URL: www.pejuangislam.com
Email: editor@pejuangislam.com
 
Halaman Depan >>
 
 
Pengasuh Ribath Almurtadla Al-islami
Ustadz H. Luthfi Bashori
 Lihat Biografi
 Profil Pejuang Kaya Ide
 Imam Abad 21
 Info Asshofwah
Karya Tulis Pejuang


 
Ribath Almurtadla
Al-islami
 Pengasuh Ribath
 Amunisi Dari Tumapel
 Aktifitas Pengasuh
 Perjuangan Pengasuh
 Kalender Ribath
Pesantren Ilmu al-Quran (PIQ)
 Sekilas Profil
 Program Pendidikan
 Pelayanan Masyarakat
 Struktur Organisasi
 Pengasuh PIQ
 
Navigasi Web
Karya Tulis Santri
MP3 Ceramah
Bingkai Aktifitas
Galeri Sastra
Curhat Pengunjung
Media Global
Link Website
TV ONLINE
Kontak Kami
 
 
 Arsip Teriakan Pejuang
 
SETAN BISU & SETAN BICARA 
  Penulis: Pejuang Islam  [7/8/2025]
   
AYOO SHALAT MALAM ! 
  Penulis: Pejuang Islam  [4/8/2025]
   
KOMUNIKASI DI MEJA MAKAN 
  Penulis: Pejuang Islam  [28/7/2025]
   
SUJUD SYUKUR 
  Penulis: Pejuang Islam  [27/7/2025]
   
MENGALAHKAN HAWA NAFSU 
  Penulis: Pejuang Islam  [20/7/2025]
   
 
 Book Collection
 (Klik: Karya Tulis Pejuang)
Pengarang: H. Luthfi B dan Sy. Almaliki
Musuh Besar Umat Islam
Konsep NU dan Krisis Penegakan Syariat
Dialog Tokoh-tokoh Islam
Carut Marut Wajah Kota Santri
Tanggapan Ilmiah Liberalisme
Islam vs Syiah
Paham-paham Yang Harus Diluruskan
Doa Bersama, Bahayakah?
 
 WEB STATISTIK
 
Hari ini: Senin, 22 September 2025
Pukul:  
Online Sekarang: 8 users
Total Hari Ini: 59 users
Total Pengunjung: 6224160 users
 
 
Untitled Document
 PEJUANG ISLAM - KREATIFITAS SANTRI
 
   
Keadilan Para Sahabat Nabi SAW 
Penulis: Zein Baabud [ 16/9/2016 ]
 
Keadilan Para Sahabat Nabi SAW

Oleh: Zein bin Abdullah Ba’abud


 Yang dimaksud dengan Sahabat Nabi Muhammad SAW, adalah orang yang hidup di masa Nabi SAW diutus menjadi rasul, pernah bertemu dengan Nabi SAW, serta beriman kepada Nabi SAW, dan mati dalam keadaan beriman.

Sahabat Nabi SAW sangatlah banyak jumlahnya. Sekalipun demikian, mereka semua dihukumi adil (bijaksana) oleh Ahlussunnah wal Jama’ah, baik yang lama masanya menjadi Sahabat, maupun yang hanya sebentar karena wafat, baik yang banyak menguasai ilmu agama maupun yang sekedar beriman, baik yang menjadi Muhajirin maupun Anshar, baik yang tidak terlibat pertikaian maupun yang terlibat pertikaian di jaman kekhalifahan Sayyidina Ali bin Abi Thalib dengan Sahabat Mu’awiyah. Selagi masih menyandang predikat Sahabat Nabi SAW, maka semuanya dihukumi adil (bijaksana), sebagaimana yang telah disebutkan oleh Assayyid Muhammad Almaliki di dalam kitabnya Alqawaid al-asasiyah fi ulumi al- hadits pada bab keadilan para Sahabat Nabi Muhammad SAW.

Adil di sini banyak artinya, antara lain bermakna adil dalam periwayatan, maksud-nya jika ada hadits yang diriwayatkan oleh salah seorang Sahabat, siapapun figurnya, maka Ahlussunnah wal Jama’ah langsung menerimanya, tanpa harus disaring terlebih dahulu. Demikian juga adil dalam persaksi-an, maka seluruh Sahabat Nabi SAW, jika bersaksi maka persaksiannya dapat diterima oleh Ahlussunnah Wal Jama’ah. Karena keadailan para Sahabat ini telah dijamin oleh Alquran, surat Albaqarah 143, Ali Imran 110, Alfath 18, 29, Al-anfal 63, Attaubah 100, An- naml 59.

 Memang ada sebagian orang yang memprotes masalah ini. Mereka mengatakan ada bahkan banyak Sahabat Nabi SAW dianggap tidak adil. Dalam bab ini, kita tidak akan membahas pemahaman aqidah sesat kaum Syi’ah yang mengatakan bahwa semua Sahabat tidak ada yang adil, bahkan kafir menurut mereka kecuali Salman Al farisi, Abu Dzar Alghifari dan Migdad bin Al-aswad. Yang mana pendapat Syi’ah ini jelas-jelas telah menyimpang dari aqidah Umat Islam. Tetapi kita akan membahas tentang pendapat sebagian orang yang mengatakan, bahwa ada beberapa Sahabat yang tidak bisa dikatakan adil, diantaranya Sahabat Mu’awiyah bin Abi Shafyan dan Sahabat Amr bin ‘Ash, mereka berdua dianggap tidak adil, karena dinilai telah mendhalimi Sayyidina Ali bin Abi Thalib Karramallahu wajhah dan keluarganya.

Sahabat Mu’awiyah bin Abi Shafyan, pada hakikatnya adalah saudara Nabi dari Ummu Habibah istri Nabi SAW, yang berarti beliau adalah saudara ipar Nabi Muhammad SAW. Sahabat Mu’awiyah masuk Islam pada saat fathu makkah (penaklukan kota Makkah). Sahabat Mu’awiyah juga termasuk salah satu dari katib (penulis wahyu) Nabi Muhammad SAW.

Ketika Sayyidina Ustman bin Affan RA terbunuh, maka sesuai kesepakatan para Sahabat yang berada di Madinah, sebagai pusat pemerintahan Islam, diangkatlah Sayyidina Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah ke empat yang sah. Di sisi lain, Sahabat Mu’awiyah yang saat itu menjadi gubernur Syam (Syiria), juga mengangkat dirinya sebagai khalifah, dan tidak mengakui kekhalifahan Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Mendengar hal ini, Sayyidina Ali bin Abi Thalib berembuk dengan para Sahabat yang lain, untuk memerangi Sahabat Mu’awiyah, karena dianggap telah memberontak kepadanya selaku khalifah yang sah. Sebagaimana yang telah diatur dalam syariat Islam, bahwa barang siapa yang mem-berontak (bughah) kepada kepemimpinan yang sah maka wajib diperangi

Akhirnya, dari kedua pihak pun mengirim pasukan, dan bertemulah di lembah Shiffin. Di tempat inilah terjadi pertempuran dahsyat, karena itu perang ini dinamakan perang Shiffin. Di tengah berkecamuknya perang, maka terdesaklah pasukan Mu’awiyah. Kemudian Sahabat Mu’awiyah mengangkat Alquran sebagai tanda mengajak berdamai. Sayyidina Ali bin Abi Thalib pun menyetujui, walaupun ada sebagian pengikutnya yang menolak kebijakan Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Kelompok yang menolak perintah Sayyidina Ali bin Abi Thalib, untuk melaksanakan perdamaian dengan Sahabat Mu’awiyah, pada akhirnya menjadi kelompok khawarij yang membenci Sayyidina Ali bin Abi Thalib.

Setelah peperangan usai, maka bersepakatlah antara Sayyidina Ali bin Abi Thalib dengan Sahabat Mu’awiyah, untuk sementara waktu mencabut kekhalifahan masing-masing. Untuk melaksanakan per-damaian, Sayyidina Ali bin Abi Thalib mengutus Abu Musa Al-asy’ari sedang Sahabat Mu’awiyah mengutus Amr bin ‘Ash. Ketika kedua utusan bertemu, maka Abu Musa Al-asy’ari mengatakan, dengan ini aku mencabut kepemimpinan Ali bin Abi Thalib, sebagaimana aku mencabut pedangku dari sarungnya. Abu Musa Al-asy’ari pun seraya mencabut pedangnya. Kemudian Amr bin ‘Ash berdiri seraya mengatakan, dengan ini aku menetapkan kepemimpinan Mu’awiyah, sebagaimana aku tidak mencabut pedangku dari sarungnya.

Dari pengkhianatan inilah semakin banyak pendukung Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang kecewa karena beliau dianggap mau dibodohi oleh Sahabat Mu’awiyah. Tetapi dengan proses yang cukup panjang, pada akhirnya Sayyidina Ali bin Abi Thalib, tetap menjadi khalifah ke empat yang sah.

Demikianlah hingga pada suatu saat di pertengahan bulan Ramadhan, tatkala beliau melaksanakan shalat, tiba-tiba beliau ditikam hingga wafat oleh seorang khawarij yang benama Abdurahman bin Muljam. Setelah kewafatan Sayyidina Ali bin Abi Thalib, maka diangkatlah putra beliau, yaitu Sayyidina Hasan bin Ali sebagai khalifah menggantikan ayahandanya.

Tatkala Sahabat Mu’awiyah men-dengar pengangkatan Hasan bin Ali sebagai khalifah, maka Sahabat Mu’awiyah berangkat beserta ribuan pasukannya untuk merebut kekuasaan. Maka Sayyidina Hasan pun dengan segera mengumpulkan pasukan yang dipimpin oleh Ubaidilah bin Abbas untuk menghadapi pasukan Mu’awiyah. Setelah pasukan Sayyidina Hasan bin Ali berangkat ke medan perang, ternyata Sahabat Mu’awiyah mampu memepengaruhi mereka, hingga banyak yang berkhianat kepada Sayyidina Hasan bin Ali, bahkan Ubaidillah bin Abbas pun ikut berkhianat kepada Sayyidina Hasan bin Ali.

Melihat kejadian ini Sayyidina Hasan bin Ali sangat sedih, hingga akhirnya beliau memutuskan untuk memberikan kekuasaan-nya kepada Sahabat Mu’awiyah, dengan syarat Sahabat Mu’awiyah dilarang meng-angkat putra mahkotanya, Yazid bin Mu’awiyah sebagai khalifah penggantinya, dan tidak menganggu para pengikut setia Sayyidina Ali bin Abi Thalib, serta memberi-kan harta yang mejadi hak bagi Ahlul bait (kerabat Nabi SAW).

Mendengar berita ini, Sahabat Mu’awiyah senang dan menyetujui per-syaratan Sayyidina Hasan bin Ali, walaupun pada akhirnya Sahabat Mu’awiyah tetap mengangkat putra mahkotanya, Yazid sebagai penggantinya. Namun dalam pem-berian harta yang menjadi hak Ahlul bait, Sahabat Mu’awiyah tetap istiqamah mem-perhatikan dan mengirimkannya.

Memang, Sahabat Mu’awiyah banyak melakukan kesalahan, tetapi beliau juga memiliki jasa-jasa terhadap Islam yang cukup besar, misalnya perluasan wilayah Islam di masa kekuasaannya. Beliau juga membantu Nabi SAW dalam penulisan Al quran dan lain sebagainya. Untuk itulah, sikap kita sebagai umat Islam, jangan sekali-kali kita mencaci Sahabat Mu’awiyah. Karena perilaku caci-mencaci itu bukanlah ajaran Islam. Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan Sayyidina Hasan bi Ali saja. yang ber-interaksi secara langsung dengan Sahabat Mu’awiyah, telah memaafkannya. Bahkan kalau ada seribu Mu’awiyah pun akan dimaafkan oleh beliau berdua.

Di dalam sejarah, tidak pernah sekalipun diriwayatkan bahwa Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan putranya mencaci Sahabat Mu’awiyah, bahkan beliau melarang keras kepada para sahabatnya untuk mencaci Mu’awiyah. Beliau berdua sangat tahu, bahwa urusan perselisihan pendapat dalam masalah siapa yang berhak menjadi khalifah, adalah urusan ijtihadiyyah semata, dan siapapun orangnya jika berijtihad, pasti tidak luput dari ‘salah’ atau ‘benar’ dalam mengambil kesimpulan.

Bagaimana dengan kita, sebagai pencinta Sayyidina Ali bin Abi Thalib? Semestinya, kita wajib mencontoh apa yang beliau lakukan terhadap Sahabat Mu’awiyah. Karena bagaimana pun juga Sahabat Mu’awiyah adalah seorang muslim, beliau mengerjakan shalat, puasa, dan kewajiban yang lain, bahkan beliau adalah Sahabat Nabi SAW, dan sekaligus menjadi kerabat Nabi SAW.

Walaupun banyak kesalahan-kesalahan yang beliau lakukan, tetapi Sahabat Mu’awiyah tetap saja sebagai seorang Sahabat Nabi SAW yang adil dengan ketentuan Alquran, karena itu tetap wajib kita hormati. Sahabat Mu’awiyah pastilah berbeda dengan putranya, Yazid bin Mu’awiyah. Tentang hal ini, Al-‘allamah Al habib Abdullah bin Alwi Alhaddad mengatakan, bahwa Sahabat Mu’awiyah tidaklah sama dengan putranya, Yazid bin Mu’awiyah, yang mana Yazid bin Mu’awiyah adalah orang yang fasik, karena meninggal-kan shalat, pezina, pemabuk dan lain sebagainya. Sedangkan Sahabat Mu’awiyah adalah orang yang aktif mengerjakan shalat dan kewajiban-kewajiban lainnya.
Sekalipun demikian, kita sebagai penganut Ahlussunnah wal Jama’ah tidak perlu mencaci-maki keduanya, karena tidak ada sedikitpun cacian itu bermanfaat bagi kita, bahkan dapat menambah dosa, karena perbuatan itu bertentangan dengan sabda Nabi Muhammad SAW: la tasubbul amwaat fa innahum qod afdhou ila ma qoddamu (Janganlah engkau mencaci seorang yang telah meninngal dunia, karena mereka telah selesai perhitungannya).

Semoga Sahabat Mu’awiyah diampuni oleh Allah dari segala dosa dan diterima amal kebaikannya. Amiin ya rabbal alamin.


pejuangislam


Medio 06-03-09, Ribath Almurtadla


 
 
Kembali Ke atas | Kembali Ke Index Kreatifitas Santri
 
 
 
  Situs © 2009-2025 Oleh Pejuang Islam