Perang Candu di Negeri Muslim Terbesar
Mafahim
Berita penangkapan pengguna dan bandar narkoba hampir setiap hari menghiasi media massa. Akan tetapi, kejahatan narkoba belum ada habis-habisnya. Bahkan ada isu sudah merambah ke pesantren. Mengapa semuanya marak di negeri muslim terbesar di dunia? Adakah kepentingan ekonomi dan politik? Bagaimana dengan aparat penegak hukum?
Persoalan narkoba adalah persoalan klise dan mustahil diberantas seratus persen. Begitulah sebagian orang menilai. Ada benarnya juga penilaian ini, tapi persepsi seperti itu menunjukkan sikap pesimisme dan cuek. Jika kita pelajari data-data soal narkoba di Indonesia dengan cermat, kita akan tersentak dan bisa memaklumi hukuman mati bagi pelaku.
Data dari BNN (Badan Narkotik Nasional) menyebutkan kurang lebih 2% atau 4 juta penduduk Indonesia mengkonsumsi narkoba – atau sebanding dengan jumlah penduduk satu kota/kecamatan. Di antara jumlah tersebut 41 orang tewas setiap harinya akibat narkoba. Berarti dalam setahun ada ada sekitar 14965 jiwa yang meninggal karena obat-obat terlarang tersebut.
Walaupun begitu, jumlah konsumennya sepertinya tidak berkurang. Sebaliknya bisa terus bertambah dan menyebar. Mengutip sebuah media nasional di Jakarta dikatakan, tidak ada satu RT/RW di Jakarta yang bebas dari narkoba. Di tahun 90-an narkoba merata hampir di seluruh wilayah DKI.
Sementara kejahatan narkoba tidak pandang bulu. Hampir semua kalangan terjerat obat terlarang tersebut. Artis, pengusaha, pelajar, mahasiswa, olahragawan, pejabat, polisi, tentara, petani bahkan ada isu ada santri pesantren juga jadi korban. Tapi yang paling banyak jadi korban adalah remaja usia sekolah. Hampir 90% korban adalah remaja, tidak sedikit diantarannya anak usia SD.
Jumlah korban yang merata tersebut menunjukkan obat-obatan terlarang di negeri ini tidak sulit didapat. Seorang mantan pecandu pada acara talk show di sebuah televisi mengkisahkan, bahwa ia terjerat ekstasi sejak sekolah SD. Mulanya ia ditawari gratis oleh seorang pedagang kue di sekolahnya. Lama-lama ia kecanduan. Selanjutnya, setelah kecanduan ia harus membayar untuk mendapatkannya.
Narkoba memang mudah didapat, hal itu didukung oleh suplay yang lancer dari pabrik-pabrik narkoba di Indonesia. Pada penghujung tahun 2007 polisi berhasil menggerebek pabrik pil ekstasi di Serang Banten. Pabrik ini disebut-sebut pabrik ekstasi terbesar di Asia Tenggara. Dari hasil tangkapan tersebut didapat data bahwa dalam satu hari pabrik ini memproduksi 1 juta tablet ekstasi. Omzetnya pun luar biasa besar – 4,8 triliun pertahun.
Ini baru satu pabrik padahal di Indonesia menurut data Media Indonesia jumlah pabrik narkoba ada sembilan. Selain di Banten, pabrik narkoba terdapat di Ciampea Bogor dengan omzet 12 miliar perhari, Green Garden Kadoya Kebun Jeruk Jakarta Barat saat digerebek ditumukan uang 1,050 miliar 70 ribu butir ekstasi, Tanjung Duren Jakarta Barat, Karangannyar Subang Jawa Barat, Banyuwangi, Surabaya dan di Batam terdapat 3 lokasi pabrik. Bila dihitung keseluruhan omzet kesembilan pabrik tersebut adalah 24 triliun pertahun.
Sehingga, sebagian kalangan menyatakan bisnis narkoba di Indonesia sangat menggiurkan. Indonesia bagai ‘surga’ para pebisnis dan bandar narkoba. Indonesia saat ini bukan lagi Negara pengimpor pil haram tersebut akan tetapi sudah menjadi produsen pil ekstasi yang diekspor ke luar negeri. Bahkan pabrik di Serang Banten dinilai terbesar se-Asia Tenggara dan terbesar nomor ketiga sedunia.
Ironinya, kenyataan-kenyataan tersebut terjadi di negeri yang mayoritas penduduknya muslim – bahkan negera dengan penduduk muslim terbesar dunia. Narkoba seakan menjadi lingkaran setan. Tebang satu tumbuh seribu.
Mengapa bisa demikian? Indonesia sepatutnya mencontoh negeri tetangga, Malaysia dan Singapura. Dua negeri jiran tersebut sangat tegas menindak pengguna, pengedar, Bandar dan aparat yang terlibat narkoba. Singapura yang mayoritas non-muslim saja lebih bersih daripada Indonesia dalama hal kasus narkoba. Tanpa pandang bulu dan ewuh pakewuh, dua Negara tetangga itu menghukum mati siapa saja yang terbukti terlibat narkoba – termasuk pejabat Negara. Para Bandar akan berpikir seribu kali menjalankan bisnisnya di negeri ini.
Bagaimana dengan Indonesia? Hukum tak berdaya melawan pebisnis narkoba. Alih-alih menghukum berat pelaku, aparat sendiri tak sedikit yang terlibat. Sebagaimana dikutip situs www.kapanlagi.com, Pusat Informasi Narkoba Sumatera Utara (Pimansu) menginformasi bahwa selama tahun 2007 terdapat 105 oknum aparat bermasalah dengan narkoba di provinsi tersebut.
Pebisnis narkoba yang memiliki omzet triliunan bisa saja membeli aparat, polisi dan undang-undang. Di negeri terkorup kedua se-Asia ini, apa pun mudah dibeli dengan uang. Dengan mengucurkan miliyaran para aparat bisa bungkam.
Ada permainan pebisnis dengan aparat? Mungkin saja. Sebab dengan gaji pas-pasan dan iman yang setengah-setengah mudah saja mereka dibungkam dengan rupiah. Bahkan bisa jadi memback up bisnis haram ini.
Oleh karena itu, sebenarnya ada ‘musuh dalam selimut’ dalam perang melawan narkoba. Musuh utama bukan hanya para bandar saja. Akan tetapi ada pihak-pihak di belakang bandar yang ikut andil menciptakan dan memelihara market (pasar). Para bandar dan pengedar boleh saja ditangkap di sana-sini.
Tapi, undang-undang di negeri ini teramat lemah. Maksimal 15 tahun, bahkan banyak bandar yang hanya ‘mampir’ di LP selama beberapa bulan. Di penjara pun para pebisnis pil setan ini bisa menjalanka nbisnisnya dengan aman sebab dilindungi oleh oknum sipir. LP Cipinang Jakarta beberapa waktu lalu disebut menjadi ajang transaksi narkoba antar napi.
Penjajah yang paling kejam di Indonesia saat ini adalah narkoba. Narkoba akan membunuh satu-persatu anak bangsa secara halus. Ada dugaan campur pihak asing bermain dalam peredaran narkoba di Indonesia. Predikat negeri muslim terbesar di dunia akan coba dikotori dengan kejahatan narkoba. Stigmasi negatif sedang dibangun. Mereka-mereka inilah yang diduga menjajah dengan obat-obatan terlarang.
Dalam sejarah, narkoba memang pernah menjadi alat untuk mengalahkan satu bangsa. Bangsa-bangsa Eropa pada PD II menggunakan opium untuk kepentingan politik. Opium manjadi senjata pemusnah di Asia. Inggris ketika hendak menguasai China, mensuplai opium kepada penduduknya. Ada dua tujuan utama dalam perdagangan opium ini, yaitu menguasai ekonomi – menghasilkan keuntungan yang luar biasa dan membodohi penduduk lokal. Saat itu opium menjadi komoditas ekonomi yang menghasilkan untung luar biasa. Sehingga Ratu Inggris pun mendukungnya.
Bisa jadi perang candu itu saat ini berlangsung di Indonesia, karena data, fakta dan sistem hukum yang lemah mendukung dugaan tersebut. Hasil temuan polisi, menunjukkan Indonesia sudah menjadi jaringan Internasional peredaran narkoba yang memainkan peran penting. Narkoba sebenarnya teror yang menakutkan. Sejarah mencatat, opium menjadi biang kekacauan politik di negara-nerara jajahan. Jika dibiarkan, anak bangsa ini menjadi generasi narkoba. Tinggal menunggu kehancuran, jika ekonomi tidak hancur yang pasti moral menjadi lebur.