URL: www.pejuangislam.com
Email: editor@pejuangislam.com
 
Halaman Depan >>
 
 
Pengasuh Ribath Almurtadla Al-islami
Ustadz H. Luthfi Bashori
 Lihat Biografi
 Profil Pejuang Kaya Ide
 Imam Abad 21
 Info Asshofwah
Karya Tulis Pejuang


 
Ribath Almurtadla
Al-islami
 Pengasuh Ribath
 Amunisi Dari Tumapel
 Aktifitas Pengasuh
 Perjuangan Pengasuh
 Kalender Ribath
Pesantren Ilmu al-Quran (PIQ)
 Sekilas Profil
 Program Pendidikan
 Pelayanan Masyarakat
 Struktur Organisasi
 Pengasuh PIQ
 
Navigasi Web
Karya Tulis Santri
MP3 Ceramah
Bingkai Aktifitas
Galeri Sastra
Curhat Pengunjung
Media Global
Link Website
TV ONLINE
Kontak Kami
 
 
 Arsip Teriakan Pejuang
 
SETAN BISU & SETAN BICARA 
  Penulis: Pejuang Islam  [7/8/2025]
   
AYOO SHALAT MALAM ! 
  Penulis: Pejuang Islam  [4/8/2025]
   
KOMUNIKASI DI MEJA MAKAN 
  Penulis: Pejuang Islam  [28/7/2025]
   
SUJUD SYUKUR 
  Penulis: Pejuang Islam  [27/7/2025]
   
MENGALAHKAN HAWA NAFSU 
  Penulis: Pejuang Islam  [20/7/2025]
   
 
 Book Collection
 (Klik: Karya Tulis Pejuang)
Pengarang: H. Luthfi B dan Sy. Almaliki
Musuh Besar Umat Islam
Konsep NU dan Krisis Penegakan Syariat
Dialog Tokoh-tokoh Islam
Carut Marut Wajah Kota Santri
Tanggapan Ilmiah Liberalisme
Islam vs Syiah
Paham-paham Yang Harus Diluruskan
Doa Bersama, Bahayakah?
 
 WEB STATISTIK
 
Hari ini: Senin, 22 September 2025
Pukul:  
Online Sekarang: 5 users
Total Hari Ini: 208 users
Total Pengunjung: 6224320 users
 
 
Untitled Document
 PEJUANG ISLAM - MEDIA GLOBAL
 
 
Sekilas Ajaran Menyimpang ( Sesat ) di Kabupaten Malang Bagian 1 
Penulis: MUI Kab. Malang [22/2/2013]
 
Sekilas Ajaran Menyimpang ( Sesat ) di Kabupaten Malang

MUI Kab. Malang


Ajaran Mbah Ali Thoha (Kec. Ngajum)

Pada tanggal 10 Desember 2003, MUI Kabupaten Malang mengeluarkan Fatwa Nomor Kep 01/SKF/MUI/Kab/XII/2003 yang menyatakan bahwa ajaran Kiai Ali Thoha beserta puteranya, Abdullah Muharrar –nama lengkap Gus Harrar- adalah sesat. Media massa mulai Malang Post, Radar Malang, dan AULA  sempat menelisik ke pesantren di daerah pedalaman ini.

Kasus ini memaksa jajaran Forkorin (Tim Pakem) untuk melakukan koordinasi dan pemantauan hingga sekarang. Pada tahun 2006 misalnya,  tercatat dua kali Tim Pakem melakukan koordinasi, khusus membahas kasus ini. Ini dilakukan karena jajaran Muspida tidak menginginkan kasus Yusman Roy terulang lagi. Pada tanggal 3 Juni 2006, tiga unsur Pakem melakukan rapat koordinasi di Kejari Kabupaten Malang.

Dari koordinasi itu disepakati untuk melakukan pertemuan lanjutan dengan menghadirkan seluruh jajaran muspida dan MUI untuk mengambil beberapa tindakan kongkrit. Rencana pertemuan tersebut akhirnya terealisasi pada tanggal 6 Juni 2006 di kantor Departemen Agama dan dihadiri oleh Bupati, DPRD, Dandim, Polres, Kejari, PN, MUI, dan beberapa tokoh masyarakat.

Dari pertemuan tersebut dihasilkan kesepakatan bahwa untuk sementara kasus ini diserahkan kepada Depag dan MUI. Kedua lembaga ini diberi tugas untuk melakukan pembinaan selama tiga bulan dan akan dilakukan pertemuan lagi setelah tiga bulan mendatang. “Tapi sampai sekarang tidak ada undangan untuk membahas kasus ini lagi. Makanya saya dengar Juraimi dan Zaenuri (warga Lowokgempol) akan mengajukan surat lagi ke Kejari untuk menindaklanjuti apa yang sudah disepakati di Aula Departemen Agama sebelum ramadhan kemarin itu” ungkap KH Fadhol Hija pada Nopember tahun 2006 yang lalu. Kiai sepuh asal Ngajum ini mengaku ikut hadir dalam pertemuan di Aula Departemen Agama tanggal 6 Juni 2006.

Fatwa MUI dikeluarkan sebagai respon atas pengaduan masyarakat Ngajum tertanggal 14 September 2003 yang memberikan banyak poin tentang kesesatan ajaran Mbah Ali. Diantaranya adalah:
1. Mbah Ali mengajarkan bahwa shalat tidak wajib.
2. Selain itu adanya anjuran berpuasa seumur hidup dan berbuka dengan makan lontong, yang dapat mengganti ibadah shalat, dan dijamin masuk surga
.

Surat pengaduan juga dilayangkan kepada Depag, Pengadilan Agama dan ditembuskan kepada Bupati, Ketua DPRD dan KUA Ngajum. Surat itu juga dilampiri belasan tandatangan warga yang menuntut agar instansi terkait melakukan tindakan tegas.

Selain mendasarkan pada laporan masyarakat, Tim Pakem memiliki buku ajaran yang ditulis langsung oleh Mbah Ali. Menurut salah satu sumber, dalam buku itu selain masalah puasa dan “lontong” juga disebut tentang pandangan Mbah Ali yang dianggap oleh Tim Pakem telah melecehkan Al Qur’an dan Hadits Nabi.

Di samping masalah ajaran, keresahan masyarakat muncul karena beberapa kejadian. Misalnya kasus konflik keluarga di  Selobetiti dimana ada santri Ali Thoha yang putus hubungan keluarga karena perbedaan pemahaman agama. Ada juga kisah Khusnul Khotimah, seorang wanita alumnus MTs Wahid Hasyim Ngajum yang kini berdomisili di Sumberpucung. Khusnul -yang belakangnan disebut Syeikh karena pernah mengaku disusupi Syaikh Abdul Qadir Jaelani- adalah menantu salah seorang tokoh masyarakat di Ngajum yang karena satu alasan berpisah dengan suaminya. Khusnul kemudian nyantri di pesantren Mbah Ali (Panggilan untuk Ali Thoha).

Dalam status perkawinan yang masih sah, Khusnul dinikahkan oleh Mbah Ali dengan santrinya asal Kromengan, lalu cerai dan dinikahkan lagi dengan orang Pandaan dan sekarang menetap di Sumberpucung. Ibu dari Khusnul sangat khawatir atas nasib putrinya dan mengadu kepada beberapa Kiai di Ngajum.

Keresahan warga juga dipicu dengan santernya desas desus yang mengatakan bahwa Kiai Ali menikahi menantunya sendiri –Istri Gus Harrar yang saat ini sudah meninggal- dan punya anak yang sekarang berusia sekitar 6 tahun. Hal ini menurut pandangan para tokoh agama di Ngajum melanggar ajaran Islam. Pesantren yang dipimpin oleh Kiai yang memiliki perliku seperti itu harus ditutup karena sudah melecehkan agama.

Siapa sebenarnya Mbah Ali? Rupanya apa yang warga tahu tentang pribadi Mbah Ali tidak sebanyak yang  mereka tahu tentang ‘ajaran sesat’nya. Hal ini bisa dimaklumi karena memang keluarga Mbah Ali adalah pelaku tasawuf yang agak tertutup. Terlebih sejak tahun 2001, tepatnya satu hari sebelum Gus Dur dilengerkan melalui SI MPR, Mbah Ali pamit kepada putranya, Gus Harrar untuk uzlah.

Karenanya sejak saat itu Mbah Ali tidak pernah menemui tamu dan jarang memberi tausyiyah kepada para santri. Urusan pesantren kemudian diserahkan kepada Gus Harrar, putera keduanya. Meski begitu Mbah Ali tetap memberikan bimbingan spiritual kepada beberapa santri yang sedang bermujahadah dalam menemukan hakikat ibadah.

Jarangnya Mbah Ali muncul di masyarakat dibenarkan oleh KH Fadhol Hija, ketua MWC NU Kecamatan Ngajum periode 1993-2003. “Pada saat kasus itu muncul saya tidak pernah (bertemu). Tapi dahulu sering. Waktu saya masih kecil, waktu masih di IAIN. Saya dahulu sering menghadiri undangan khataman atau khitanan di daerah sana (Lowokgempol). Waktu itu dia (Mbah Ali) masih mau hadir. Tapi saat itu sudah terjadi perbedaan pendapat” tandas Kiai yang kini duduk di jajaran Syuriah PC NU Kabupaten Malang ini.

Tidak banyak penduduk sekitar yang pernah bertemu secara langsung dengan Mbah Ali, kecuali santri atau keluarganya atau orang yang minimal segenerasi dengan KH Fadhol. Mbah Ali adalah pendatang di Desa Ngajum, bukan penduduk asli. Dia datang dari daerah Dorosemo Surabaya, dan menetap di Desa Ngajum setelah peristiwa Gestapu, sekitar tahun 1967-1968, dan mendirikan pondok di sana. Sebelumnya pernah menetap di daerah Ngasem dan Tegaron.

   
 Isikan Komentar Anda
   
Nama 
Email 
Kota 
Pesan/Komentar 
 
 
 
 
Kembali Ke Index Berita
 
 
  Situs © 2009-2025 Oleh Pejuang Islam