Front Liberal dari Utan Kayu
Artawijaya
Sejak didirikan, kelompok liberal sudah meyakini bahwa keberadaannya akan membuka front bagi umat Islam. Sebuah pertemuan sederhana berlangsung di kantor Goenawan Mohammad, petinggi majalah Tempo, 4 Januari 2001. Tujuh orang itu serius berbincang selama berjam-jam. Hadir dalam pertemuan itu, Ulil Abshar Abdalla, Luthfi As-Syaukanie, Ihsan Ali Fauzi, Hamid Basyaib, Ahmad Sahal, dan Nong Darol Mahmada. Selain Goenawan, mereka yang berkumpul itu kebanyakan anak-anak muda. Ulil adalah mahasiswa drop-out dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA), sebuah universitas yang merupakan cabang dari KING of Saud University, Saudi Arabia. Luthfi Asy-Syaukanie pernah menjadi wartawan di Majalah Umat dan dosen Universitas Paramadina Mulya. Ihsan Ali Fauzi dan Hamid Basyaid pernah menjadi jurnalis di Republika. Nong yang terbilang belia ketika itu, adalah jebolan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sementara Ahmad Sahal, adalah aktivis muda NU.
Pertemuan itu mengerucut pada upaya membendung laju kelompok islam radikal, yang menurut mereka, pasca reformasi tumbuh subur dan membahayakan. Mereka menyoroti Front Pembela Islam (FPI) pimpinan Habib Muhammad Rizieq Syihab, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) pimpinan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, dan Laskar Jihad yang dikomandoi oleh Ustadz Ja’far Umar Thalib. “Fundamentalisme ini lahir dari rasa kecewa,” ujar Ulil. “Hari ini kita menyaksikan masyarakat yang selalu bersikap reaktif didominasi oleh kelompok agresif dan tidak terdidik dari kalangan Islam,” Hamid Basyaib menimpali.
Goenawan, tuan rumah dalam pertemuan itu, kemudian mengangkat telepon. Pendiri Institut Studi Arus dan Informasi (ISAI) itu kemudian menghubungi koleganya sesama petinggi media, Dahlan Iskan. Pimpinan Jawa Pos Group itu dimintai oleh Goenawan agar menyediakan ruang halaman untuk mempublikasikan pemikiran-pemikiran liberal. Deal, Dahlan setuju. Rapat kemudian memutuskan Nong Darol Mahmada untuk membuat proposal pencarian dana, sementara Luthfi As-Syaukanie ditugaskan untuk memoderatori diskusi mengenai Islam Liberal di mailing list. “Jaringan Islam Liberal dicetuskan dari pertemuan itu,” kenang Nong.
Pertemuan demi pertemuan berlanjut, hingga akhirnya pada Maret 2001, Jaringan Islam Liberal resmi berdiri. Markas mereka di Jalan Utan Kayu Raya No. 68 H, yang menjadi basis Komunitas Utan Kayu mulai dikenal dan didatangi oleh para aktivis. Diskusi demi diskusi diselenggarakan, termasuk menggunakan corong media radio, 68 H, yang mempunyai jaringan ke berbagai daerah. The Asia Foundation, LSM Internasional dari Amerika Serikat menjadi pendonor dana. Sementara dari lokal, The Freedom Institute yang dipimpin oleh Rizal Mallarangeng dan didanai oleh Bakrie Group, juga menjadi funding. “Reaksi masyarakat terkait artikel-artikel yang kami publikasikan di Jawa Pos cukup mengejutkan,” tutur Ulil.
Sejak saat itu buku-buku, bulletin, seminar, dan diskusi mengenai Islam Liberal marak diadakan. Sejak saat itu pula, mereka membuka front terhadap umat Islam. Beberapa buku seperti Wacana Islam Liberal (Charles Kurzman), Wajah Islam Liberal di Indonesia (Luthfi Asy-Syaukanie (ed)), Dari Neomoderenisme ke Islam Liberal ; Jejak Fazlur Rahman dalam Wacana Islam di Indonesia (Dr. Abd A’la), Syariat Islam, Pandangan Muslim Liberal (kerjasama JIL dan Asia Foundation), Pemikiran Liberal di Dunia Arab (Albert Hourani, kerjasama Freedom Institute, Royal Danish Embassy dan Penerbit Mizan), dan Fiqih Lintas Agama (kerjasama The Asia Foundation dan Paramadina). Sebelumnya, pada 1999 Greg Barton telah lebih dulu membuka wacana dengan melansir buku Gagasan Islam Liberal. Beruntun kemudian berbagai buku yang merusak aqidah dan mendekonstruksi syariat terus dipublikasikan. Kelompok kiri dan mereka yang menganut disorientasi seksual (homo, lesbi, biseksual) kemudian ikut menumpang dalam gerbong liberal.
Ujungnya, pada tahun 2005, massa umat islam dari FPI dan FUI berencana mendatangi markas JIL tersebut. Ratusan aparat bersiaga, menutup dua jalur ruas jalan Utan Kayu. Para aktivis liberal sekular berkumpul. Media massa asing tak ketinggalan, siap mengabadikan. Andaikata terjadi penyerangan saat itu, itulah yang mereka kehendaki. Mereka akan menjadikan momen penyerangan itu sebagai sarana kampanye menyuarakan anti kekerasan pada dunia internasional, sambil tak lupa, tentu saja berharap kucuran dana yang mengalir…
Waktu menunjukkan pukul 19.00 WIB. Dua hari jelang Idul Fitri, 2002. Nong Darol Mahmada sudah bersiap pulang ke kampung halamannya di Banten. Tiba-tiba teleponnya berdering.
“Nong, Ulil mendapat fatwa mati,” suara dari ujung telepon mengagetkan.
“Saya sudah coba telpon Ulil, tapi nggak bisa. Teleponnya nggak aktif. Ulil harus tahu tentang fatwa ini. Coba kamu hubungi di, oke?” Hamid Basyaib, pria di ujung telepon itu, yang tak lain koleganya sesama liberal terus nyerocos.
“Oke, aku coba kontak dia segera,” Nong meyambar ucapan Hamid.
Nong bergegas membuka laptop, mencari tahu tentang fatwa mati tersebut. Sebuah berita menyebutkan, sekelompok orang yang tergabung dalam Forum Ulama Umat Indonesia (FUUI) di Bandung mengeluarkan fatwa mati terhadap Ulil Abshar Abdalla. FUUI dipimpin oleh KH Athian Ali Dai, seorang ulama karismatik dari Bandung, lulusan Al-Azhar Mesir, yang selama ini dikenal kencang dalam menolak paham dan aliran sesat di Indonesia. Setelah membaca berita tersebut, Nong kemudian bertanya kepada ayahnya mengenai fatwa tersebut. Ayah Nong adalah seorang kiai yang cukup disegani di Banten. Kepada Nong, sang ayah meyakinkan bahwa fatwa itu tak terlalu serius. : “Yang saya bayangkan ketika itu, bukan FUUI yang akan mengeksekusi Ulil, tetapi kelompok radikal lain yang akan menghabisinya di jalan,” tutur Nong.
Di tempat terpisah, Ulil yang dikhawatirkan teman-temannya sedang dalam perjalanan menuju kampung halamannya di Pati, Jawa Tengah. Ulil bersama anak dan istrinya, pulang kampung dangan mengendarai mobil. Inilah, yang menjadikan kekhawatiran Nong dan teman-temannya akan nasib Ulil, khawatir imbas fatwa itu menjadi esekusi jalanan yang mengorbankan nyawa. Cerita mengenai kekalutan Nong dan Hamid terkait fatwa mati dari FUUI ini dikutip dari tulisan wartawan, Linda Christianty, dalam tulisan yang berjudul ‘’Is There a Rainbow in islam’’.
Fatwa mati itu dikeluarkan beberapa pekan setelah Ulil Abshar Abdalla menulis sebuah artikel berjudul ‘’Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam’’ yang dimuat di Harian Kompas, 18 November 2002. Tulisan tersebut dianggap sebagai bentuk pelecehan terhadap Islam dan kaum muslimin. Ulil misalnya menghina hukum-hukum syariat sebagai tradisi Arab yang harus ditinggalkan. Ia menyatakan, ‘’Aspek-aspek Islam yang merupakan cerminan kebudayaan Arab, misalnya, tidak usah diikuti. Contoh, soal jilbab, potong tangan, qishash, rajam, jenggot, jubah, tidak wajib diikuti, karena itu hanya ekspresi lokal partikular Islam di Arab. Yang harus diikuti adalah nilai-nilai universal yang melandasi praktik-praktik itu. Jilbab intinya adalah mengenakan pakaian yang memenuhi standar kepantasan umum (public decency). Kepantasan umum tentu sifatnya fleksibel dan berkembang sesuai pekembangan kebudayaan manusia. Begitu seterusnya…’’tulis Ulil.
Ulil yang pernah nyantri pada KH. Sahal Mahfudz ini juga mengeritik haramnya pernikahan beda agama dalam Iislam. Ia menyatakan, “Larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan lelaki non-Islam, sudah tidak relevan lagi. Quran sendiri tidak pernah dengan tegas melarang itu, karena Quran menganut pandangan universal tentang martabat manusia yang sederajat, tanpa melihat perbedaan agama. Segala produk hukum Islam klasik yang membedakan antara kedudukan orang Islam dan non Islam harus diamandemen berdasarkan prinsip kesederajatan universal dalam tataran kemanusiaan ini.”
Terkait dengan hukum Tuhan, dan inilah poin yang sangat membuat berang para ulama dalam FUUI, Ulil menyatakan, “Menurut saya, tidak ada yang disebut ‘hukum Tuhan’ dalam pengertian seperti dipahami kebanyakan orang Islam. Misalnya, hukum Tuhan tentang pencurian, jual beli, pernikahan, pemerintahan, dan sebagainya. Yang ada adalah prinsip-prinsip umum yang universal yang dalam tradisi pengkajian hukum Islam klasik disebut sebagai maqashidusy syari’ah, atau tujuan umum syariat Islam…”
Ulil juga menyebut Rasulullah, Muhammad SAW sebagai sosok yang perlu dikritisi, karena sebagai tokoh historis, Muhammad adalah sosok manusia biasa yang juga banyak kekurangan. Pernyataan inilah yang memicu reaksi para ulama. Dalam keyakinan Islam, Nabi Muhammad adalah sosok yang makshum, terpelihara dari segala dosa. Sosok ideal yang padanya umat islam sami’na wa atha’na. jadi, sudah sepantasnya ulama menyatakan dengan tegas lewat fatwa, siapapun yang menghina islam, menurut hukum islam, pelakunya mendapat ganjaran hukuman mati.
Benarkah fatwa FUUI itu untuk Ulil Abshar Abdalla? Apakah dengan fatwa itu FUUI akan mengeksekusi secara jalanan?
KH Athian Ali Dai, ketua FUUI yang bertanggung jawab terhadap hal itu menegaskan bahwa fatwa itu tidak terkhusus kepada Ulil. Fatwa tersebut menegaskan, siapapun penghina Islam maka dalam ajaran Islam hukumannya adalah mati. FUUI juga tidak pernah menyatakan akan mengeksekusi Ulil secara sepihak, tetapi menyerahkan persoalan ini kepada aparat penegak hukum. “Fatwa itu bukan khusus untuk Ulil. Ulil itu kecil. Fatwa itu bagi siapa saja yang menghina Islam. Kami hanya memberitahu, bahwa dalam hukum islam, siapapun yang menghina syariat Islam, maka hukumannya mati,” tegas Athian. Namun, bukan berarti dengan fatwa itu FUUI bisa leluasa mengeksekusi. FUUI hanya membuat fatwa ini dan menyampaikannya kepada Mabes Polri. Bagi FUUI, sebagaimana dikatakan KH Athian Ali Dai, pelecehan dan kesesatan yang disebarkan melalui ruang publik harus mendapat hukuman.
FUUI terdiri dari ulama dari berbagai daerah yang faqih, alim, dan menguasai ulum as-syariah (ilmu-ilmu syariat). Diantara anggotanya bahkan tersebut nama KH Luthfi Bashori Alwi, tokoh muda NU asal Malang yang selama ini berjuang keras membendung arus liberalisme di tubuh NU. Ayah Luthfi, KH Bashori Alwi, bahkan sosok yang disegani Gus Dur. Ia pernah berdebat dengan Gus Dur,yang saat itu dinilai membawa NU keluar dari khittah perjuangan awalnya.
Sementara sang anak, KH Luthfi Bashori Alwi, pernah datang menemui Gus Dur bersama Habib Rizieq Syihab di kantor PBNU, Kramat, Jakarta Pusat, dengan membawa tanda tangan ratusan ulama Jawa Timur yang meminta Gus Dur agar menarik ucapannya, meminta maaf, dan bertaubat, terkait pernyataannya yang mengatakan bahwa ‘Alquran adalah Kitab Suci paling porno’. Pernyataan itu dimuat dalam situs islamlib.com. menurut keterangan Kiai Luhtfi, setelah mendengar nama-nama ulama yang menandatangani pernyataan itu, Gus Dur marah luar biasa. Maklum, kebanyakan penandatangan itu adalah para kiai yang cukup disegani di Jawa Timur.
Fatwa mati FUUI dikeluarkan hanya selang setahun setelah JIL didirikan. Bisa dibilang, inilah pukulan telak bagi komunitas liberal di masa-masa awal berdirinya. Sejak didirikan sampai hari ini, kelompok liberal adalah minoritas dan terkucil dari mayoritas umat Islam. Apalagi, pasca wafatnya Nurcholis Madjid dan Gus Dur, mereka seperti kehilangan induk semang. Resistansi demi resistansi terus bergulir di masyarakat.
Suatu ketika, penulis pernah berkirim pesan pendek kepada Ulil Abshar Abdalla. Dalam pesan itu, penulis mengatakan, “Mas Ulil, kalau seandainya apa yang anda lakukan selama ini bear-benar demi mencari kebenaran, bukan karena uang dan popularitas, berani tidak anda bersumpah, demi Allah, apa yang saya lakukan untuk mencari kebenaran…”
Tak lama, pesan itu dibalas Ulil, “HE..He..he.. yang doyan duit itu bukan JIL,” jawabannya ringan. Ulil tak menjawab subtansi pesan itu, yang meminta ia bersumpah atas nama Allah. Sebagai alumnus pesantren, mungkin ia memahami betul konsekwensi dari sumpah tersebut. Jurus berkelit pun ia lakukan.