RUKYAH HILAL
Luthfi Bashori
Salah satu santri program Ramadlan di PIQ, tahun 2012 M, pada pengajian hari ke – 15 bulan Ramadlan, ada yang bertanya berkaitan dengan pemahaman hadits Shuumuu li rukyatihi wa afthiruu li rukyatihi (berpuasalah jika kalian melihat hilal/bulan tsabit, dan berlebaranlah kalian jika melihat hilal/bulan tsabit), mengapa ada perbedaan dalam prakteknya di lapangan?
Secara ringkas kami jawab: Dalam fiqih madzhab Syafi`i yang dianut oleh mayoritas bangsa Indonesia dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Man ra-al hilaal fa `alahil `amalu bih (barangsiapa yang melihat hilal, maka ia wajib mengamalkannya), alias wajib berpuasa/berlebaraan.
2. Man shaddaqa man ra-al hilaal fayajuuzul `amalu bihi (barangsiapa yang percaya terhadap orang yang melihat hilal, maka boleh dia mengamalkannya) alias boleh berpuasa/berlebaran.
3. Man ra-al hilaal wa atsbatathal hukuumah fa yajibu `ala ahlil baladi an yasuumuu au yufthiruu (barangsiapa yang melihat hilal dan ditetapkan/diresmikan oleh pemerintah, maka wajib bagi seluruh masyarakat untuk berpuasa/berlebaran.
4. Man ra-al hilaal falam tutsbithal hukuumah fa `alal raa-il `amalu bihi, wa `alal ummati bil khiyaar, man araada an yashuuma au yufthira fal yashum ua yufthira, waman araada an yastakmila tsalatsiina yauman fal yastakmil (barangsiapa yang melihat bulan, namu tidak ditetapkan/diresmikan oleh pemerintah, maka wajib mengamalkan bagi yang melihatnya, sedangkan bagi umat Islam boleh memilih antara berpuasa/ lebaran karena mempercayai adanya hilal atau tidak mempercayai adanya hilal, bagi yang percaya terhadap terlihatnya hilal maka boleh berpuasa/lebaran, bagi yang tida percaya terlihatnya hilal, maka hendaklah menggenapkan hitungan bulan Sya`ban/Ramadlannya menjadi tiga puluh hari. Alias selang satu hari berikutnya ia barulah wajib berpuasa/berlebaran.
Dengan demikian, urusan penentuan awal bulan Ramadlan dan awal bulan Syawwal sangat memungkinkan untuk berbeda antar yang satu dengan yang lainnya. Perbedaan semacam ini boleh dan lumrah terjadi di kalangan umat Islam terdahulu, namun tidak ada permasalahan yang timbul sedikitpun di antara mereka.
Namun dewasa ini justru sering terjadi kesalahfahaman dalam menyikapi perbedaan furu`iyah/ijtihadiyah yang diperbolehkan oleh syariat itu, yang terkadang malah dijadikan alat permusushan. Faktornya antara lain, lantaran keberadaan alat-alat canggih, sehingga jika ada pernyataan seseorang yang berada di ujung barat maka dapat diketahui oleh orang yang berada di ujung timur.
Sekarang ini, jika ada Tim Rukyah yang merasa berhasil merukyah hilal di Cakung Jakarta misalnya, maka karena pemberitaan Televisi, Radio dan alat canggih lainnya, maka masyarakat Jawa Timur dapat mengetahuinya, sekalipun Tim yang merukyah di Tanjung kodok Jawa Timur tidak berhasil merukyah hilal.
Padahal, dalam ajaran fiqih ada pendapat yang mengatakan: likulli masaafatil qashri rukyatul hilaal (pada setiap batas diperbolehkannya Qashar shalat (sekitar 84 km), maka boleh ada tim yang mengadakan rukyah hilal.
Artinya, tidak menutup kemungkinan pada setiap batas anggap saja 100 km, keputusan masyarakat yang berada di daerah itu akan berbeda dengan masyarakat di daerah lain untuk mulai berpuasa dan menentukan kapan berlebarannya.
Lebih kongkrit dalam penggambaran praktek fiqih di lapangan di masa lampau adalah sebagai berikut: Warga sekitar Malang kebetulan berlebaran misalnya hari Ahad, karena timnya berhasil rukyah hilal pada saat hari Sabtu menjelang Maghrib, sedangkan warga sekitar Gresik berlebaran pada hari Senin, karena timnya tidak berhasil merukyah hilal.
Untuk warga Tuban berlebaran Ahad, karena berhasil rukyah hilal, sedangkan warga Rembang berlebaran Senin karena tidak berhasil rukyah. Warga Kudus berlebaran Ahad, sedangkan warga Pekalongan berlebaran Senin, Warga Cirebon berlebaran Ahad, sedangkan warga Jakarta berlebaran Senin, demikian dan seterusnya. Karena di jaman dahulu itu tidak tersedia alat kominikasi yang canggih untuk saling menginfokan hasil rukyah masing-masing, namun menurut hukum fiqih, bahwa keputusan penetapan awal puasa maupun hari lebaran bagi umat Islam di masa lampau yang hasilnya tidak seragam itu tetap sah menurut hukum Islam, karena sesuai kaedah: Pada setiap batas diperbolehkannya Qashar shalat (sekitar 84 km), maka boleh mengadakan rukyah hilal.
Hukum bolehnya melakukan rukyah hilal dengan pengamalan di lapangan yang ternyata hasilnya variatif semacam gambaran di atas, tetap berlaku dan tidak berubah selamanya, sekalipun saat ini sudah banyak alat-alat canggih, yang dapat digunakan saling menginfokan hasil rukyah hilal dari masing-masing daerah.