Posisi Politik Kiai
Mafahim
Sejatinya, kiai atau ulama adalah sosok yang memiliki pengetahuan keislaman yang mendalam dan luas. Di samping itu, eksistensi kiai menjadi penting dalam masyarakat karena posisinya sebagai pewaris nabi (warasatul anbiya’). Kiai adalah tokoh agama yang berperan sebagai guru, ulama, dai, hakim, pengayom, dan pendidik bagi umat. Keluasan peran ulama juga terjadi dalam masyarakat muslim Indonesia tempo dulu. Dalam Babad Tanah Jawa disebutkan bahwa Wali Songo sebagai instutusi ulama kala itu menjadi penasehat raja-raja.
Dalam kepemimpinan kiai, faktor kharisma menjadi modal utama dalam rangka mobilisasi massa. Dalam konteks ini kiai adalah patron bagi umatnya (client) dalam sebuah relasi yang paternalistik. Dengan otoritas yang dimilikinya, seorang kiai mampu menggerakkan masyarakat untuk melakukan perubahan sosial-politik.
Saat ini, para kiai dan umat Islam dihadapkan kenyataan pilihan politik. Kiai diasumsikan sebagai sosok yang memiliki pengaruh dan karisma yang luas biasa di masyarakat sehingga menarik perhatian banyak politisi. Pemilihan umum dan pilkada (pemilihan kepala daerah) menjadi tantangan baru yang niscaya bagi para kiai. Mereka menjadi target ”safari silaturrahim” politik para politisi. Tak jarang para calon pimpinan daerah atau konstestan pemilu beramai-ramai ”sowan” untuk mendapat restu sang kiai sebagai legimitasi moral bagi masyarakat.
Kasus trik para politisi yang mengandeng para kiai sebagai boncengan politik adalah sisi lain dari cermin perpolitikan negeri ini. Di saat menjelang pemilu atau pilkada, mendadak para kiai diposisikan secara istimewa. Beragam perlakuan diberikan untuk mendapat restu kiai, mulai dari pemberian fasilitas dakwah, pemenuhan kebutuhan pribadi, dan janji-janji untuk kepentingan umat. Namun ironisnya, setelah pemilihan usai, restu dan nasehat kiai tak dibutuhkan lagi. Apalagi setelah terpilih, jangankan untuk sowan, sapaan saja tak lagi dijumpai.
Benar kata orang bahwa mendukung politisi tak ubahnya medorong mobil mogok. Coba, waktu mobil tadi mogok, pegemudi meminta sambil menghiba agar menolongnya. Namun setelah mobil tadi selesai ditolong, boro-boro memberi hadiah, ucapan terima kasih saja tidak diucapkan.
Jika memang demikian, saatnya para kiai selektif ketika ada para politisi yang mendekat. Sebab hal itu bisa akan berakibat pada berkurangnya kepercayaan umat terhadap kiai. Apalagi akhir-akhir ini, di mana posisi kiai yang seringkali terlibat dalam politik praktis sudah tidak dihiraukan oleh umat, setidaknya ini menjadi PR bersama bagi para elemen umat.
Hari ini, otoritas kiai di tengah umat perlu dipertanyakan kembali. Sebab tak sedikit calon politisi yang di back-up oleh kiai berujung pada kekalahan. Justru yang tampil sebagai pemenang kerapkali adalah mereka yang tidak didukung sama sekali oleh kiai. Bahkan yang lebih mengkhwatirkan lagi, pemenangnya adalah politisi yang tidak memiliki landasan emosional dengan kiai, baik secara keilmuan ataupun idiologi.
Kegagalan peran sebagian kiai dalam permainan politik setidaknya menunjukkan terjadinya perubahan persepsional masyarakat terhadap ulama (kiai). Perubahan tersebut muncul karena beberapa faktor, diantaranya adalah telah terjadinya industrialisasi yang menyebabkan urbanisasi dan internasionalisasi dalam masyarakat Indonesia. Di samping itu, faktor paradigma umat yang lebih mengarah para pragmatisme dan materialisme.
Selain itu, pudarnya karisma kiai juga diakibatkan oleh terjadinya kesenjangan antara perilaku dan ucapan kiai. Kepercayaan umat terhadap seorang tokoh kharismatik terletak pada sikap dan perilaku tokoh itu sendiri. Peningkatan dan penurunan kharisma seorang tokoh tergantung pada kesanggupan tokoh itu untuk membuktikan manfaat dirinya bagi masyarakat dan pengikutnya. Sementara itu, ketika seorang kiai terseret dalam politik praktis, tak sedikti yang mengklaim negatif terhadap lawan poltiknya yang—bisa jadi lawan politiknya tersebut—juga seorang tokoh kharismatik dengan massa signifikan.
Saat ini, umat menilai bahwa banyak kiai yang mulai melupakan akar sosialnya dengan mengambil jalan hidup mewah di atas menara gading kekuasaan dan kekayaan, sehingga publik pun kehilangan kepercayaannya. Dalam ranah politik, kiai yang semestinya menjadi penyejuk umat, justru kerapkali dijumpai meraka saling menjelekkan antara satu dengan yang lain. Sementara yang umat membutuhkan pengayoman, bukan janji, apalagi cacian. Dengan telah bergesernya persepsi umat terhadap kiai, tampaknya elit politik yang hendak maju di Pilkada perlu berfikir ulang jika ingin memanfaatkan kiai sebagai vote getter.
Di penghujung tulisan ini, perlu dipertegas bahwa peran kiai bagi umat sesungguhnya adalah memberdayakan umat, mengontrol dan mengawasi jalannya kekuasaan, sekaligus mengantarkan umat pada terciptanya masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan berimplikasi pada kejujuran, keadilan, kemanusiaan, kemaslahatan, sebagaimana yang diperjuangkan oleh Baginda Rasulullah Nabi Muhammad saw. Bukankah para kiai merupakan potret ulama sebagai waratsatul anbiya’?