ISRA & MI`RAJ
Luthfi Bashori
Isra adalah rihlah ardhiyyah (perjalanan bumi) perjalanan Nabi SAW dimulai dari Masjid Alharam kota Makkah menuju Masjid Al-aqsha kota Palestina. Kedua masjid suci inilah tempat di mana wahyu dari Allah sering diturunkan kepada para Nabi AS, tak terkecuali kepada Nabi Muhammad SAW.
Mi`raj adalah rihlah samawiyyah (perjalanan langit) perjalanan Nabi SAW dimulai dari Masjid Al-aqsha kota Palestina menuju langit yang paling tinggi, yaitu langit ke tujuh, yang mana di sana terdapat Sidratul Muntaha (berupa pohon besar). Menurut sebuah riwayat, bahwa pangkal pohon ini berada di langit ke enam, sedangkan ujung teratasnya berada di langit ke tujuh yang paling tinggi. Dinamakan Sidratul Muntaha, karena sebagai batas akhir ilmu (batas kemampuan) yang dapat dicapai oleh para malaikat, khususnya kemampuan malaikat yang paling mulia, yaitu Jibril AS.
Sudratul Muntaha adalah derajat pembatas antara kemampuan para makhluq Allah dengan ketentuan Allah yang tidak diijinkan siapapun adanya di antara para makhluq itu untuk melampauinya, kecuali Nabi Muhammad SAW. Hal ini sebagaimana pengakuan malaikat Jibril, di saat mendampingi perjalanan mi`raj Nabi SAW yang mengatakan, bahwa andaikata malaikat Jibril maju selangkah saja dari batas kemampuan yang diijinkan Allah untuk dicapainya itu, maka dirinya akan hangus terbakar.
Seperti terjadi pada kemampuan Nabi Musa AS saat beliau akan menerima firman Allah secara langsung, maka beliau hanya diberi kemampuan naik ke tempat yang paling tinggi, tentunya dalam kadar kemampuan pribadi Nabi Musa AS, yaitu mencapai bukit Thuur Sina. Maka di sanalah Allah mengajak Nabi Musa untuk berdialog, wakallamallahu muusa takliima (dan Allah mengajak Nabi Musa berdialog secara langsung). Demikian juga malaikat Jibril mempunya batas kemampuan yang diijinkan oleh Allah untuk dicapainya, yaitu naik sebatas Sidratul Muntaha.
Berbeda dengan kemampuan Nabi Muhammad SAW, yang ternyata Allah memberi ijin untuk naik lebih tinggi melebihi kemampuan malaikat Jibril, hingga pada derajat tertentu yang hanya Allah jua yang mengetahuinya, maka Allah berkenan mengajak Nabi Muhammad SAW berkomunikasi secara langsung, tanpa ada perantara makhluq manapun yang menjembataninya.
Dalam komunikasi secara langsung inilah Allah memberi perintah shalat kepada Nabi Muhammad SAW beserta umatnya. Jadi, betapa pentingnya urusan shalat, hingga untuk menerima amanat itu, Allah berkenan memanggil Nabi Muhammad dalam perisrtiwa Isra dan Mi`raj tersebut. Berbeda dengan perintah ibadah-ibadah lainnya, yang senantiasa melalui perantara malaikat Jibril AS.
Shalat adalah tiang agama, barang siapa yang mendirikan shalat, maka sungguh ia telah melestarikan agamanya, dan barang siapa yang meninggalkan shalat, maka sungguh ia telah menghancurkan agamanya.
Ada beberapa kesalahan persepsi dari sebagian orang, yang menganggap bahwa Nabi SAW saat menerima perintah shalat itu itu, posisinya duduk berhadap-hadapan dengan Allah, yang digambarkan pula bahwa saat itu Allah sedang duduk di atas kursi singgasana-Nya. Alias digambarkan seperti layaknya seorang rakyat yang sedang menghadap rajanya, dan sang raja sedang duduk di atas kursi singgasananya. Katanya, ini terbukti bahwa saat mi`raj itu Nabi SAW diperintahkan naik lebih tinggi dan meninggalkan malaikat Jibril yang menunggu di Sidratul muntah.
Persepsi yang demikian itu tentunya salah besar dalam pemahaman para ulama Ahlus sunnah wal jamaah. Karena Nabi Musa AS juga saat akan diajak dialog oleh Allah, maka beliau diperintahkan naik ke tempat yang lebih tinggi, yaitu sesuai kadar kemampuannya, dalam hal ini adalah di atas bukit Thuur Sina. Jika saja, digambarkan bahwa adanya Allah itu duduk di kursi singgasanya-Nya, lantas dimanakah Allah berada saat Nabi Musa AS mendapatkan wahyu wakallamallahu muusa takliima (dan Allah benar-benar mengajak Nabi Musa untuk berdialog). Apakah saat itu Allah berada di atas awan ?
Perlu diingat, bahwa baik kursi singgasana, langit, awan, sidratul muntaha, sorga, neraka, ruangan, bahkan tempat apapun bentuk dan jenisnya, atau hal-hal yang semacamnya itu, adalah makhluq ciptaan Allah. Sedangkan sifat Allah sejak zaman azali (sebelum ada satupun makhluq yang diciptakan) adalah bersifat qiyaamuhu binafsihi (Allah itu bersifat independen/berdiri sendiri) tidak membutuhkan bantuan makhluq apapun, termasuk terhadap arah kanan, kiri, atas bawah, ruang, waktu, kursi singgasana, dan sebagainya. Karena sifat Allah yang qiyaamuhu binafsihi (Allah itu bersifat independen/berdiri sendiri) adalah sifat pasti yang dimiliki Allah, sifat yang tidak pernah berubah sedikitpun sejak jaman azali hingga kapanpun akan tetap kekal abadi.
Sekali lagi yang perlu diingat, bahwa Allah itu adalah Tuhan yang bersifat qiyaamuhu binafsihi (independen/berdiri sendiri) dan laisa kamitslihi syai-un (tidak ada satu makhluq-pun yang menyerupai-Nya).