DI JAMAN NABI SAW ADA ABU LAHAB
Luthfi Bahori
Pukul 10.00, saat saya pergi ke tukang bengkel mobil, saya melewati banyak pemandangan situasi kehidupan warga Malang di bulan Ramadlan yang suci dan mulia ini. Pada hari ke lima, tepatnya saat saya mengetahui di bagian roda mobil Ribath Almurtadla ada sedikit masalah, saya mengambil inisiatif segera memeriksakannya agar tidak terlambat demi keselamatan penumpang jika diperlukan.
Sejak keluar lokasi pesantren, mata saya ini tidak dapat dipungkiri menyaksikan bahwa ada sedikit kehidupan masyarakat saat ini yang berbeda dibanding hari-hari di luar bulan suci Ramadlan.
Alhamdulillah masyarakat Indonesia sekalipun belum seratus persen mengamalkan syariat yang difardlukan oleh Allah dan Rasul-Nya, namun sebagian besar masyarakat Indonesia masih peduli terhadap kewajiban mengamalkan ibadah puasa dan memulikan bulan suci Ramadlan.
Kondisi semacam itu masih tampak saya temukan setelah mencermati bagaimana tatacara mereka menghormati bulan suci Ramadlan tahun 1433 ini, minimal ada beberapa tetangga yang biasanya berjualan makanan dan minuman di sepanjang hari, saat bulan suci Ramadlan tiba, mereka merobah jam berjualan dari yang semula buka pagi hingga sore mejadi berjualan mulai waktu sore hingga malam hari.
Bahkan ada fenomena lain yang sering saya temui setiap kali datang bulan suci Ramadlan, banyak bermunculan para penjual Takjil Puasa yang tampak berjajar di sepanjang jalan jika datang waktu sore menjelang berbuka puasa. Tak peduli di jalan Raya atau di dalam kampung, jika datang waktu sore hari maka banyak bermunculan kedai-kedai mini berjualan takjil puasa itu bak jamur tumbuh di musim hujan.
Di Malang kota, saya juga melihat banyak restoran besar yang tutup di siang hari, padahal Malang dikenal sebagai kota wisata, baik wisata alami maupun wisata kuliner. Bermacam-macam jenis masakan yang ditawarkan oleh setiap rerstoran, rumah makan, warung, kedai hingga rombong dan penjual makanan keliling.
Bahkan sebagai warga asli Malang, saya sudah tidak dapat lagi menghitung berapa banyak tempat-tempat wisata kuliner yang terus bermunculan pada satu tahun terakhir ini, sepertinya hampir tiap satu bulan sekali ada tempat wisata kuliner yang baru buka di Malang.
Namun, ada hal yang perlu dibanggakan, karena di antara para pengusaha wisata kuliner itu masih banyak yang berkenan menghormati kesucian bulan Ramadlan, sekalipun kondisi warga Malang sebagai salah satu kota tujuan bagi masyarakat luar kota sudah semakin majemuk.
Mereka datang ke kota Malang Raya dengan kepentingan yang berbeda-beda dan membawa karakter yang berbeda-beda pula. Bahkan ada beberapa toko yang berjualan di selain bidang kuliner, ikut merobah jam kerja, dengan cara menunda jam buka lebih siang dibanding hari biasanya, barangkali demi menghormati jam tambahan istirahat para pegawainya yang sedang berpuasa.
Namun, saya juga tetap melihat bahwa masih ada juga beberapa warung yang nekat membuka makanannya di siang bolong, sekalipun mereka tutupi dengan kain penutup hingga tidak tampak vulgar mendasarkan barang dagangannya. Ini juga dalam konteks menghormati bulan suci Ramadlan.
Tapi dalam perjalanan itu, tiba-tiba mata saya tertumpuh pada sebuah gerobak penjual bakso keliling yang berjalan di pinggir jalan sambil membunyikan suara bambu yang diketok tik tok tik tok tik tok, dan ironisnya di mulut penjualnya tampak menghisap rokok tanpa malu-malu.
Berpikir logis, otak saya terus berputar seakan mencari akar masalah, mengapa seorang penjual bakso keliling yang secara dhahir kehidupannya belum mapan, dengan vulgar berani-beraninya tidak menghormati bulan suci Ramadlan?
Apakah si penjual bakso ini adalah warga non muslim di kota ini, atau memang seorang muslim namun jiwanya sudah menjadi liberal yang tidak ingin taat kepada aturan agamanya, sebagai umumnya penganut JIL yang tidak pernah mengindahkan aturan syariat Islam ? Hidup bebas tanpa aturan agama yang boleh membatasi gerak langka mereka sedikitpun, demikianlah semboyan hidup penganut JIL.
Pikiran itu terus bergelayut dalam otak saya, karena tidak mudah menemukan jawaban yang pasti, apalagi terkait situasi yang tidak memungkinkan saya untuk bertanya (bertabayyun) kepada si pelaku alias tukang bakso keliling yang hanya sekejab saya temukan itu.
Hanya saja timbul kesimpulan sederhana dalam benak saya, jangankan di jaman sekarang, orang seperti saya ini tidak mungkin dapat berharap agar bulan suci Ramadlan itu benar-benar suci dan bersih dari kemaksiatan dan pelanggaran syariat, lah di jaman kehidupan Nabi SAW saja ada Abu Lahab si pendusta agama yang selalu merintangi dan memusuhi dakwah Nabi SAW. Tentunya jaman ini banyak juga Abu Lahab-Abu Lahab lain yang terus bermunculan.