URL: www.pejuangislam.com
Email: editor@pejuangislam.com
 
Halaman Depan >>
 
 
Pengasuh Ribath Almurtadla Al-islami
Ustadz H. Luthfi Bashori
 Lihat Biografi
 Profil Pejuang Kaya Ide
 Imam Abad 21
 Info Asshofwah
Karya Tulis Pejuang


 
Ribath Almurtadla
Al-islami
 Pengasuh Ribath
 Amunisi Dari Tumapel
 Aktifitas Pengasuh
 Perjuangan Pengasuh
 Kalender Ribath
Pesantren Ilmu al-Quran (PIQ)
 Sekilas Profil
 Program Pendidikan
 Pelayanan Masyarakat
 Struktur Organisasi
 Pengasuh PIQ
 
Navigasi Web
Karya Tulis Santri
MP3 Ceramah
Bingkai Aktifitas
Galeri Sastra
Curhat Pengunjung
Media Global
Link Website
TV ONLINE
Kontak Kami
 
 
 Arsip Teriakan Pejuang
 
SETAN BISU & SETAN BICARA 
  Penulis: Pejuang Islam  [7/8/2025]
   
AYOO SHALAT MALAM ! 
  Penulis: Pejuang Islam  [4/8/2025]
   
KOMUNIKASI DI MEJA MAKAN 
  Penulis: Pejuang Islam  [28/7/2025]
   
SUJUD SYUKUR 
  Penulis: Pejuang Islam  [27/7/2025]
   
MENGALAHKAN HAWA NAFSU 
  Penulis: Pejuang Islam  [20/7/2025]
   
 
 Book Collection
 (Klik: Karya Tulis Pejuang)
Pengarang: H. Luthfi B dan Sy. Almaliki
Musuh Besar Umat Islam
Konsep NU dan Krisis Penegakan Syariat
Dialog Tokoh-tokoh Islam
Carut Marut Wajah Kota Santri
Tanggapan Ilmiah Liberalisme
Islam vs Syiah
Paham-paham Yang Harus Diluruskan
Doa Bersama, Bahayakah?
 
 WEB STATISTIK
 
Hari ini: Senin, 22 September 2025
Pukul:  
Online Sekarang: 9 users
Total Hari Ini: 100 users
Total Pengunjung: 6224207 users
 
 
Untitled Document
 PEJUANG ISLAM - KARYA ILMIAH USTADZ LUTHFI BASHORI
 
 
SALIM SUKA TAHLILAN 
Penulis: Pejuang Islam [ 15/9/2016 ]
 
SALIM SUKA TAHLILAN

Luthfi Bashori

 
Seorang pemuda bernama Salim, adalah termasuk anggota rutin jamaah tahlilan di kampungnya. Suatu saat ia ditanya oleh tetangganya, penganut Wahhabi: Salim, mengapa kamu sekarang menjadi maniak perkumpulan tahlilan, apa kamu melakukannya itu sekedar ikut-ikutan, atau benar-benar dengan dilandasi pemahaman dalilnya?

Salim menjawab dengan santai namun serius dan serius namun santai, karena ia tidak merasa gusar meskipun amalan yang ia istiqamahi itu dituduh bidah dhalalah (sesat) oleh seribu kaum Wahhabi sekalipun.

Mimik Salim yang memang nyantai namun menyimpan kecerdasan berpikir, tiba-tiba saja tersenyum lebar, dan dengan pasti ia menjawab :

Wah, saya sudah khatam Mas mempelajari hukum bolehnya tahlilan, makanya saya jadi anggota tetap rutinan tahlilan di kampung kita ini, dari pada hanya bengong di rumah dan memupuk maksiat mata yang selalu terinfeksi oleh tontonan televisi yang tak kunjung usai. Mas pingin tahu yaa cuplikan dalilnya, begini Mas:

Imam  Assyaukani mengatakan :

Kebiasaan di sebagian negara mengenai perkumpulan atau pertemuan di masjid, di rumah atau di kuburan untuk membaca Alquran dan pahalanya dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal dunia, tidak diragukan lagi hukumnya boleh (jaiz), jika di dalamnmnya tidak terdapat kemaksiatan dan kemungkaran, sekalipun tidak ada penjelasan dhahir dari syariat.

Kegiatan melaksanakan perkumpulan itu pada dasarnya bukanlah suatu yang diharamkan, apabila di dalamnya diisi dengan dengan kegiatan yang dapat menghasilkan ibadah, seperti membaca Alquran atau bacaan yang lainnya.

Tidak tercela menghadiahkan pahala membaca Alquran dan bacaan lainnya kepada orang yang telah meninggal dunia. Bahkan ada beberapa jenis bacaan yang didasarkan hadits shahih seperti: Iqrauu yasiin `alaa mautaakum (bacakanlah surat Yasin untuk para mayyit kalian),

Tidak ada bedanya apakah pembacaan surat Yasin tersebut dilakukan bersama-sama di dekat mayit atau di kuburannya, atau membaca Alquran sampai khatam maupun sebagiannya saja, atau dilakukan di masjid maupun di rumah. Nah, coba Mas rujuk kitab Arrisalah Assalafiyah, halaman 46.

Masih banyak para ulama salaf yang membahas bolehnya tahlian jika Mas rajin mengkajinya. Mudah saja kok, Mas klik saja di internet dengan kata kunci : Dalil bolehnya tahlilan, pasti akan bermunculan jawabannya, asalkan hati Mas bersih saat membacanya, maka Mas akan mendapatkan pemahaman yang benar !

Mendengar penjelasan dari Salim, maka sang tetangga tersebut mengatakan: Ooh, kalau begitu aku ingin gabung saja yaa, biar dapat menambah pundi-pundi pahala. Jadi tolong kalau mau berangkat tahlilan lagi, beritahu aku yaa, aku mau ikut berangkat, mudah-mudahan dapat istiqamah.

 

   
 Isikan Komentar Anda
   
Nama 
Email 
Kota 
Pesan/Komentar 
 
 
 
1.
Pengirim: salam  - Kota: kaliwungu
Tanggal: 13/4/2012
 
Imam Assyaukani mengatakan :

Kebiasaan di sebagian negara mengenai perkumpulan atau pertemuan di masjid, di rumah atau di kuburan untuk membaca Alquran dan pahalanya dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal dunia, tidak diragukan lagi hukumnya boleh (jaiz), jika di dalamnmnya tidak terdapat kemaksiatan dan kemungkaran, sekaliipun tidak ada penjelasan dhahir dari syariat.

(geleng-geleng) wong ora di syariatkan kok di paksain toh yai? 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Mana ilmiahnya kalau bisanya cuma geleng-geleng kepala dan berkomentar seperti anda ini ? Situs ini khusus untuk konsumsi pengunjung yang ilmiah, kalau hanya bisa geleng-geleng, mending baca FB-FB saja Mas... ! Biar sampean tahu :

Dalam kitab Mukhtashar Tadzkirah karangan Imam Qurthubi halaman 25, diriwayatkan bahwa Imam Ahmad bin Hanbal berwasiat : Apa bila kalian masuk tanah makam pekuburan maka bacalah surat Alfatihah dan Almu`awwidzatain (Annaas + Alfalaq) dan Qulhuwallau Ahad (Al-ikhlash), lantas hadiahkanlah pahalanya untuk ahli kubur, sesungguhnya akan sampai pahala itu kepada mereka.

Betapa tegasnya Imam Ahmad bin Hanbal dalam menyikapi sampai tidaknya pahala bacaan Alquran bagi para penghuni makam pekuburan. Ternyata menurut Imam Ahmad bin Hanbal, pahala bacaan-bacaan itu sampai kepada si mayyit, tanpa keraguan sedikitpun.

Amalan kirim pahala surat Alfatihah dan pahala amalan baik lainnya kepada mayyit ini, telah diingkari oleh kaum Wahhabi, dan ternyata mereka bertentangan dengan fatwa Imam Ahmad bin Hanbal. Sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal sendiri adalah murid dari Imam Syafi`i.

Betapa mulianya jika kita mau membaca Alquran saat kita berziarah kubur atau berada di tanah pekuburan. Hal ini telah dicontohkan oleh Shahabat Abdullah bin Umar RA yang berwasiat dengan meminta jika beliau wafat agar dibacakan di atas kuburannya Surat Albaqarah (diriwayatkan oleh Abdulhaq Al-asybily).

Lah pinter mana orang Wahhabi dengan Imam Ahmad bi Hanbal, apalagi dengan Shahabat Ibnu Umar RA ? Hingga beliau juga berwasiat agar di kuburan beliau jika sudah wafat dibacakan Alquran.

Trus, ilmu geleng-geleng itu sendiri dalilnya mana hayoo ?

2.
Pengirim: Khofy alQuthfby  - Kota: Probolinggo
Tanggal: 14/4/2012
 
salam - Kota: kaliwungu
Tanggal: 13/4/2012 Imam Assyaukani mengatakan :

Kebiasaan di sebagian negara mengenai perkumpulan atau pertemuan di masjid, di rumah atau di kuburan untuk membaca Alquran dan pahalanya dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal dunia, tidak diragukan lagi hukumnya boleh (jaiz), jika di dalamnmnya tidak terdapat kemaksiatan dan kemungkaran, sekaliipun tidak ada penjelasan dhahir dari syariat.

(geleng-geleng) wong ora di syariatkan kok di paksain toh yai?
---------------------------------------------
Mhon maaf mas Salam asal Kaliwungu, saya mau Tanya:
1. Apakah anda tau perbedaan tidak di jelaskan dalam syariat dan tidak di larang dalam syariat??? Fahami ini dulu, baru anda berkomentar lebih jauh.
2. Adakah perbendaharaan ilmu anda selevel Al-Imam Muhammad bin Ali al-Syaukani, ulama Syiah Zaidiyah yang sangat dikagumi oleh kaum Wahabi, dan kitabnya Nail al-Authar menjadi rujukan yang otoritatif kalangan Wahabi di Indonesia sejak dulu???
Saya beri tahu sedikit keutamaan surah yasin untuk mayit:
“Dari al-Hasan bin al-Haitsam berkata, “Aku mendengar Abu Bakar bin al-Athrusy berkata, “Ada seorang laki-laki yang rutin mendatangi makam ibunya dan membaca surat Yasin. Pada suatu hari ia membaca surat Yasin di makam ibunya, kemudian berkata, “Ya Allah, apabila Engkau berikan pahala bagi surat ini, maka jadikanlah pahalanya bagi semua penghuni kuburan ini.” Pada hari Jumat berikutnya, seorang wanita datang dan berkata kepada laki-laki itu, “Kamu fulan bin fulanah?” Ia menjawab, “Ya.” Wanita itu berkata, “Aku punya anak perempuan yang telah meninggal. Lalu aku bermimpi melihatnya duduk-duduk di pinggir makamnya. Aku bertanya, “Kamu kok bisa duduk-duduk di sini?” Putriku menjawab, “Sesungguhnya fulan bin fulanah datang ke makam ibunya. Ia membaca surat Yasin dan pahalanya dihadiahkan kepada semua penghumi makam ini. Kami dapat bagian rahmatnya. Atau kami diampuni dan semacamnya.” (Ibnu Qayyim al-Jauziyah, al-Ruh, hal. 187).
Tradisi kaum salaf dari golongan sahabat Anshar yang membacakan al-Qur’an di makam keluarga mereka yang meninggal. Al-Khallal meriwayatkan dalam al-Jami’:
“Sya’bi berkata: “Kaum Anshar, apabila seseorang di antara mereka meninggal, maka mereka selalu mendatangi makamnya membacakan al-Qur’an untuknya.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf [juz 4 hal. 236], dan al-Khallal dalam al-Amr bil-Ma’ruf wa al-Nahy ‘ani al-Munkar [hal. 89]).
 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Ini sangat penting untuk dipahami oleh Mas Salam, Kaliwungu dan kaum Wahhabi lainnya.

3.
Pengirim: NU Paling Lurus  - Kota: Bandung
Tanggal: 16/4/2012
 
Ritual Tahlilan Menurut Kitab NU

Tahlilan yang dimaksudkan di sini bukanlah tahlilan menurut tinjauan Bahasa Arab. Dalam Bahasa Arab, makna tahlilan adalah mengucapkan laa ilaaha illallaah. Yang dimaksud dengan ritual tahlilan di sini adalah peringatan kematian yang dilakukan pada hari ke-3, 7, 40, 100 atau 1000
Berikut ini kutipan dari kitab Hasyiyah I’anah al Thalibin, suatu buku yang terkenal dalam kalangan NU untuk belajar fikih syafi’i pada level menengah atau lanjutan.
ويكره لاهل الميت الجلوس للتعزية، وصنع طعام يجمعون الناس عليه،
“Makruh hukumnya keluarga dari yang meninggal dunia duduk untuk menerima orang yang hendak menyampaikan belasungkawa. Demikian pula makruh hukumnya keluarga mayit membuat makanan lalu manusia berkumpul untuk menikmatinya.
لما روى أحمد عن جرير بن عبد الله البجلي، قال: كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة،
Dalilnya adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Jarir bin Abdillah al Bajali-seorang sahabat Nabi-, “Kami menilai berkumpulnya banyak orang di rumah keluarga mayit, demikian pula aktivitas keluarga mayit membuatkan makanan setelah jenazah dimakamkan adalah bagian dari niyahah atau meratapi jenazah”.
ويستحب لجيران أهل الميت – ولو أجانب – ومعارفهم – وإن لم يكونوا جيرانا – وأقاربه الاباعد – وإن كانوا بغير بلد الميت – أن يصنعوا لاهله طعاما يكفيهم يوما وليلة، وأن يلحوا عليهم في الاكل.
Dianjurkan bagi para tetangga-meski bukan mahram dengan jenazah, kawan dari keluarga mayit-meski bukan berstatus sebagai tetangga-dan kerabat jauh dari mayit-meski mereka berdomisili di lain daerah-untuk membuatkan makanan yang mencukupi bagi keluarga mayit selama sehari semalam semenjak meninggalnya mayit. Hendaknya keluarga mayit agak dipaksa untuk mau menikmati makanan yang telah dibuatkan untuk mereka.
ويحرم صنعه للنائحة، لانه إعانة على معصية.
Haram hukumnya menyediakan makanan untuk wanita yang meratapi mayit karena tindakan ini merupakan dukungan terhadap kemaksiatan
وقد اطلعت على سؤال رفع لمفاتي مكة المشرفة فيما يفعله أهل الميت من الطعام وجواب منهم لذلك.
Aku- yaitu penulis kitab Hasyiyah I’anah al Thalibin- telah membaca sebuah pertanyaan yang diajukan kepada para mufti di Mekkah mengenai makanan yang dibuat oleh keluarga mayit dan jawaban mereka untuk pertanyaan tersebut.
(وصورتهما).
Berikut ini teks pertanyaan dan jawabannya.
ما قول المفاتي الكرام بالبلد الحرام دام نفعهم للانام مدى الايام، في العرف الخاص في بلدة لمن بها من الاشخاص أن الشخص إذا انتقل إلى دار الجزاء، وحضر معارفه وجيرانه العزاء، جرى العرف بأنهم ينتظرون الطعام، ومن غلبة الحياء على أهل الميت يتكلفون التكلف التام، ويهيئون لهم أطعمة عديدة، ويحضرونها لهم بالمشقة الشديدة.
Pertanyaan, “Apa yang dikatakan oleh para mufti yang mulia di tanah haram –moga ilmu mereka manfaat untuk banyak orang sepanjang zaman– tentang tradisi yang ada di suatu daerah. Tradisi ini hanya dilakukan oleh beberapa orang di daerah tersebut. Tradisi tersebut adalah jika ada seorang yang meninggal dunia lantas datanglah kawan-kawan mayit dan tetangganya untuk menyampaikan belasungkawa maka para kawan mayit dan tetangga ini menunggu-nunggu adanya makanan yang disuguhkan. Karena sangat malu maka keluarga mayit sangat memaksakan diri untuk menyiapkan beragam jenis makanan lalu menyuguhkannya kepada para tamu meski dalam kondisi yang sangat kerepotan.
فهل لو أراد رئيس الحكام – بما له من الرفق بالرعية، والشفقة على الاهالي – بمنع هذه القضية بالكلية ليعودوا إلى التمسك بالسنة السنية، المأثورة عن خير البرية وإلى عليه ربه صلاة وسلاما، حيث قال: اصنعوا لآل جعفر طعاما يثاب على هذا المنع المذكور ؟ أفيدوا بالجواب بما هو منقول ومسطور.
Seandainya penguasa di daerah tersebut –karena belas kasihan dengan rakyat dan sayang dengan keluarga mayit– melarang keras perbuatan di atas agar rakyatnya kembali berpegang teguh dengan sunah sebaik-baik makhluk yang pernah bersabda, “Buatkan makanan untuk keluarga Ja’far”. Apakah penguasa tersebut akan mendapatkan pahala karena melarang kebiasaan di atas? Berilah kami jawaban secara tertulis”.
(الحمد لله وحده) وصلى الله وسلم على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه والسالكين نهجهم بعده.
اللهم أسألك الهداية للصواب.
Jawaban, “Segala puji hanyalah milik Allah. Semoga Allah senantiasa menyanjung junjungan kita, Muhammad, keluarga, sahabat dan semua orang yang meniti jalan mereka. Aku meminta petunjuk untuk memberikan jawaban yang benar kepada Allah.
نعم، ما يفعله الناس من الاجتماع عند أهل الميت وصنع الطعام، من البدع المنكرة التي يثاب على منعها والي الامر، ثبت الله به قواعد الدين وأيد به الاسلام والمسلمين.
Betul, acara kumpul-kumpul di rumah duka dan kegiatan membuat makanan yang dilakukan oleh banyak orang adalah salah satu bentuk bid’ah munkarah. Sehingga penguasa yang melarang kebiasaan tersebut akan mendapatkan pahala karenanya. Semoga Allah meneguhkan kaidah-kaidah agama dan menguatkan Islam dan muslimin dengan sebab beliau.
قال العلامة أحمد بن حجر في (تحفة المحتاج لشرح المنهاج): ويسن لجيران أهله – أي الميت – تهيئة طعام يشبعهم يومهم وليلتهم،
al-’Allamah Ahmad bin Hajar dalam Tuhfah al Muhtaj li Syarh al Minhaj mengatakan, “Dianjurkan bagi para tetangga keluarga mayit untuk menyiapkan makanan yang cukup untuk mengenyangkan keluarga mayit selama sehari dan semalam
للخبر الصحيح اصنعوا لآل جعفر طعاما فقد جاءهم ما يشغلهم.
Dalilnya adalah sebuah hadits yang sahih, “Buatkan makanan untuk keluarga Ja’far karena telah datang kepada mereka duka yang menyibukkan mereka –dari menyiapkan makanan–”
ويلح عليهم في الاكل ندبا، لانهم قد يتركونه حياء، أو لفرط جزع.
Dianjurkan hukumnya keluarga mayit untuk agak dipaksa agar mau menikmati makanan yang telah disiapkan untuk mereka karena boleh jadi mereka tidak mau makan karena malu atau sangat sedih.
ويحرم تهيئه للنائحات لانه إعانة على معصية،
Haram hukumnya menyediakan makanan untuk wanita yang meratapi mayit karena tindakan ini merupakan dukungan terhadap kemaksiatan
وما اعتيد من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه، بدعة مكروهة – كإجابتهم لذلك،
Kebiasaan sebagian orang berupa keluarga mayit membuat makanan lalu mengundang para tetangga untuk menikmatinya adalah bid’ah makruhah. Demikian pula mendatangi undangan tersebut termasuk bid’ah makruhah.
لما صح عن جرير رضي الله عنه: كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة.
Dalilnya adalah sebuah riwayat yang sahih dari Jarir, “Kami menilai berkumpulnya banyak orang di rumah keluarga mayit, demikian pula aktivitas keluarga mayit membuatkan makanan setelah jenazah dimakamkan adalah bagian dari niyahah atau meratapi jenazah”.
ووجه عده من النياحة ما فيه من شدة الاهتمام بأمر الحزن.
Alasan logika yang menunjukkan bahwa hal tersebut termasuk niyahah adalah karena perbuatan tersebut menunjukkan perhatian ekstra terhadap hal yang menyedihkan
ومن ثم كره اجتماع أهل الميت ليقصدوا بالعزاء، بل ينبغي أن ينصرفوا في حوائجهم، فمن صادفهم عزاهم.اه.
Oeh karena itu, makruh hukumnya keluarga mayit berkumpul supaya orang-orang datang menyampaikan bela sungkawa. Sepatutnya keluarga mayit sibuk dengan keperluan mereka masing-masing lantas siapa saja yang kebetulan bertemu dengan mereka menyampaikan bela sungkawa.” Sekian penjelasan dari penulis Tuhfah al Muhtaj.
وفي حاشية العلامة الجمل على شرح المنهج: ومن البدع المنكرة والمكروه فعلها: ما يفعله الناس من الوحشة والجمع والاربعين، بل كل ذلك حرام إن كان من مال محجور، أو من ميت عليه دين، أو يترتب عليه ضرر، أو نحو ذلك.اه.
Dalam Hasyiyah al Jamal untuk kitab Syarh al Manhaj disebutkan, “Termasuk bid’ah munkarah dan makruhah adalah perbuatan banyak orang yang mengungkapkan rasa sedih lalu mengumpulkan banyak orang pada hari ke-40 kematian mayit. Bahkan semua itu hukumnya haram jika acara tersebut dibiayai menggunakan harta anak yatim atau mayit meninggal dunia dalam keadaan meninggalkan hutang atau menimbulkan keburukan dan semisalnya.” Sekian dari Hasyiyah al Jamal.
وقد قال رسول الله (صلى الله عليه و سلم ) لبلال بن الحرث رضي الله عنه: يا بلال من أحيا سنة من سنتي قد أميتت من بعدي، كان له من الاجر مثل من عمل بها، لا ينقص من أجورهم شيئا.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Bilal bin al Harts, “Wahai Bilal, siapa saja yang menghidupkan salah satu sunahku yang telah mati sepeninggalku maka baginya pahala semisal dengan pahala semua orang yang mengamalkannya tanpa mengurangi sedikitpun pahala mereka.
ومن ابتدع بدعة ضلالة لا يرضاها الله ورسوله، كان عليه مثل من عمل بها، لا ينقص من أوزارهم شيئا.
Sebaliknya siapa saja yang membuat bid’ah yang sesat yang tidak diridhai oleh Allah dan rasul-Nya maka dia akan menanggung dosa semisal dosa semua orang yang melakukannya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun”.
وقال (صلى الله عليه و سلم ): إن هذا الخير خزائن، لتلك الخزائن مفاتيح، فطوبى لعبد جعله الله مفتاحا للخير، مغلاقا للشر.وويل لعبد جعله الله مفتاحا للشر، مغلاقا للخير.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kebaikan itu bagaikan simpanan. Simpanan tersebut memiliki kunci. Sungguh beruntung seorang hamba yang dijadikan oleh Allah sebagai kunci pembuka kebaikan dan penutup kejelekan. Celakalah seorang hamba yang dijadikan oleh Allah sebagai kunci pembuka kejelekan dan kunci penutup kebaikan”.
ولا شك أن منع الناس من هذه البدعة المنكرة فيه إحياء للسنة، وإماته للبدعة، وفتح لكثير من أبواب الخير، وغلق لكثير من أبواب الشر، فإن الناس يتكلفون تكلفا كثيرا، يؤدي إلى أن يكون ذلك الصنع محرما. والله سبحانه وتعالى أعلم.
Tidaklah diragukan bahwa melarang masyarakat dari bid’ah munkarah di atas berarti menghidupkan sunah dan mematikan bid’ah, membuka berbagai pintu kebaikan dan menutup berbagai pintu keburukan. Banyak orang yang terlalu memaksakan diri untuk melakukan acara di atas sehingga menyebabkan perbuatan tersebut statusnya adalah perbuatan yang haram”.
كتبه المرتجي من ربه الغفران: أحمد بن زيني دحلان – مفتي الشافعية بمكة المحمية – غفر الله له، ولوالديه، ومشايخه، والمسلمين.
Demikianlah fatwa tertulis yang ditulis oleh Ahmad bin Zaini Dahan, mufti Syafi’i di Mekkah. Moga Allah mengampuninya, kedua orang tuanya, para gurunya dan seluruh kaum muslimin.
(الحمد لله) من ممد الكون أستمد التوفيق والعون.
Segala puji hanyalah milik Allah. Kepada zat yang memberi nikmat untuk seluruh makhluk aku-mufti Hanafi-memohon taufik dan pertolongan-Nya.
نعم، يثاب والي الامر – ضاعف الله له الاجر، وأيده بتأييده – على منعهم عن تلك الامور التي هي من البدع المستقبحة عند الجمهور.
Betul, penguasa tersebut- moga Allah berikan kepadanya pahala yang berlipat ganda dan moga Allah selalu menolongnya- akan mendapatkan pahala dengan melarang masyarakat melakukan acara tersebut yang berstatus sebagai bid’ah yang jelek menurut mayoritas ulama.
قال في (رد المحتار تحت قول الدر المختار) ما نصه: قال في الفتح: ويستحب لجيران أهل الميت، والاقرباء الاباعد، تهيئة طعام لهم يشبعهم يومهم وليلتهم، لقوله (صلى الله عليه و سلم ): اصنعوا لآل جعفر طعاما فقد جاءهم ما يشغلهم.حسنه الترمذي، وصححه الحاكم.
Penulis kitab Radd al Muhtar yang merupakan penjelasan untuk kitab al Durr al Mukhtar mengatakan sebagai berikut, “Dalam kitab al Fath disebutkan, dianjurkan bagi para tetangga keluarga mayit dan kerabat jauh mayit untuk menyiapkan makanan yang cukup untuk mengenyangkan mereka selama sehari dan semalam mengingat sabda Nabi, “Buatkan makanan untuk keluarga Ja’far karena telah datang kepada mereka duka yang menyibukkan mereka-dari menyiapkan makanan-”. Hadits ini dinilai hasan oleh Tirmidzi dan dinilai sahih oleh al Hakim.
ولانه بر ومعروف،
Menyediakan makanan untuk keluarga mayit adalah kebaikan.
ويلح عليهم في الاكل، لان الحزن يمنعهم من ذلك، فيضعفون حينئذ.
Hendaknya keluarga mayit agak dipaksa untuk menikmati makanan yang disediakan untuk mereka karena kesedihan menghalangi mereka untuk berselera makan sehingga mereka malas untuk makan”.
وقال أيضا: ويكره الضيافة من الطعام من أهل الميت، لانه شرع في السرور، وهي بدعة.
Penulis Radd al Muhtar juga mengatakan, “Makruh hukumnya bagi keluarga mayit untuk menyajikan makanan karena menyajikan makanan itu disyaratkan ketika kondisi berbahagia. Sehingga perbuatan keluarga mayit menyajikan makanan adalah bid’ah.
روى الامام أحمد وابن ماجه بإسناد صحيح، عن جرير بن عبد الله، قال: كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام من النياحة.اه.
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Majah dengan sanad yang sahih dari Jari bin Abdillah mengatakan, “Kami menilai berkumpulnya banyak orang di rumah keluarga mayit, demikian pula aktivitas keluarga mayit membuatkan makanan adalah bagian dari niyahah atau meratapi jenazah”. Sekian penjelasan penulis kitab Radd al Muhtar-kitab fikih mazhab Hanafi-.
وفي البزاز: ويكره اتخاذ الطعام في اليوم الاول والثالث وبعد الاسبوع، ونقل الطعام إلى القبر في المواسم إلخ.
Dalam kitab al Bazzaz disebutkan, “Makruh hukumnya membuat makanan pada hari pertama, ketiga dan ketujuh setelah kematian. Demikian pula, makruh hukumnya membawa makanan ke kuburan di berbagai kesempatan dst”.
وتمامه فيه، فمن شاء فليراجع. والله سبحانه وتعالى أعلم.
Penjelasan detailnya ada di kitab tersebut. Siapa saja yang ingin penjelasan lengkap silahkan membaca sendiri buku tersebut. Wallahu a’lam.
كتبه خادم الشريعة والمنهاج: عبد الرحمن بن عبد الله سراج، الحنفي، مفتي مكة المكرمة – كان الله لهما حامدا مصليا مسلما.
Demikianlah fatwa tertulis yang disampaikan oleh pelayan syariat dan minhaj Islam, Abdurrahman bin Abdillah Siraj al Hanafi, mufti Mekkah seraya memuji Allah, dan mengucapkan salawat dan salam untuk rasul-Nya.
وقد أجاب بنظير هذين الجوابين مفتي السادة المالكية، ومفتي السادة الحنابلة.
Fatwa yang sama juga disampaikan oleh mufti Maliki dan mufti Hanbali”.
Sumber: Hasyiyah I’anah al Thalibin karya Sayid Bakri bin Dimyati al Mishri juz 2 hal 145-146 terbitan al Haramain Singapura.
Catatan:
Bandingkan penjelasan di atas dengan praktek saudara-saudara kita, jamaah NU yang hanya mengenal NU secara kultural bukan secara ajaran sebagaimana yang tercatat dalam kitab-kitab NU standar.
Perlu diketahui bahwa Zaini Dahlan adalah ulama syafi’iyyah di zamannya yang sangat benci dan sangat memusuhi apa yang didakwahkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dalam masalah tauhid. Meski demikian beliau keras dengan masalah tahlilan. Beliau menilai acara tahlilan sebagai bid’ah munkarah alias bid’ah yang harus diberantas atau diingkari. Beliau tidak menilai ritual tahlilan sebagai ajaran Wahabi yang sangat beliau musuhi. Sehingga anggapan bahwa anti tahlilan hanyalah pemahaman Wahabi adalah anggapan yang sangat dipaksakan dan terlalu mengada-ada.
Zaini Dahan ternyata tidak menolerir acara tahlilan dengan alasan sikap arif terhadap budaya lokal. Bahkan beliau menegaskan bahwa memberantasnya adalah amalan yang berpahala. Bandingkan dengan sikap banyak orang NU yang menolak kebenaran dengan alasan sikap arif dengan budaya lokal, meneladani dakwah Sunan Kalijaga padahal model dakwah Sunan Kalijaga sendiri ditentang oleh mayoritas wali songo, Sunan Bonang yang merupakan guru ngaji Sunan Kalijaga, Sunan Giri dll.
Berdasarkan penjelasan mufti Hanafi di atas acara tahlilan adalah bid’ah yang harus diberantas menurut mayoritas ulama.
 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Untuk yang ngaku-ngaku jadi NU Paling Lurus, dan tidak punya nama, alias bersifat abu-abu. Perlu anda cermati, copy paste anda kurang mengena sasaran:

•Ritual Tahlilan Menurut Kitab NU Tahlilan yang dimaksudkan di sini bukanlah tahlilan menurut tinjauan Bahasa Arab. Dalam Bahasa Arab, makna tahlilan adalah mengucapkan laa ilaaha illallaah. Yang dimaksud dengan ritual tahlilan di sini adalah peringatan kematian yang dilakukan pada hari ke-3, 7, 40, 100 atau 1000 Berikut ini kutipan dari kitab Hasyiyah I’anah al Thalibin, suatu buku yang terkenal dalam kalangan NU untuk belajar fikih syafi’i pada level menengah atau lanjutan. ويكره لاهل الميت الجلوس للتعزية، وصنع طعام يجمعون الناس عليه، “Makruh hukumnya keluarga dari yang meninggal dunia duduk untuk menerima orang yang hendak menyampaikan belasungkawa. Demikian pula makruh hukumnya keluarga mayit membuat makanan lalu manusia berkumpul untuk menikmatinya. لما روى أحمد عن جرير بن عبد الله البجلي، قال: كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة، Dalilnya adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Jarir bin Abdillah al Bajali-seorang sahabat Nabi-, “Kami menilai berkumpulnya banyak orang di rumah keluarga mayit, demikian pula aktivitas keluarga mayit membuatkan makanan setelah jenazah dimakamkan adalah bagian dari niyahah atau meratapi jenazah”.

TANGGAPAN : Menerangkan sesuatu yang tidak tepat sasaran, memang sudah menjadi keahlian kaum Wahhabi. Praktek di lapangan di kalangan warga NU adalah, bahwa jika ada orang yang meninggal dunia, maka warga kampung dan sekitarnya datang berduyun-duyun ke rumah duka untuk bertakziyah, sebagaimana yang disunnahkan oleh Nabi SAW:
Di antaranya sabda Rasulullah SAW : Barangsiapa yang bertakziyah kepada orang yang tertimpa musibah, maka baginya pahala seperti pahala yang didapat orang tersebut. (HR Tirmidzi).
Dalil lainnya, Abdullah bin Amr bin Ash menceritakan, bahwa pada suatu ketika Rasulullah SAW bertanya kepada Fathimah, Wahai Fathimah, apa yang membuatmu keluar rumah? Fathimah menjawab, Aku bertakziyah kepada keluarga yang ditinggal mati ini. (HR Abu Dawud).
Mereka yang datang bertakziyah ada dari kalangan bapak-bapak yang sekaligus membantu menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk melakukan kewajiban kepada janazah, seperti menyiapkan tempat mandi, kain kafan, makam kuburan, dll.
Ada juga dari kalangan ibu-ibu, dan mereka inilah yang umumnya datang dengan membawa bahan makanan untuk diberikan kepada keluarga mayyit, umumnya berupa beras, minyak, gula, teh, dan bahah-bahan keperluan dapur lainnya, dan para ibu-ibu dari tetangga mayyit ini pula yang memasak bahan-bahan kiriman tetangga tersebut untuk disuguhkan kepada keluarga mayyit, baik ahli warisnya maupun handai taulan yang berdatangan dari berbagai tempat. Hasil olahan masakan terserbut juga disuguhkan kepada para tamu yang datang silih berganti untuk tahlilan dan berdoa yang pahalanya dihaturkan kepada mayyit.
Umumnya para tetangga mayyit dari penganut ajaran Aswaja (NU) yang datang membantu keluarga mayyit ini, memang sejak kecil sudah terdidik menjadi warga yang dermawan, hingga mereka beramai-ramai membantu keluarga mayyit. Jadi bukan tergolong orang-orang yang pelit seperti umumnya kalangan penganut Wahhabi yang enggan bersedekah. Jadi warga NU itu sudah terbiasa bersedekah, baik berupa materi maupun tenaga kepada keluarga mayyit. Ini sesuai juga dengan nash berikut:
Dianjurkan bagi para tetangga-meski bukan mahram dengan jenazah, kawan dari keluarga mayit-meski bukan berstatus sebagai tetangga-dan kerabat jauh dari mayit-meski mereka berdomisili di lain daerah-untuk membuatkan makanan yang mencukupi bagi keluarga mayit selama sehari semalam semenjak meninggalnya mayit. Hendaknya keluarga mayit agak dipaksa untuk mau menikmati makanan yang telah dibuatkan untuk mereka.

• Haram hukumnya menyediakan makanan untuk wanita yang meratapi mayit karena tindakan ini merupakan dukungan terhadap kemaksiatan وقد اطلعت على سؤال رفع لمفاتي مكة المشرفة فيما يفعله أهل الميت من الطعام وجواب منهم لذلك. Aku- yaitu penulis kitab Hasyiyah I’anah al Thalibin- telah membaca sebuah pertanyaan yang diajukan kepada para mufti di Mekkah mengenai makanan yang dibuat oleh keluarga mayit dan jawaban mereka untuk pertanyaan tersebut. (وصورتهما). Berikut ini teks pertanyaan dan jawabannya. ما قول المفاتي الكرام بالبلد الحرام دام نفعهم للانام مدى الايام، في العرف الخاص في بلدة لمن بها من الاشخاص أن الشخص إذا انتقل إلى دار الجزاء، وحضر معارفه وجيرانه العزاء، جرى العرف بأنهم ينتظرون الطعام، ومن غلبة الحياء على أهل الميت يتكلفون التكلف التام، ويهيئون لهم أطعمة عديدة، ويحضرونها لهم بالمشقة الشديدة. Pertanyaan, “Apa yang dikatakan oleh para mufti yang mulia di tanah haram –moga ilmu mereka manfaat untuk banyak orang sepanjang zaman– tentang tradisi yang ada di suatu daerah. Tradisi ini hanya dilakukan oleh beberapa orang di daerah tersebut. Tradisi tersebut adalah jika ada seorang yang meninggal dunia lantas datanglah kawan-kawan mayit dan tetangganya untuk menyampaikan belasungkawa maka para kawan mayit dan tetangga ini menunggu-nunggu adanya makanan yang disuguhkan.

TANGGAPAN : Penganut Aswaja di Indonesia yaitu warga NU yang asli (bukan yang ngaku-ngaku jadi warga NU dan tidak berani menyebutkan nama aslinya) memang sangat berbeda dengan konteks di atas. Warga NU lebih senang datang berduyun-duyun untuk bertakziyah kepada keluarga mayyit. Sekaligus membantu memberi bahan makanan sekaligus memasakkannya. Bahkan sering terjadi di daerah-daerah basis NU, begitu selesai tahlilan hari ke 7, ternyata persediaan beras dan bahan makanan dari kiriman para tetangga, ternyata masih tersisa banyak. Maka terkadang oleh keluaraga mayyit dijual (diuangkan) untuk keperluan keluarga yang lebih penting. Kami sendiri sering menolong tetangga dari keluarga mayyit yang terpaksa menjual bahan makanan hasil takziyah dari para tetangganya tersebut. Kami membelinya untuk kepentingan konsumsi para santri.

•Karena sangat malu maka keluarga mayit sangat memaksakan diri untuk menyiapkan beragam jenis makanan lalu menyuguhkannya kepada para tamu meski dalam kondisi yang sangat kerepotan.

TANGGAPAN : Ah, ini cuma mengada-ngada saja, iseng kali yaaa ?
Masih banyak dalil bolehnya tahlilan yang dapat anda ketehui, tapi jika anda membacanya dengan hati ikhlas.

4.
Pengirim: Abu Raihan  - Kota: Palangkaraya
Tanggal: 17/4/2012
 
Assalamu alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh,
Perkataan/ pendapat manusia bisa ditolak apabila bertentangan dengan dall (pastinya yang shohih), dan harus diterima apabila bersesuaian dengan dalil (pastinya yang shohih juga). Tidakkah kita merasa cukup mengikuti apa yang dicontohkan oleh Rasululloh Shollalohu alaihi wa salam. Bukakan Rasululloh Shollalohu alaihi wa salam telah memperingatkan apa-apa yang menjadikan kita terjerumus ke dalam api neraka? Juga, bukakah Rasululloh Shollalohu alaihi wa salam telah menunjukkan kepada manusia jalan-jalan menuju Surga? Bukankah agama ini (Islam) telah sempurna, sehingga tidak perlu ada tambahan-tambahan? 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Terus, mengapa anda kok ikut komentar agama lewat internet, padahal Rasulullah SAW tidak pernah mengajarkan main internet kepada ummatnya ?
Situs Ini sengaja dibuka untuk menambah variasi ibadah berdakwah yang lebih canggih dibanding dengan ibadah berdakwah di jaman Nabi SAW.

Situs ini sengaja dibuka tanpa ada landasan dalil syar`i yang mengikat. Tapi masalahnya mengapa anda kok sempat-sempatnya nimbrung pada situs ibadah dakwah yang tidak ada contohny dari Rasulullah SAW ini ?

5.
Pengirim: assiddiqqi  - Kota: jepara
Tanggal: 19/4/2012
 
yai terus berjuang memberi tausiah pada kaum yang keras kepala, dangkal ilmunya dan berhati keras..inilah ciri2 kaum yang tidak pernah berdzikir pada Allah...di beri penjelasan malah menuduh,tidak diberi penjelaskan menyudutkan!aneh aneh. terus berjuang pejuang islam... 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Mohon doa agar dapat istiqamah.

6.
Pengirim: mohammad efendi  - Kota: Surabaya
Tanggal: 20/4/2012
 
Alhamdulillah, penjelasan yang singkat namun terang benderang.  
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Mudah-mudahan manfaat.

7.
Pengirim: Khofy alQuthfby  - Kota: Probolinggo
Tanggal: 25/4/2012
 
SEBUAH TANGGAPAN UNTUK YANG MENGAKU NU PALING LURUS :

Ritual Tahlilan Menurut Kitab NU Tahlilan yang dimaksudkan di sini bukanlah tahlilan menurut tinjauan Bahasa Arab. Dalam Bahasa Arab, makna tahlilan adalah mengucapkan laa ilaaha illallaah. Yang dimaksud dengan ritual tahlilan di sini adalah peringatan kematian yang dilakukan pada hari ke-3, 7, 40, 100 atau 1000 Berikut ini kutipan dari kitab Hasyiyah I’anah al Thalibin, suatu buku yang terkenal dalam kalangan NU untuk belajar fikih syafi’i pada level menengah atau lanjutan. ويكره لاهل الميت الجلوس للتعزية، وصنع طعام يجمعون الناس عليه، “Makruh hukumnya keluarga dari yang meninggal dunia duduk untuk menerima orang yang hendak menyampaikan belasungkawa.

Demikian pula makruh hukumnya keluarga mayit membuat makanan lalu manusia berkumpul untuk menikmatinya. لما روى أحمد عن جرير بن عبد الله البجلي، قال: كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة، Dalilnya adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Jarir bin Abdillah al Bajali-seorang sahabat Nabi-, “Kami menilai berkumpulnya banyak orang di rumah keluarga mayit, demikian pula aktivitas keluarga mayit membuatkan makanan setelah jenazah dimakamkan adalah bagian dari niyahah atau meratapi jenazah”. ويستحب لجيران أهل الميت – ولو أجانب – ومعارفهم – وإن لم يكونوا جيرانا – وأقاربه الاباعد – وإن كانوا بغير بلد الميت – أن يصنعوا لاهله طعاما يكفيهم يوما وليلة، وأن يلحوا عليهم في الاكل.

Dianjurkan bagi para tetangga-meski bukan mahram dengan jenazah, kawan dari keluarga mayit-meski bukan berstatus sebagai tetangga-dan kerabat jauh dari mayit-meski mereka berdomisili di lain daerah-untuk membuatkan makanan yang mencukupi bagi keluarga mayit selama sehari semalam semenjak meninggalnya mayit. Hendaknya keluarga mayit agak dipaksa untuk mau menikmati makanan yang telah dibuatkan untuk mereka. ويحرم صنعه للنائحة، لانه إعانة على معصية.

Haram hukumnya menyediakan makanan untuk wanita yang meratapi mayit karena tindakan ini merupakan dukungan terhadap kemaksiatan وقد اطلعت على سؤال رفع لمفاتي مكة المشرفة فيما يفعله أهل الميت من الطعام وجواب منهم لذلك. Aku- yaitu penulis kitab Hasyiyah I’anah al Thalibin- telah membaca sebuah pertanyaan yang diajukan kepada para mufti di Mekkah mengenai makanan yang dibuat oleh keluarga mayit dan jawaban mereka untuk pertanyaan tersebut. (وصورتهما). Berikut ini teks pertanyaan dan jawabannya. ما قول المفاتي الكرام بالبلد الحرام دام نفعهم للانام مدى الايام، في العرف الخاص في بلدة لمن بها من الاشخاص أن الشخص إذا انتقل إلى دار الجزاء، وحضر معارفه وجيرانه العزاء، جرى العرف بأنهم ينتظرون الطعام، ومن غلبة الحياء على أهل الميت يتكلفون التكلف التام، ويهيئون لهم أطعمة عديدة، ويحضرونها لهم بالمشقة الشديدة. Pertanyaan, “Apa yang dikatakan oleh para mufti yang mulia di tanah haram –moga ilmu mereka manfaat untuk banyak orang sepanjang zaman– tentang tradisi yang ada di suatu daerah. Tradisi ini hanya dilakukan oleh beberapa orang di daerah tersebut. Tradisi tersebut adalah jika ada seorang yang meninggal dunia lantas datanglah kawan-kawan mayit dan tetangganya untuk menyampaikan belasungkawa maka para kawan mayit dan tetangga ini menunggu-nunggu adanya makanan yang disuguhkan. Karena sangat malu maka keluarga mayit sangat memaksakan diri untuk menyiapkan beragam jenis makanan lalu menyuguhkannya kepada para tamu meski dalam kondisi yang sangat kerepotan. فهل لو أراد رئيس الحكام – بما له من الرفق بالرعية، والشفقة على الاهالي – بمنع هذه القضية بالكلية ليعودوا إلى التمسك بالسنة السنية، المأثورة عن خير البرية وإلى عليه ربه صلاة وسلاما، حيث قال: اصنعوا لآل جعفر طعاما يثاب على هذا المنع المذكور ؟ أفيدوا بالجواب بما هو منقول ومسطور. Seandainya penguasa di daerah tersebut –karena belas kasihan dengan rakyat dan sayang dengan keluarga mayit– melarang keras perbuatan di atas agar rakyatnya kembali berpegang teguh dengan sunah sebaik-baik makhluk yang pernah bersabda, “Buatkan makanan untuk keluarga Ja’far”. Apakah penguasa tersebut akan mendapatkan pahala karena melarang kebiasaan di atas?

Berilah kami jawaban secara tertulis”. (الحمد لله وحده) وصلى الله وسلم على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه والسالكين نهجهم بعده. اللهم أسألك الهداية للصواب. Jawaban, “Segala puji hanyalah milik Allah. Semoga Allah senantiasa menyanjung junjungan kita, Muhammad, keluarga, sahabat dan semua orang yang meniti jalan mereka. Aku meminta petunjuk untuk memberikan jawaban yang benar kepada Allah. نعم، ما يفعله الناس من الاجتماع عند أهل الميت وصنع الطعام، من البدع المنكرة التي يثاب على منعها والي الامر، ثبت الله به قواعد الدين وأيد به الاسلام والمسلمين. Betul, acara kumpul-kumpul di rumah duka dan kegiatan membuat makanan yang dilakukan oleh banyak orang adalah salah satu bentuk bid’ah munkarah. Sehingga penguasa yang melarang kebiasaan tersebut akan mendapatkan pahala karenanya. Semoga Allah meneguhkan kaidah-kaidah agama dan menguatkan Islam dan muslimin dengan sebab beliau. قال العلامة أحمد بن حجر في (تحفة المحتاج لشرح المنهاج): ويسن لجيران أهله – أي الميت – تهيئة طعام يشبعهم يومهم وليلتهم، al-’Allamah Ahmad bin Hajar dalam Tuhfah al Muhtaj li Syarh al Minhaj mengatakan, “Dianjurkan bagi para tetangga keluarga mayit untuk menyiapkan makanan yang cukup untuk mengenyangkan keluarga mayit selama sehari dan semalam للخبر الصحيح اصنعوا لآل جعفر طعاما فقد جاءهم ما يشغلهم. Dalilnya adalah sebuah hadits yang sahih, “Buatkan makanan untuk keluarga Ja’far karena telah datang kepada mereka duka yang menyibukkan mereka –dari menyiapkan makanan–” ويلح عليهم في الاكل ندبا، لانهم قد يتركونه حياء، أو لفرط جزع. Dianjurkan hukumnya keluarga mayit untuk agak dipaksa agar mau menikmati makanan yang telah disiapkan untuk mereka karena boleh jadi mereka tidak mau makan karena malu atau sangat sedih. ويحرم تهيئه للنائحات لانه إعانة على معصية، Haram hukumnya menyediakan makanan untuk wanita yang meratapi mayit karena tindakan ini merupakan dukungan terhadap kemaksiatan وما اعتيد من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه، بدعة مكروهة – كإجابتهم لذلك، Kebiasaan sebagian orang berupa keluarga mayit membuat makanan lalu mengundang para tetangga untuk menikmatinya adalah bid’ah makruhah. Demikian pula mendatangi undangan tersebut termasuk bid’ah makruhah. لما صح عن جرير رضي الله عنه: كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة. Dalilnya adalah sebuah riwayat yang sahih dari Jarir, “Kami menilai berkumpulnya banyak orang di rumah keluarga mayit, demikian pula aktivitas keluarga mayit membuatkan makanan setelah jenazah dimakamkan adalah bagian dari niyahah atau meratapi jenazah”. ووجه عده من النياحة ما فيه من شدة الاهتمام بأمر الحزن. Alasan logika yang menunjukkan bahwa hal tersebut termasuk niyahah adalah karena perbuatan tersebut menunjukkan perhatian ekstra terhadap hal yang menyedihkan ومن ثم كره اجتماع أهل الميت ليقصدوا بالعزاء، بل ينبغي أن ينصرفوا في حوائجهم، فمن صادفهم عزاهم.اه. Oeh karena itu, makruh hukumnya keluarga mayit berkumpul supaya orang-orang datang menyampaikan bela sungkawa. Sepatutnya keluarga mayit sibuk dengan keperluan mereka masing-masing lantas siapa saja yang kebetulan bertemu dengan mereka menyampaikan bela sungkawa.” Sekian penjelasan dari penulis Tuhfah al Muhtaj. وفي حاشية العلامة الجمل على شرح المنهج: ومن البدع المنكرة والمكروه فعلها: ما يفعله الناس من الوحشة والجمع والاربعين، بل كل ذلك حرام إن كان من مال محجور، أو من ميت عليه دين، أو يترتب عليه ضرر، أو نحو ذلك.اه. Dalam Hasyiyah al Jamal untuk kitab Syarh al Manhaj disebutkan, “Termasuk bid’ah munkarah dan makruhah adalah perbuatan banyak orang yang mengungkapkan rasa sedih lalu mengumpulkan banyak orang pada hari ke-40 kematian mayit. Bahkan semua itu hukumnya haram jika acara tersebut dibiayai menggunakan harta anak yatim atau mayit meninggal dunia dalam keadaan meninggalkan hutang atau menimbulkan keburukan dan semisalnya.” Sekian dari Hasyiyah al Jamal. وقد قال رسول الله (صلى الله عليه و سلم ) لبلال بن الحرث رضي الله عنه: يا بلال من أحيا سنة من سنتي قد أميتت من بعدي، كان له من الاجر مثل من عمل بها، لا ينقص من أجورهم شيئا. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Bilal bin al Harts, “Wahai Bilal, siapa saja yang menghidupkan salah satu sunahku yang telah mati sepeninggalku maka baginya pahala semisal dengan pahala semua orang yang mengamalkannya tanpa mengurangi sedikitpun pahala mereka. ومن ابتدع بدعة ضلالة لا يرضاها الله ورسوله، كان عليه مثل من عمل بها، لا ينقص من أوزارهم شيئا. Sebaliknya siapa saja yang membuat bid’ah yang sesat yang tidak diridhai oleh Allah dan rasul-Nya maka dia akan menanggung dosa semisal dosa semua orang yang melakukannya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun”. وقال (صلى الله عليه و سلم ): إن هذا الخير خزائن، لتلك الخزائن مفاتيح، فطوبى لعبد جعله الله مفتاحا للخير، مغلاقا للشر.وويل لعبد جعله الله مفتاحا للشر، مغلاقا للخير. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kebaikan itu bagaikan simpanan. Simpanan tersebut memiliki kunci. Sungguh beruntung seorang hamba yang dijadikan oleh Allah sebagai kunci pembuka kebaikan dan penutup kejelekan. Celakalah seorang hamba yang dijadikan oleh Allah sebagai kunci pembuka kejelekan dan kunci penutup kebaikan”. ولا شك أن منع الناس من هذه البدعة المنكرة فيه إحياء للسنة، وإماته للبدعة، وفتح لكثير من أبواب الخير، وغلق لكثير من أبواب الشر، فإن الناس يتكلفون تكلفا كثيرا، يؤدي إلى أن يكون ذلك الصنع محرما. والله سبحانه وتعالى أعلم. Tidaklah diragukan bahwa melarang masyarakat dari bid’ah munkarah di atas berarti menghidupkan sunah dan mematikan bid’ah, membuka berbagai pintu kebaikan dan menutup berbagai pintu keburukan. Banyak orang yang terlalu memaksakan diri untuk melakukan acara di atas sehingga menyebabkan perbuatan tersebut statusnya adalah perbuatan yang haram”. كتبه المرتجي من ربه الغفران: أحمد بن زيني دحلان – مفتي الشافعية بمكة المحمية – غفر الله له، ولوالديه، ومشايخه، والمسلمين. Demikianlah fatwa tertulis yang ditulis oleh Ahmad bin Zaini Dahan, mufti Syafi’i di Mekkah. Moga Allah mengampuninya, kedua orang tuanya, para gurunya dan seluruh kaum muslimin. (الحمد لله) من ممد الكون أستمد التوفيق والعون. Segala puji hanyalah milik Allah. Kepada zat yang memberi nikmat untuk seluruh makhluk aku-mufti Hanafi-memohon taufik dan pertolongan-Nya. نعم، يثاب والي الامر – ضاعف الله له الاجر، وأيده بتأييده – على منعهم عن تلك الامور التي هي من البدع المستقبحة عند الجمهور. Betul, penguasa tersebut- moga Allah berikan kepadanya pahala yang berlipat ganda dan moga Allah selalu menolongnya- akan mendapatkan pahala dengan melarang masyarakat melakukan acara tersebut yang berstatus sebagai bid’ah yang jelek menurut mayoritas ulama. قال في (رد المحتار تحت قول الدر المختار) ما نصه: قال في الفتح: ويستحب لجيران أهل الميت، والاقرباء الاباعد، تهيئة طعام لهم يشبعهم يومهم وليلتهم، لقوله (صلى الله عليه و سلم ): اصنعوا لآل جعفر طعاما فقد جاءهم ما يشغلهم.حسنه الترمذي، وصححه الحاكم. Penulis kitab Radd al Muhtar yang merupakan penjelasan untuk kitab al Durr al Mukhtar mengatakan sebagai berikut, “Dalam kitab al Fath disebutkan, dianjurkan bagi para tetangga keluarga mayit dan kerabat jauh mayit untuk menyiapkan makanan yang cukup untuk mengenyangkan mereka selama sehari dan semalam mengingat sabda Nabi, “Buatkan makanan untuk keluarga Ja’far karena telah datang kepada mereka duka yang menyibukkan mereka-dari menyiapkan makanan-”. Hadits ini dinilai hasan oleh Tirmidzi dan dinilai sahih oleh al Hakim. ولانه بر ومعروف، Menyediakan makanan untuk keluarga mayit adalah kebaikan. ويلح عليهم في الاكل، لان الحزن يمنعهم من ذلك، فيضعفون حينئذ. Hendaknya keluarga mayit agak dipaksa untuk menikmati makanan yang disediakan untuk mereka karena kesedihan menghalangi mereka untuk berselera makan sehingga mereka malas untuk makan”. وقال أيضا: ويكره الضيافة من الطعام من أهل الميت، لانه شرع في السرور، وهي بدعة. Penulis Radd al Muhtar juga mengatakan, “Makruh hukumnya bagi keluarga mayit untuk menyajikan makanan karena menyajikan makanan itu disyaratkan ketika kondisi berbahagia. Sehingga perbuatan keluarga mayit menyajikan makanan adalah bid’ah. روى الامام أحمد وابن ماجه بإسناد صحيح، عن جرير بن عبد الله، قال: كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام من النياحة.اه. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Majah dengan sanad yang sahih dari Jari bin Abdillah mengatakan, “Kami menilai berkumpulnya banyak orang di rumah keluarga mayit, demikian pula aktivitas keluarga mayit membuatkan makanan adalah bagian dari niyahah atau meratapi jenazah”. Sekian penjelasan penulis kitab Radd al Muhtar-kitab fikih mazhab Hanafi-. وفي البزاز: ويكره اتخاذ الطعام في اليوم الاول والثالث وبعد الاسبوع، ونقل الطعام إلى القبر في المواسم إلخ. Dalam kitab al Bazzaz disebutkan, “Makruh hukumnya membuat makanan pada hari pertama, ketiga dan ketujuh setelah kematian. Demikian pula, makruh hukumnya membawa makanan ke kuburan di berbagai kesempatan dst”. وتمامه فيه، فمن شاء فليراجع. والله سبحانه وتعالى أعلم. Penjelasan detailnya ada di kitab tersebut. Siapa saja yang ingin penjelasan lengkap silahkan membaca sendiri buku tersebut. Wallahu a’lam. كتبه خادم الشريعة والمنهاج: عبد الرحمن بن عبد الله سراج، الحنفي، مفتي مكة المكرمة – كان الله لهما حامدا مصليا مسلما. Demikianlah fatwa tertulis yang disampaikan oleh pelayan syariat dan minhaj Islam, Abdurrahman bin Abdillah Siraj al Hanafi, mufti Mekkah seraya memuji Allah, dan mengucapkan salawat dan salam untuk rasul-Nya. وقد أجاب بنظير هذين الجوابين مفتي السادة المالكية، ومفتي السادة الحنابلة. Fatwa yang sama juga disampaikan oleh mufti Maliki dan mufti Hanbali”. Sumber: Hasyiyah I’anah al Thalibin karya Sayid Bakri bin Dimyati al Mishri juz 2 hal 145-146 terbitan al Haramain Singapura. Catatan: Bandingkan penjelasan di atas dengan praktek saudara-saudara kita, jamaah NU yang hanya mengenal NU secara kultural bukan secara ajaran sebagaimana yang tercatat dalam kitab-kitab NU standar. Perlu diketahui bahwa Zaini Dahlan adalah ulama syafi’iyyah di zamannya yang sangat benci dan sangat memusuhi apa yang didakwahkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dalam masalah tauhid. Meski demikian beliau keras dengan masalah tahlilan. Beliau menilai acara tahlilan sebagai bid’ah munkarah alias bid’ah yang harus diberantas atau diingkari. Beliau tidak menilai ritual tahlilan sebagai ajaran Wahabi yang sangat beliau musuhi. Sehingga anggapan bahwa anti tahlilan hanyalah pemahaman Wahabi adalah anggapan yang sangat dipaksakan dan terlalu mengada-ada. Zaini Dahan ternyata tidak menolerir acara tahlilan dengan alasan sikap arif terhadap budaya lokal. Bahkan beliau menegaskan bahwa memberantasnya adalah amalan yang berpahala. Bandingkan dengan sikap banyak orang NU yang menolak kebenaran dengan alasan sikap arif dengan budaya lokal, meneladani dakwah Sunan Kalijaga padahal model dakwah Sunan Kalijaga sendiri ditentang oleh mayoritas wali songo, Sunan Bonang yang merupakan guru ngaji Sunan Kalijaga, Sunan Giri dll. Berdasarkan penjelasan mufti Hanafi di atas acara tahlilan adalah bid’ah yang harus diberantas menurut mayoritas ulama
------------------------------------
TANGGAPAN :

Sebenanrya, jika komentator pejuang islam.com ini memang memahami, maka semestinya komentator fokus terhadap perincian atau pengupasan dalil per dalil. Karena ini medianya melalui website, lain hal dg dialog langsung yang tentunya lebih banyak waktu yang akan di luangkan dan akan lebih hidup daripada hanya sekedar membaca sanggah-menyanggah di pejuang islam.com. Adapun jika tdk keberatan, maka marilah kita kaji dalilnya satu persatu. Karena komentator menanggapinya tdk fokus, maka saya juga akan menjelaskannya semuanya per bab, dan insya Alloh bisa menjawab keraguan komentator terhadap tahlilan.

HUKUM KENDURI KEMATIAN
Selamatan hari kematian, hari kedua, ketiga, ketujuh dan seterusnya tidak diharamkan dalam fatwa-fatwa Imam Syafi’i dan para ulama besar yang menjadi pengikut madzhabnya. Demikian keterangan yang tertera dalam kitab al-Umm, I’anah al-Thalibin, Hasyiyah al-Qulyubi wa Amirah, Mughni al-Muhtaj, al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah dan lain-lain. Dalam hal ini al-Imam al-Syafi’i berkata dalam kitab al-Umm:
وَأُحِبُّ لِجِيرَانِ الْمَيِّتِ أو ذِي قَرَابَتِهِ أَنْ يَعْمَلُوا لِأَهْلِ الْمَيِّتِ في يَوْمِ يَمُوتُ وَلَيْلَتِهِ طَعَامًا يُشْبِعُهُمْ فإن ذلك سُنَّةٌ وَذِكْرٌ كَرِيمٌ وهو من فِعْلِ أَهْلِ الْخَيْرِ قَبْلَنَا وَبَعْدَنَا لِأَنَّهُ لَمَّا جاء نَعْيُ جَعْفَرٍ قال رسول اللهِ  اجْعَلُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فإنه قد جَاءَهُمْ أَمْرٌ يَشْغَلُهُمْ.
“Aku suka kalau para tetangga si mati atau kerabatnya menyediakan makanan untuk keluarga si mati pada hari kematian dan malamnya sehingga mengenyangkan mereka. Sesungguhnya hal itu sunnah dan ibadah yang muliah. Itu juga perbuatan orang-orang baik sebelum dan sesudah kita, karena ketika berita kematian Ja’far datang, Rasulullah  bersabda: “Sediakan makanan bagi keluarga Ja’far, karena mereka sedang kedatangan musibah yang menyita mereka.” (Al-Imam al-Syafi’i, al-Umm, juz 1 hal. 278).
Dalam kitab I’anah al-Thalibin, Syaikh al-Bakri mengutip fatwa gurunya, Sayyid Ahmad Zaini Dahlan berikut ini:
مَا يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِنَ اْلاِجْتِمَاعِ عِنْدَ أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصُنْعِ الطَّعَامِ مِنَ الْبِدَعِ الْمُنْكَرَةِ (2/145) وَفِيْ حَاشِيَةِ الْعَلاَّمَةِ الْجَمَلِ عَلَى شَرْحِ الْمَنْهَجِ وَمِنَ الْبِدَعِ الْمُنْكَرَةِ وَالْمَكْرُوْهِ فِعْلُهَا مَا يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِنَ الْوَحْشَةِ وَالْجُمَعِ وَاْلأَرْبَعِيْنَ بَلْ كُلُّ ذَلِكَ حَرَامٌ إِنْ كَانَ مِنْ مَالِ مَحْجُوْرٍ أَوْ مِنْ مَيِّتٍ عَلَيْهِ دَيْنٌ أَوْ يَتَرَتَّبُ عَلَيْهِ ضَرَرٌ أَوْ نَحْوُ ذَلِكَ اهـ (2/146) وَلاَ شَكَّ أَنَّ مَنْعَ النَّاسِ مِنْ هَذِهِ الْبِدْعَةِ الْمُنْكَرَةِ فِيْهِ إِحْيَاءٌ لِلسُّنَّةِ وَإِمَاتَةٌ لِلْبِدْعَةِ وَفَتْحٌ لِكَثِيْرٍ مِنْ أَبْوَابِ الْخَيْرِ وَغَلْقٌ لِكَثِيْرٍ مِنْ أَبْوَابِ الشَّرِّ فَإِنَّ النَّاسَ يَتَكَلَّفُوْنَ تَكَلُّفًا كَثِيْرًا يُؤَدِّيْ إِلَى أَنْ يَكُوْنَ ذَلِكَ الصُّنْعُ مُحَرَّمًا (2/146).
“Apa yang dilakukan oleh manusia berupa berkumbul di rumah keluarga duka cita dan menyediakan makanan adalah termasuk perbuatan bid’ah yang munkar. Dalam Hasyiyah al-Jamal diterangkan, “Di antara bid’ah yang munkar adalah tradisi selamatan (kenduri) kematian yang disebut wahsyah, juma’, dan arba’in (nama-nama tradisi di Hijaz). Bahkan semua itu dihukumi haram apabila makanan tersebut diambil dari harta mahjur ‘alaih (orang yang belum dibolehkan mentasarufkan hartanya seperti anak yang belum dewasa), atau harta si mati yang memiliki hutang, atau dapat menimbulkan madarat pada si mati tersebut dan sesamanya.” Tidak diragukan lagi bahwa mencegah manusia dari bid’ah yang munkar ini, dapat menghidupkan sunnah, mematikan bid’ah, membuka sekian banyak pintu-pintu kebaikan dan menutup sekian banyak pintu-pintu kejelekan. Karena manusia yang melakukannya telah banyak memaksakan diri yang membawa pada hukum keharaman.” (Syaikh al-Bakri, I’anah al-Thalibin, juz 2 hal. 145-146).
Demikian fatwa Sayyid Ahmad Zaini Dahlan al-Syafi’i yang dikutip oleh Syaikh al-Bakri dalam I’anah al-Thalibin. Kesimpulan dari fatwa tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, selamatan pada hari kematian, sampai hari ketujuh dan hari empat puluh adalah makruh, apabila makanan yang disediakan berasal dari harta keluarga si mati.
Kedua, selamatan tersebut bisa menjadi haram, apabila makanan disediakan dari harta mahjur ‘alaih (orang yang tidak boleh mengelola hartanya seperti anak yatim/belum dewasa), atau dari harta si mati yang mempunyai hutang, atau dapat menimbulkan madarat dan sesamanya. Demikian kesimpulan fatwa Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan yang bermadzhab Syafi’i.
Pernyataan yang sama juga dikemukakan oleh al-Imam al-Qulyubi dalam Hasyiyah-nya berikut ini:
قَالَ شَيْخُنَا الرَّمْلِيُّ : وَمِنَ الْبِدَعِ الْمُنْكَرَةِ الْمَكْرُوْهِ فِعْلُهَا، كَمَا فِي الرَّوْضَةِ، مَا يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِمَّا يُسَمَّى بِالْكَفَّارَةِ، وَمِنْ صُنْعِ طَعَامٍ لِلْاِجْتِمَاعِ عَلَيْهِ قَبْلَ الْمَوْتُ أَوْ بَعْدَهُ، وَمِنَ الذَّبْحِ عَلَى الْقَبْرِ، بَلْ ذَلِكَ كُلُّهُ حَرَامٌ إِنْ كَانَ مِنْ مَالِ مَحْجُوْرٍ وَلَوْ مِنَ التِّرْكَةِ، أَوْ مِنْ مَالِ مَيِّتٍ عَلَيْهِ دَيْنٌ وَتَرَتَّبَ عَلَيْهِ ضَرَرٌ، أَوْ نَحْوُ ذَلِكَ، وَاللهُ أَعْلَمُ.
“Telah berkata guru kami al-Ramli: “Di antara bid’ah yang munkar dan makruh dikerjakan, sebagaimana keterangan dalam kitab al-Raudhah, adalah tradisi manusia yang disebut kaffarah, menyediakan makanan untuk berkumpul sebelum atau sesudah kematian dan menyembelih di atas kuburan. Bahkan semua itu dihukumi haram apabila diambilkan dari harta mahjur ‘alaih meskipun berasal dari tirkah (peninggalan si mati), atau dari harta si mati yang mempunyai hutang dan menimbulkan bahaya baginya atau sesamanya. Wallahu a’lam.” (Hayiyah al-Qulyubi wa ‘Amirah, juz 1 hal 414).
Pernyataan al-Imam al-Qulyubi di atas menyimpulkan sebagai berikut. Pertama, selamatan kematian yang disebut kaffarah, menyediakan makanan sebelum dan sesudah kematian dan menyembelih di atas kuburan itu hukumnya makruh (tidak haram). Kedua, hukum makruh ini, bisa naik statusnya menjadi haram apabila, makanan tersebut diambilkan dari harta mahjur, atau dari harta si mati yang mempunyai hutang dan mengakibatkan madarat baginya.”
Selanjutnya, Syaikh al-Bakri dalam I’anah al-Thalibin mengutip fatwa Syaikh Abdurrahman Siraj al-Hanafi, mufti madzhab Hanafi di Makkah al-Mukarramah, berikut ini:
وَفِي الْبَزَّازِ وَيُكْرَهُ اتِّخَاذُ الطَّعَامِ فِي الْيَوْمِ اْلأَوَّلِ وَالثَّالِثِ وَبَعْدَ الْأُسْبُوْعِ وَنَقْلُ الطَّعَامِ إِلىَ الْقَبْرِ (2/146)
“Dalam fatawa al-Bazzaziyah diterangkan, “Dimakruhkan menyediakan makanan pada hari pertama, ketiga, setelah ketujuh dan memindah makanan ke kuburan.” (Syaikh al-Bakri, I’anah al-Thalibin, juz 2 hal. 145-146).
Demikian fatwa ulama madzhab Hanafi yang dikutip oleh Syaikh al-Bakri yang menyimpulkan bahwa acara selamatan atau kenduri kematian adalah makruh, bukan haram. Hukum haram bisa terjadi ketika makanan yang disediakan diambilkan dari harta mahjur ‘alaih, atau harta si mati yang mempunyai hutang dan mengakibatkan madarat baginya. Fatwa serupa juga dikeluarga oleh mufti dari madzhab Maliki dan Hanbali. Dengan demikian, pernyatan selebaran Manhaj Salaf bahwa acara kenduri kematian adalah mutlak haram, jelas merupakan distorsi terhadap pernyataan para ulama, la haula wala quwwata illa billah.

KONTRIBUSI TETANGGA
Apabila makanan yang disediakan kepada orang-orang yang berkumpul untuk membacakan al-Qur’an dan tahlil tersebut berasal dari bantuan para tetangga, maka status hukum makruhnya menjadi hilang dan berubah menjadi tidak makruh. Hal ini seperti dikemukakan oleh Syaikh Abdul Karim Bayyarah al-Baghdadi, mufti madzhab Syafi’i di Iraq, dalam kitabnya Jawahir al-Fatawa. Dalam hal ini, ia berkata:
اِنِ اجْتَمَعَ الْمُعِزُّوْنَ الرُّشَدَاءُ وَأَعْطَى كُلٌّ مِنْهُمْ بِاخْتِيَارِهِ مِقْدَارًا مِنَ النُّقُوْدِ أَوْ جَمَعُوْا فِيْمَا بَيْنَهُمْ مَا يُكْتَفَى بِهِ لِذَلِكَ الْجَمْعِ مِنَ الْمَأْكُوْلاَتِ وَالْمَشْرُوْبَاتِ وَأَرْسَلُوْهُ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ أَوْ إِلَى أَحَدِ جِيْرَانِهِمْ وَتَنَاوَلُوْا ذَلِكَ بَعْدَ الْوُصُوْلِ اِلَى مَحَلِّ التَّعْزِيَةِ فَلاَ حَرَجَ فِيْهِ هَذَا وَاللهُ الْهَادِيْ إِلَى الْحَقِّ وَالصَّوَابِ.
“Apabila orang-orang yang berta’ziyah yang dewasa berkumpul, lalu masing-masing mereka menyerahkan sejumlah uang, atau mengumpulkan sesuatu yang mencukupi untuk konsumsi perkumpulan (selamatan kematian) berupa kebutuhan makanan dan minuman, dan mengirimkannya kepada keluarga si mati atau salah satu tetangganya, lalu mereka menjamahnya setelah sampai di tempat ta’ziyah itu, maka hal tersebut tidak mengandung hukum kesulitan (tidak apa-apa). Allah lah yang menunjukkan pada kebenaran.” (Jawahir al-Fatawa, juz 1, hal. 178).

KHILAFIYAH ULAMA SALAF
Tidak semua kaum salaf memakruhkan sajian makanan yang dibuat oleh keluarga si mati untuk orang-orang yang berta’ziyah. Dalam masalah ini ada khilafiyah di kalangan mereka. Pandangan-pandangan tersebut antara lain sebagai berikut ini:
Pertama, riwayat dari Khalifah Umar bin al-Khatthab yang berwasiat agar disediakan makanan bagi mereka yang berta’ziyah. Al-Hafizh Ibnu Hajar meriwayatkan:
عَنِ الْأَحْنَفِ بْنِ قَيْسٍ قَالَ كُنْتُ أَسْمَعُ عُمَرَ  يَقُوْلُ لاَ يَدْخُلُ أَحَدٌ مِنْ قُرَيْشٍ فِيْ بَابٍ إِلَّا دَخَلَ مَعَهُ نَاسٌ فَلاَ أَدْرِيْ مَا تَأْوِيْلُ قَوْلِهِ حَتَّى طُعِنَ عُمَرُ  فَأَمَرَ صُهَيْبًا  أَنْ يُصَلِّيَ بِالنَّاسِ ثَلاَثًا وَأَمَرَ أَنْ يُجْعَلَ لِلنَّاسِ طَعَاماً فَلَمَّا رَجَعُوْا مِنَ الْجَنَازَةِ جَاؤُوْا وَقَدْ وُضِعَتِ الْمَوَائِدُ فَأَمْسَكَ النَّاسُ عَنْهَا لِلْحُزْنِ الَّذِيْ هُمْ فِيْهِ. (المطالب العالية، 5/328).
“Dari Ahnaf bin Qais, berkata: “Aku mendengar Umar berkata: “Seseorang dari kaum Quraisy tidak memasuki satu pintu, kecuali orang-orang akan masuk bersamanya.” Aku tidak mengerti maksud perkataan beliau, sampai akhirnya Umar ditusuk, lalu memerintahkan Shuhaib menjadi imam sholat selama tiga hari dan memerintahkan menyediakan makanan bagi manusia. Setelah mereka pulang dari jenazah Umar, mereka datang, sedangkan hidangan makanan telah disiapkan. Lalu mereka tidak jadi makan, karena duka cita yang menyelimuti.” (Al-Hafizh Ibnu Hajar, al-Mathalib al-‘Aliyah, juz 5 hal. 328).
Kedua, tradisi kaum salaf sejak generasi sahabat yang bersedekah makanan selama tujuh hari kematian untuk meringankan beban si mati. Dalam hal ini, al-Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dalam kitab al-Zuhd:
عَنْ سُفْيَانَ قَالَ قَالَ طَاوُوْسُ إِنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُوْنَ فِيْ قُبُوْرِهِمْ سَبْعاً فَكَانُوْا يَسْتَحِبُّوْنَ أَنْ يُطْعَمَ عَنْهُمْ تِلْكَ الْأَياَّمَ.
“Dari Sufyan berkata: “Thawus berkata: “Sesungguhnya orang yang mati akan diuji di dalam kubur selama tujuh hari, karena itu mereka (kaum salaf) menganjurkan sedekah makanan selama hari-hari tersebut.”
Hadits di atas diriwayatkan al-Imam Ahmad bin Hanbal dalam al-Zuhd, al-Hafizh Abu Nu’aim dalam Hilyah al-Auliya’ (juz 4 hal. 11), al-Hafizh Ibnu Rajab dalam Ahwal al-Qubur (32), al-Hafizh Ibnu Hajar dalam al-Mathalib al-‘Aliyah (juz 5 hal. 330) dan al-Hafizh al-Suyuthi dalam al-Hawi lil-Fatawi (juz 2 hal. 178).
Menurut al-Hafizh al-Suyuthi, hadits di atas diriwayatkan secara mursal dari Imam Thawus dengan sanad yang shahih. Hadits tersebut diperkuat dengan hadits Imam Mujahid yang diriwayatkan oleh Ibnu Rajab dalam Ahwal al-Qubur dan hadits Ubaid bin Umair yang diriwayatkan oleh Imam Waki’ dalam al-Mushannaf, sehingga kedudukan hadits Imam Thawus tersebut dihukumi marfu’ yang shahih. Demikian kesimpulan dari kajian al-Hafizh al-Suyuthi dalam al-Hawi lil-Fatawi.
Tradisi bersedekah kematian selama tujuh hari berlangsung di Kota Makkah dan Madinah sejak generasi sahabat, hingga abad kesepuluh Hijriah, sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh al-Suyuthi.
Ketiga, pendapat Imam Malik bin Anas, pendiri madzhab Maliki, bahwa hidangan kematian yang telah menjadi tradisi masyarakat dihukumi jaiz (boleh), dan tidak makruh. Dalam konteks ini, Syaikh Abdullah al-Jurdani berkata:
يَجُوْزُ مِنْهُ مَا جَرَتْ بِهِ الْعَادَةُ عِنْدَ الْإِماَمِ مَالِكٍ كَالْجُمَعِ وَنَحْوِهَا وَفِيْهِ فُسْحَةٌ كَمَا قَالَهُ الْعَلاَّمَةُ الْمُرْصِفِيُّ فِيْ رِسَالَةٍ لَهُ.
“Hidangan kematian yang telah berlaku menjadi tradisi seperti tradisi Juma’ dan sesamanya adalah boleh menurut Imam Malik. Pandangan ini mengandung keringanan sebagaimana dikatakan oleh al-Allamah al-Murshifi dalam risalahnya.” (Syaikh Abdullah al-Jurdani, Fath al-‘Allam Syarh Mursyid al-Anam, juz 3 hal. 218).
Berdasarkan paparan di atas, dapat kita simpulkan bahwa tradisi hidangan makanan dari keluarga duka cita untuk orang-orang yang berta’ziyah masih diperselisihkan di kalangan ulama salaf sendiri antara pendapat yang mengatakan makruh dan pendapat yang mengatakan tidak makruh. Bahkan untuk selamatan tujuh hari, berdasarkan riwayat Imam Thawus, justru dianjurkan oleh kaum salaf sejak generasi sahabat dan berlangsung di Makkah dan Madinah hingga abad kesepuluh Hijriah.

MASALAH WALI 9
Komentator menyatakan bahwa dakwah Sunan Kalijaga rahimahulloh sendiri ditentang oleh mayoritas wali songo, Sunan Bonang yang merupakan guru ngaji Sunan Kalijaga, Sunan Giri, dll. Bagi saya, untuk keabsahan ilmiyyah maka saya minta Komentator mengajukan data valid tentang keterangan bahwa mayoritas wali 9 menentang dakwah sunan Kali Jogo. Kitab karangan siapa, halaman berapa, dan apa nama kitabnya?

KETIDAK JUJURAN WAHHABI
Kutipan di atas tidak lengkap dan memotong pernyataan kitab I’anah al-Thalibin. Padahal aslinya tertulis begini:
“Termasuk bid’ah yang munkar dan makruh melakukannya adalah apa yang dilakukan oleh manusia berupa tradisi wahsyah, juma’ dan arba’in, bahkan semua itu haram apabila berasal dari harta mahjur, atau harta mayit yang punya tanggungan hutang, dan atau menimbulkan madarat atau sesamanya.” (I’anah al-Thalibin juz 2 hal. 146).

CATATAN AKHIR
Untuk komentator ada baiknya kita kupas dalil satu persatu agar kita bisa lebih fokus dan bisa puas dengan dalil-dalil yang anda kemukakan………. Demikian, jika ada salah mohon di maafkan, dan jika itu suatu petunjuk bg anda sbg komentator maka terimalah dg lapang dada. Hadanallohu wa iyyakum ajma’iin..

 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Mudah-mudahan yang ngaku-ngaku jadi NU Paling Lurus bisa bertaubat dari kesalahpahamannya terhadap ajaran Islam, dan aktif ikut Tahlilan.

8.
Pengirim: Abu Raihan  - Kota: Palangkaraya
Tanggal: 30/4/2012
 
1. Bismillah,
Sungguh agama Islam ini telah sempurna (QS. Al Maidah : 3)
Rosululloh Sholallohu Alaihi Wasalam berkata, yang maknanya "Barangsiapa yang melakukan amal perbuatan yang tidak ada contohnya dariku maka tertolak".
Kiranya cukuplah bagi kita untuk memahami agama ini diantaranya, tidak membuat amalan-amalan baru, walaupun itu "BAIK, ...MENURUT AKAL KITA". Kita ketahui bahwa Para Shahabat, adalah manusia paling alim, paling baik aqidahnya, paling baik amalnya, paling baik cara dakwahnya. Mengapa? Karena Para Shahabat adalah umat dibawah bimbingan langsung Rosululloh Sholallohu Alaihi Wasalam. APABILA TAHLILAN SEPERTI YANG KITA LAKUKAN ITU BAIK, PASTILAH PARA SHAHABAT TELAH MENDAHULUI KITA MENGERJAKANNYA.
Bersambung ...2
 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Di sinilah rupanya anda belum memahami hadits shahih, Rasulullah bersabda:

Man sanna fil islaami sunnatan hasanatan falaHu ajruHa wa ajru man `amila biha ba`dahu.

Barangsiapa merintis suatu sunnah yang baik dalam Islam maka dia mendapat
pahala amalan itu ditambah dengan pahala orang-orang yang mengamalkannya
setelahnya (HR. Muslim no. 1017, hadits no. 533 pada Ringkasan Shahih Muslim.
Bab al Hatsu `alal shadaqati `alal dzawiil haajati wa ajru man sanna fiihaa
sunnatan hasanatan).

9.
Pengirim: Abu Raihan  - Kota: Palangkaraya
Tanggal: 30/4/2012
 
2. Sambungan
Lihatlah/ carilah apakah ada diriwayatkan, praktek tahlilan seperti yang kita lakukan? Memang benar Para Shahabat melakukan TAHLIL, tetapi TATACARANYA, tidak seperti kita, yang menentukan TATACARANYA, diantaranya 3, 7, atau 40 hari setelah kematian. Menentukan TATACARA seperti inilah yang diingkari oleh yang sampeyan sebut para "PENGANUT WAHABI".
Permasalahannya "APABILA KAMI BERUSAHA MENGAMALKAN CARA BERAGAMA SEPERTI ITU DISEBUT WAHABI, maka tunjukkanlah letak KESALAHAN-NYA, apakah mengikuti cara Nabi seperti itu salah? Bersambung …..3
 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Baiklah.. semoga anda konsisten dengan apa yg anda komentarkan. Anda berkomentar dengan substansi: Rosululloh Sholallohu Alaihi Wasalam berkata, yang maknanya "Barangsiapa yang melakukan amal perbuatan yang tidak ada contohnya dariku maka tertolak" dan APABILA TAHLILAN SEPERTI YANG KITA LAKUKAN ITU BAIK, PASTILAH PARA SHAHABAT TELAH MENDAHULUI KITA MENGERJAKANNYA.
Tidak perlu jauh-jauh kami mencontohkan, yakni pelaksanaan sholat tarawih yang di lakukan satu bulan penuh atas ijtihad salah satu sahabat. Nah.. apabila saya boleh balik bertanya: 1. Apakah pelaksanaan sholat tarawih yang di lakukan satu bulan penuh itu ada contohnya dari rasul??? 2. Jika pelaksanaan sholat tarawih yang di lakukan satu bulan penuh ada contohnya dari rasul, maka tentunya para sahabat sebelumnya juga akan melaksanakan terlebih dahulu! Tapi, kenyataannya pelaksanaan tarawih sebulan suntuk dan dilakukan secara berjamaah itu mulai diadakan justru di jaman Khalifah Umar bin Khatthab. Ini termasuk man sanna fil islaami sunnatan hasanah, sekalipun tidak pernah dilakukan oleh rasul sendiri.
3. Menurut anda: Para Shahabat adalah umat dibawah bimbingan langsung Rosululloh Sholallohu Alaihi Wasalam. Apakah sahabat yang mengijtihadkan sholat tarawih yang di lakukan satu bulan penuh tsb tidak mengerti ttg hadits rasul: "Barangsiapa yang melakukan amal perbuatan yang tidak ada contohnya dariku maka tertolak". Ataukah anda lebih faham terhadap pemaknaan hadits tsb dibanding para shahabat ?

Sebenarnya meskipun anda tidak melakukan tahlil maka kami juga tdk terlalu repot. Kami bertahlil karena kami menganggap amalan tahlil tidak terlarang dan bahkan berkesesuaian dengan ajaran Salafus Shalih.

Tentang masalah penentuan hari maka itu adalah tradisi kaum salaf sejak generasi sahabat yang bersedekah makanan selama tujuh hari kematian untuk meringankan beban si mati.

Dalam hal ini, al-Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dalam kitab al-Zuhd:

عَنْ سُفْيَانَ قَالَ قَالَ طَاوُوْسُ إِنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُوْنَ فِيْ قُبُوْرِهِمْ سَبْعاً فَكَانُوْا يَسْتَحِبُّوْنَ أَنْ يُطْعَمَ عَنْهُمْ تِلْكَ الْأَياَّمَ

Dari Sufyan berkata: “Thawus berkata: “Sesungguhnya orang yang mati akan diuji di dalam kubur selama tujuh hari, karena itu mereka (kaum salaf) menganjurkan sedekah makanan selama hari-hari tersebut.” Hadits di atas diriwayatkan al-Imam Ahmad bin Hanbal dalam al-Zuhd, al-Hafizh Abu Nu’aim dalam Hilyah al-Auliya’ (juz 4 hal. 11), al-Hafizh Ibnu Rajab dalam Ahwal al-Qubur (32), al-Hafizh Ibnu Hajar dalam al-Mathalib al-‘Aliyah (juz 5 hal. 330) dan al-Hafizh al-Suyuthi dalam al-Hawi lil-Fatawi (juz 2 hal. 178). Menurut al-Hafizh al-Suyuthi, hadits di atas diriwayatkan secara mursal dari Imam Thawus dengan sanad yang shahih. Hadits tersebut diperkuat dengan hadits Imam Mujahid yang diriwayatkan oleh Ibnu Rajab dalam Ahwal al-Qubur dan hadits Ubaid bin Umair yang diriwayatkan oleh Imam Waki’ dalam al-Mushannaf, sehingga kedudukan hadits Imam Thawus tersebut dihukumi marfu’ yang shahih. Demikian kesimpulan dari kajian al-Hafizh al-Suyuthi dalam al-Hawi lil-Fatawi. Tradisi bersedekah kematian selama tujuh hari berlangsung di Kota Makkah dan Madinah sejak generasi sahabat, hingga abad kesepuluh Hijriah, sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh al-Suyuthi.

10.
Pengirim: M. Soleh  - Kota: Bojonegoro
Tanggal: 1/5/2012
 
Ijin Copas Gan, Makasiiich.... 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Kami persilahkan, mudah-mudahan manfaat.

11.
Pengirim: amin  - Kota: Mataram
Tanggal: 6/5/2012
 
ini ada beberapa link sebagai pembanding. mohon ustadz mengomentari.

http://cintasunnah.com/ritual-membaca-alquran-di-kuburan/

 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Masalah khilafiyah furuiyah (perbedaan cabang agama) seperti amalan tahlilan dan ziarah kubur, tidak penting untuk dibanding-bandingkan dg pendapat dari aliran lainnya. Bagi para pengamal yang ingin mendapat jawaban unt menjustifikasi amalannya, cukup dengan dalil-dalil yg kami sajikan dalam situs ini. Bagi yang tidak percaya dengan dalil-dalil yg kami pilih, maka lanaa a-maaluna walakum a-maalukum. Ayo rajin tahlilan dan ziarah kubur bersama pejuang islam... !

12.
Pengirim: wangsa  - Kota: Subang
Tanggal: 12/5/2012
 
Tetap istiqomah Kiyai !..terus lah berjuang dan terus berjuang pejuang islam... 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Terima kasih supportnya.

13.
Pengirim: Rahmat Muhammad  - Kota: Kuala Lumpur Malaysia
Tanggal: 13/5/2012
 
Assalamualaikum warahmatullahi wa barakatuh....

Amat senang hati saya membaca artikel-artikel kiyahi kami yang termulia hadratul ustaz H. Luthfi Bashori. Semoga Allah memanjangkan usia kiyahi kami tilmiz syaikhina Al-Maliki.

Teruskan berjuang USTAZ!!!
 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Mohon doa agar dapat istiqamah.

 
 
Kembali Ke atas | Kembali Ke Index Karya Ilmiah
 
 
 
  Situs © 2009-2025 Oleh Pejuang Islam