Kejahatan Intelektual Wahabi Terhadap Kitab ‘’AL-ADZKAR’’
Abdul Adzim Irsad
Imam Nawawi salah satu ulama paling produktif
dalam berkarya yang bermadhab Syafi`i dan berakidah As`ary. Karya-karya
beliau begitu berkualitas yang sulit ditandingi. Puluhan karya beliau
menyebar keseluruh jagad raya, termasuk di Arab Saudi. Ulama Wahhabi
miring menilai Imam Nawawi, dengan alasan karena akidahnya As`ary.
Begitu besar pengaruh tulisan Syekh Imam Nawawi, sampai-sampai menembus
batas-batas, seperti; Negara, Eropa, Asia, Afrika, Amerika. Arab Saudi
yang menjadi pusat peradapan juga mengakui kehebatan Imam Nawawi.
Tetapi, mereka mengkrtik terhadap Imam Nawawi kalau akidah Imam Nawawi
adalah As`ary, tetapi karya-karyanya digunakan bahkan di jadikan
rujukan.
Ulama Mesir, Syiria, Iran, Indonesia, Pakistan, juga mengakui bahwa
karya Imam Nawawi benar-benar top markatob. Pendeknya, Imam Nawawi
benar-benar mampu memberikan inspirasi kepada setiap ulama untuk menulis
dan berkarya.
Nawawi menulis bukan untuk royalty, karena beliau adalah penyambung lisan Rasulullah
SAW, dan berusaha menjelaskan pesan-pesan Allah SWT di dalam Al-Quran.
Dari sekian banyak karya beliau, ternyata ada yang kurang berkenan pada
ulama-ulama Saudi Arabia, yaitu kitab ‘’Al-Adzkar’’. Padahal kitab ini
menjadi kajian dan rujukan utama ulama-ulama dunia, termasuk Indonesia,
India, Mesir, dan warga Arab Saudi yang mermadhab Syafi`i.
Ketidaksukaan ulama Saudi (baca: Wahhabi) terhadap kitab ini, karena
Imam Nawawi secara khusus menyebutkan bab tentang ‘’Istihbab (anjuran)
Berziarah Ke Makam Rasulullah SAW’’.
Karena memang ziarah Nabi itu sangat dianjurkan, bahkan sunnah
hukumnya. Kebetulan sebagian besar Ulama Saudi (wahhabisme) paling anti
dengan ‘’Ziarah Nabi SAW’’. Bahkan tidak segan-segan mengecap orang yang
berniat ziarah Rasulullah SAW sekalipun sesuai dengan ajaran Nabi SAW,
dengan kata lain sebagai bentuk Syirik (menyekutukan Allah SWT).
Rupanya, Ulama Saudi ada yang tidak suka terhadap ‘’Fasl’’ tersebut.
Walaupun tidak semua ulama Saudi begitu, karena ada juga ulama Saudi
yang masih berpegang teguh pada madzhab Syafi`i dan berakidah As`ary.
Ketika tidak suka dan tidak setuju, bukannya mengkritik tulisan Imam
Nawawi dengan tulisan ilmiyah, sebagai bentuk perlawanan ilmiyah.
Tetapi, mereka justru merubahnya dengan penggantian menjadi: ’’Faslun fi
Ziyarati Masjidi Rasulillah SAW’’.
Padahal, hal yang seperti ini tidak diperkanankan dalam dunia
intelektual, baik dalam ajaran agama, maupun dunia ilmiyah, bahkan
termasuk pada kejahatan intelektual.
Jika memang tidak suka, atau menganggap bahwa berziarah kubur itu haram
dan syirik. Tidak perlu merubah karya tulis yang sudah ada. Karena hal
ini menunjukkan kalau mereka tidak memiliki nyali untuk menulis, dengan
istilah lain tidak percaya diri.
Jika boleh membandingkan, antara ulama Saudi (wahhabisme) yang merubah
kitab Al-Adzkar dengan Imam Nawawi, pasti tidak sebanding, baik ilmu
maupun zuhudnya.
Dalam tradisi ilmiyah, jika ada pihak yang tidak berkenan, bisa membuat kritikan. Bukan membuat kebohongan.
Seorang ulama sejati, tidak akan berbuat bohong. Jika seorang ulama
Suadi melakukan kebohongan, maka ilmunya tidak bisa dipercaya.
Dalam kitab Al-Adzkar yang masih asli, ternyata tulisannya berbeda dengan tulisan yang di cetak oleh ulama Wahhabi Arab Saudi.
Bahkan, setelah diteliti, ternyata yang merubah fasl dalam kitab
Al-adzkar tersebut adalah: Lembaga Hai`ah Muraqabah Al-Matbuat (Badan
Sensor Percetakan) Saudi Arabiah.
Jadi, tidak aneh jika kemudian banyak ulama-ulama yang meragukan kejujuran ulama-ulama Saudi (baca: Wahhabi).
Jujur adalah bagian dari sifat Nabi, jika tidak jurur maka tidak layak
mengaku pengikut Nabi SAW yang setia terhadap sunnah-sunnahnya.
Kendati ada ulama Saudi yang demikian, ternyata tidak semua ulama Saudi
Arabiah melakukan kebohongan. Masih banyak ulama-ulama Saudi Arabiah yang
benar-benar memegang amanah dan jujur di dalam berkarya, yaitu
ulama-ulama non Wahhabisme.