang tak henti dikaji. Mulai dari akademisi di perguruan tinggi, hingga menjadi topik pembicaraan para penikmat warung kopi. Wacana ini merupakan paham yang lahir dari rahim peradaban Barat. Oleh karenanya, untuk memahami hakikat sekularisme, kita harus menilik langsung pada sejarah masa lalu Barat yang banyak didominasi oleh kekuasaan Gereja Katolik.
Bermula dari Sejarah Hegemoni Gereja
Hegemoni Kristen di Eropa berawal dari kebijakan politik strategis Kaisar Konstantin, Edict of Milan yang hendak mendamaikan kaum pagan Romawi yang merupakan mayoritas, dengan penganut Kristen yang baru berkembang di negerinya. Konstantin pulalah yang menginisiasi diadakannya Konsili Nicea yang memberikan pengaruh besar dalam sejarah kekristenan dan “menyumbangkan” kota Roma sebagai pusat agama Kristen.
Puncaknya, pada tahun 392 M, Kristen resmi menjadi agama Negara (state religion) bagi Kekaisaran Romawi (Roman Empire). Sejak itulah kemudian, Kristen begitu dahsyat mewarnai peradaban Eropa. Bahkan, ketika Romawi runtuh pada tahun 476, kekuasaan Tahta Suci Vatikan tetap tegak sebagai pemersatu Eropa. Seluruh wilayah bekas kekuasaan Romawi tunduk pada mereka. Bahkan, Gereja tetap memegang kuasa untuk mengangkat, memecat, mengasingkan, sampai mengutuk raja-raja.
Namun, justru di sanalah sejarah kelam itu bermula. Saat itu, muncul noktah hitam yang tak pernah bisa dihapus dari sejarah Kristen-Barat, yaitu Inkuisisi. Sepanjang lebih kurang 350 tahun, tak kurang empat juta orang menjadi korban penyiksaan lembaga Inkuisisi. Peter De Rosa dalam Vicars of Christ memaparkan adanya korban yang dibakar hidup-hidup, matanya dicungkil, lidahnya dipotong, kepalanya diremukkan, vaginanya dibor dan aneka siksaan tak beradab lainnya. Semua itu dilakukan karena orang-orang tersebut dianggap melawan titah Gereja.
Karen Armstong dalam Holy War: The Crusades and Their Impact on Today’s World menyebutnya sebagai “intitusi gereja paling jahat” dan “instrumen teror Gereja Katolik”. Selain tindakan represif tersebut, skandal seks yang melibatkan para Paus dan perilaku korup seperti penjualan pengampunan dosapun semakin mengokohkan suara perlawanan masyarakat Kristen terhadap Gereja.Trauma sejarah yang disebut dark-age ini merupakan salah satu alasan Barat memilih jalan hidup sekular-lilberal.
Sampai-sampai seorang psikolog kenamaan, Scott Peck menerangkan bahwa jika kata “agama” disebut di dunia Barat, maka akan membuat orang berpikir tentang inkuisisi, tahayul, paham dogmatis, munafik, benar sendiri, pembakaran buku dan sebagainya.
Wajarlah jika persepsi kolektif yang demikian membuat Barat bersepakat tentang perlunya sekularisasi. Agama harus dipisahkan dari negara, karena kekuasaan Gereja yang absolut sudah terbukti diselewengkan untuk kepentingan elit agama.
Sekularisme dalam Perspektif Islam
Dalam Islam dan Sekularisme, Sayyid Naquib Al-Attas menukil “The Secular City” karya Harvey Cox yang menegaskan bahwa sekularisme adalah sebuah ideologi, seperti agama yang merupakan pandangan alam (world-view) tertutup dan paham nilai yang mutlak. Sementara sekularisasi dimaknai Sayyid Al-Attas sebagai penghilangan pesona dari alam tabi’i (disenchantment of nature), peniadaan kesucian dan kewibawaan agama dari politik (desacralization of politics) dan penghapusan kesucian dan kemutlakan nilai agama dari kehidupan (desacralization of values).
Tentulah kemudian sekularisme tak mendapat tempat dalam ajaran Islam. Sebab, sekularisme sendiri bertujuan untuk memisahkan agama -termasuk Islam- dari kehidupan. Agama bukan saja dilarang berpolitik, tapi juga dilarang mempengaruhi nilai-nilai kehidupan. Jelas saja ini bertentangan dengan begitu banyak ayat Al-Qur’an yang menegaskan kesempurnaan Islam seperti ayat terakhir yang diwahyukan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, “Pada hari ini telah Kusempurnakan Islam sebagai agama bagimu...” (QS. Al-Maidah: 3).
Selain itu, kaum muslimin juga diwajibkan masuk Islam secara totalitas, alias tidak setengah-setengah seperti termaktub dalam Surat Al-Baqarah ayat 208, “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara kaffah (menyeluruh). Dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.”
Wajarlah jika kemudian Majelis Ulama Indonesia dalam Musyawarah Nasional tahun 2005 mengeluarkan fatwa tentang haramnya sekularisme. Sebab, sekularisme bersama pluralisme dan liberalisme telah menyimpang dari aqidah Islam. Program sekularisasi yang sudah berjalan tanpa sadar telah menggerogoti keteguhan keyakinan ummat Islam kepada agamanya. Bahkan ideologi yang bersandar pada nilai liberalisme ini lebih berbahaya.
Sebabnya, jika pelaku maksiat yang berbuat keji dan munkar menyadari bahwa perbuatannya adalah dosa, maka penganut ajaran sekularisme ini meyakini bahwa semua pemikiran adalah sebuah kebenaran. Mereka yakin bahwa yang mereka sebarluaskan adalah “pemahaman Islam yang benar”, maka mereka menganggap dirinya sedang beramal shalih, bukan sedang berlaku keliru.
Merasuk Istanbul, Jakarta Sampai Aceh
Di dunia Islam, ideologi sekularisme dan gerakan sekularisasi menemukan takdir kesuksesannya ketika Kekhalifahan Utsmani runtuh pada tahun 1924. Mustafa Kemal Attaturk dengan sokongan Zionis berhasil menciptakan negara Turki Modern yang sekuler. Di sana, sekularisme tampil dengan wajah garang menggusur semua atribut keagamaan kaum muslimin. Muslimah dilarang mengenakan jilbab di ruang publik, adzan harus dikumandangkan dalam bahasa Turki, aksara hijaiyah dieliminasi, diganti dengan alfabet Latin. Bahasa Arab dan Persia dihilangkan dari kurikulum pendidikan, diganti bahasa Urdu. Libur hari Jumat diganti ke hari Minggu. Bahkan, sejumlah masjid coba dikonversi menjadi gereja demi mengurangi pengaruh Islam dalam kehidupan sosial. Jelas saja ini menjadi kenyataan pahit bagi ummat Islam. Almarhum Ahmad Sumargono, aktivis Dewan Dakwah dalam I am A Fundamentalist menyebut kebengisan ini sebagai “Primitive Kemalism”.
Jika ditelusuri ke belakang, gagasan sekular telah dimulai oleh Presiden Soekarno. Kalangan ulama pun gerah dan memberikan kritik. Seperti A. Hassan, Natsir dan Hamka. Bahkan Mohammad Natsir pernah menyindir ide sekular-liberal Soekarno sebagai “akal merdeka yang salah pasang”. Namun, secara simbolik pemikiran sekular di Indonesia ditandai dengan pernyataan populer Nurcholish Madjid “Islam Yes, Partai Islam No!”. Dengan kemasan “pembaharuan Islam” bersama gembong liberalnya, NM menolak Islam masuk ke ranah politik. Charlez Kurzman dalam Wacana Islam Liberal menukil pendapatnya.
Apologi bahwa Islam adalah ad-dien, bukan agama semata-mata, melainkan juga meliputi bidang lain menurutnya tidaklah benar. Ia berdalih ada inkonsistensi bahasa, meragukan ketegasan Al-Qur’an soal politik hingga tuduhan sikap inferiority complex. Semua alasan-alasan itu tegas dibantah dalam Hartono Ahmad Jaiz dalam Bahaya Islam Liberal. “ Walaupun diputar-putar, intinya sama, menolak syariat Islam.”
Hingga kini, ideologi sekularisme terus berkembang secara terstruktur di seluruh wilayah Republik Indonesia. Termasuk sampai ke provinsi Aceh yang digadang-gadang sebagai prototype penegakan syariat Islam di Indonesia. Sayangnya, proses distribusi aqidah sekularisme ini tidak disadari oleh mayoritas kaum muslimin. Padahal, realitasnya sekularisme ini terpampang jelas di depan mata.
Misalnya saja tentang kelahiran partai politik lokal pasca MoU Helsinki yang kebanyakan tidak berasas Islam. Tercatat hanya PDA yang secara resmi menjadikan Islam sebagai asas. Selain itu, terkatung-katungnya pengesahan Qanun Jinayah dan Qanun Acara Jinayah juga menjadi bukti suksesnya ideologi sekularisme. Apalagi sampai ada statement yangmenyatakan bahwa syariat Islam di Aceh bertentangan dengan HAM dan konvensi hukum internasional karena adanya hukum cambuk.
Di sisi lain, di kampus-kampus terjadi persemaian ideologi sekularisme ini, baik secara formal melalui kurikulum perguruan tinggi, maupun secara non-formal melalui kajian-kajian yang dibuat untuk mempropagandakan ide-ide sekularisme. Pemikiran sekular pada awalnya ditolak oleh kultur Aceh yang kata sebuah hadih maja (peribahasa Aceh): “agama ngon adat lagee dzat ngon sifeut”.
Namun perlahan dengan kemampuan agen-agennya beretorika dan mengolah kata, tampilan mereka yang terkesan intelektual itu tak sedikit mempengaruhi anak-anak muda yang masih dalam proses pencarian jati diri. Karena kepiawaiannya berdebat dan menggunakan kosa kata asing yang kelihatan ilmiah, ada saja yang mulai tertarik pada pemikiran Sekular-Liberal dari guru-guru mereka seperti Mohamed Arkoun, Nasr Hamid Abou Zayd, Ashgar Ali Engineer dan Abdallah Laroui.
Berbungkus “kajian agama dan filsafat” atau “diskusi Islam Warna-Warni”, ideologi yang sesungguhnya rapuh ini mencoba meraih simpati pelajar Aceh. Tanpa disadari, pelan-pelan nilai sekularisme-liberalisme itu mulai dicelupkan. Apalagi para pejuangnya rajin menuangkan pendapatnya di media massa baik cetak dan online, mengisi kajian agama di radio, menerbitkan jurnal, menuliskan dalam bentuk buku dan selalu mengampanyekannya lewat jejaring sosial. Sampai-sampai peneliti Aceh Institute, Fuad Mardhatillah berani menggagas ide “Islam Protestan” dan seorang alumni Qom, Affan Ramli tak gentar mencoba “Merajam Dalil Syariat.”
Kalau dari sekarang kita tidak membentengi aqidah, maka gagasan sekular akan mudah berinkubasi di bumi Iskandar Muda tersebut. Sudah sepatutnya kalangan ulama, ormas Islam dan organisasi mahasiswa Islam bersatu padu merapatkan shaf untuk membina ummat agar bisa memfilter mana yang haq dan mana yang bathil. Wallahua’lamu bish-shawab.
suaraaceh.com