PROBEMATIKA UMMAT (1)
Luthfi Bashori
A. Menghadapi Sekulerisme, Pluralisme, Liberalisme (Sepilis)
Kaum Liberal sengaja menciptakan dan mengembangkan pemahaman bahwa inti dari syariat bukanlah pada penerapan makna yang ada dalam teks (nash). Atau dari suatu peristiwa yang terjadi pada jaman Rasul SAW. Tapi bagaimana mewujudkan tujuan syariat itu sendiri, yang biasa disebut sebagai maqashidus syariah.
Tujuan-tujuan dari pemberlakuan syariat (maqashidus syariah) itu adalah demi menjaga agama (hifdzud diin), kehormatan (hifdzul irdl), jiwa (hifdzun nafs), harta (hifdzul maal), dan akal (hifdzul aql). Dengan hanya menggunakan rasio (akal), mereka gegabah mengatakan bahwa jiwa syariat ini dan itu.
Jika pembunuhan, pencurian, perzinahan bisa diatasi dengan hukum sekuler (penjara), maka tidak perlu lagi diterapkan qhisas, qathul yad (hukum potong tangan), demikian pula tenrtang hukum rajam, dsb. Dengan demikian, menurut kaum liberal, tidak ada hukum Allah yang perlu dilaksanakan di dunia ini selagi cara lain bisa diterapkan dan tujuan sudah tercapai.
Syariat Islam adalah milik Allah. Tidak ada yang berhak mengatakan sesuatu tentang syariat ini kecuali Allah dan Rasul-Nya. Selain Allah dan Rasul-Nya harus merujuk pada Alquran dan Assunnah. Dalam banyak ayat sering disebut bahwa iftiraa alAllah itu adalah kedzaliman besar (lihat QS. Al Anam : 21 dan Yunus : 17). Mengada-ada bahwa Allah bermaksud begini dan begitu adalah dosa besar.
Untuk bisa mengetahui maqashidus syariah hanya bisa diketahui dengan mempelajari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah SAW dengan penuh ketelitian dan keikhlasan. Mengejar target maqashidus syariah memang hal penting dan paling diperlukan, tapi pembicaraan tentang masalah ini tidaklah sederhana. Untuk mencapainya perlu kemantapan dalam usual fiqih, lughah (bahasa), tafsir, ulumul quran, musthalah hadist, dsb.
Bahkan yang patut disayangkan, yang menjadi acuan kaum liberal itu hanyalah kemaslahatan-kemaslahatan umum (riayatul mashalihil ammah) yang ingin dikembangkan dalam lintas gender, lintas status sosial, bahkan lintas agama, yang sering mereka sebut dengan istilah pluralisme. Mereka tidak mempunyai standar syariat yang jelas, kecuali logika yang berkiblat pada akal.
Di antara hujjah para pejuang pluralisme itu, demi memperjuangkan kepentingannya, adalah dengan berlindung pada penggunaan istilah masyarakat Madani. Mereka mengatakan bahwa hanya ada satu fakta kemanusiaan, yakni keberagaman, dan kemajemukan. Mereka mengatakan bahwa setiap agama haruslah terbuka terhadap kebenaran agama lain, atau setidaknya mengakui adanya kebenaran di dalam agama.
Dalam propagandanya, mereka mengatakan bahwa tidak ada kebenaran satu agamapun yang mutlak. Artinya bahwa nilai-nilai kebenaran selalu ada pada tiap-tiap agama. Mereka juga mengatakan, sebaik agama disisi Allah adalah al-hanifiyyatus samhah adalah semangat mencari kebenaran secara terbuka, yang membawa sikap toleran, terbuka, tidak sempit, tidak fanatik, dan tidak membelenggu jiwa. (BERSAMBUNG).