URL: www.pejuangislam.com
Email: editor@pejuangislam.com
 
Halaman Depan >>
 
 
Pengasuh Ribath Almurtadla Al-islami
Ustadz H. Luthfi Bashori
 Lihat Biografi
 Profil Pejuang Kaya Ide
 Imam Abad 21
 Info Asshofwah
Karya Tulis Pejuang


 
Ribath Almurtadla
Al-islami
 Pengasuh Ribath
 Amunisi Dari Tumapel
 Aktifitas Pengasuh
 Perjuangan Pengasuh
 Kalender Ribath
Pesantren Ilmu al-Quran (PIQ)
 Sekilas Profil
 Program Pendidikan
 Pelayanan Masyarakat
 Struktur Organisasi
 Pengasuh PIQ
 
Navigasi Web
Karya Tulis Santri
MP3 Ceramah
Bingkai Aktifitas
Galeri Sastra
Curhat Pengunjung
Media Global
Link Website
TV ONLINE
Kontak Kami
 
 
 Arsip Teriakan Pejuang
 
SETAN BISU & SETAN BICARA 
  Penulis: Pejuang Islam  [7/8/2025]
   
AYOO SHALAT MALAM ! 
  Penulis: Pejuang Islam  [4/8/2025]
   
KOMUNIKASI DI MEJA MAKAN 
  Penulis: Pejuang Islam  [28/7/2025]
   
SUJUD SYUKUR 
  Penulis: Pejuang Islam  [27/7/2025]
   
MENGALAHKAN HAWA NAFSU 
  Penulis: Pejuang Islam  [20/7/2025]
   
 
 Book Collection
 (Klik: Karya Tulis Pejuang)
Pengarang: H. Luthfi B dan Sy. Almaliki
Musuh Besar Umat Islam
Konsep NU dan Krisis Penegakan Syariat
Dialog Tokoh-tokoh Islam
Carut Marut Wajah Kota Santri
Tanggapan Ilmiah Liberalisme
Islam vs Syiah
Paham-paham Yang Harus Diluruskan
Doa Bersama, Bahayakah?
 
 WEB STATISTIK
 
Hari ini: Senin, 22 September 2025
Pukul:  
Online Sekarang: 9 users
Total Hari Ini: 313 users
Total Pengunjung: 6224434 users
 
 
Untitled Document
 PEJUANG ISLAM - MEDIA GLOBAL
 
 
Posisi Politik Kiai 
Penulis: Mafahim [11/5/2012]
 
Posisi Politik Kiai

Mafahim

Sejatinya, kiai atau ulama adalah sosok yang memiliki pengetahuan keislaman yang mendalam dan luas. Di samping itu, eksistensi kiai menjadi penting dalam masyarakat karena posisinya sebagai pewaris nabi (warasatul anbiya’). Kiai adalah tokoh agama yang berperan sebagai guru, ulama, dai, hakim, pengayom, dan pendidik bagi umat. Keluasan peran ulama juga terjadi dalam masyarakat muslim Indonesia tempo dulu. Dalam Babad Tanah Jawa disebutkan bahwa Wali Songo sebagai instutusi ulama kala itu menjadi penasehat raja-raja.

Dalam kepemimpinan kiai, faktor kharisma menjadi modal utama dalam rangka mobilisasi massa. Dalam konteks ini kiai adalah patron bagi umatnya (client) dalam sebuah relasi yang paternalistik. Dengan otoritas yang dimilikinya, seorang kiai mampu menggerakkan masyarakat untuk melakukan perubahan sosial-politik.

Saat ini, para kiai dan umat Islam dihadapkan kenyataan pilihan politik. Kiai diasumsikan sebagai sosok yang memiliki pengaruh dan karisma yang luas biasa di masyarakat sehingga menarik perhatian banyak politisi. Pemilihan umum dan pilkada (pemilihan kepala daerah) menjadi tantangan baru yang niscaya bagi para kiai. Mereka menjadi target ”safari silaturrahim” politik para politisi. Tak jarang para calon pimpinan daerah atau konstestan pemilu beramai-ramai ”sowan” untuk mendapat restu sang kiai sebagai legimitasi moral bagi masyarakat.

Kasus trik para politisi yang mengandeng para kiai sebagai boncengan politik adalah sisi lain dari cermin perpolitikan negeri ini. Di saat menjelang pemilu atau pilkada, mendadak para kiai diposisikan secara istimewa. Beragam perlakuan diberikan untuk mendapat restu kiai, mulai dari pemberian fasilitas dakwah, pemenuhan kebutuhan pribadi, dan janji-janji untuk kepentingan umat. Namun ironisnya, setelah pemilihan usai, restu dan nasehat kiai tak dibutuhkan lagi. Apalagi setelah terpilih, jangankan untuk sowan, sapaan saja tak lagi dijumpai.

Benar kata orang bahwa mendukung politisi tak ubahnya medorong mobil mogok. Coba, waktu mobil tadi mogok, pegemudi meminta sambil menghiba agar menolongnya. Namun setelah mobil tadi selesai ditolong, boro-boro memberi hadiah, ucapan terima kasih saja tidak diucapkan.

Jika memang demikian, saatnya para kiai selektif ketika ada para politisi yang mendekat. Sebab hal itu bisa akan berakibat pada berkurangnya kepercayaan umat terhadap kiai. Apalagi akhir-akhir ini, di mana posisi kiai yang seringkali terlibat dalam politik praktis sudah tidak dihiraukan oleh umat, setidaknya ini menjadi PR bersama bagi para elemen umat.

Hari ini, otoritas kiai di tengah umat perlu dipertanyakan kembali. Sebab tak sedikit calon politisi yang di back-up oleh kiai berujung pada kekalahan. Justru yang tampil sebagai pemenang kerapkali adalah mereka yang tidak didukung sama sekali oleh kiai. Bahkan yang lebih mengkhwatirkan lagi, pemenangnya adalah politisi yang tidak memiliki landasan emosional dengan kiai, baik secara keilmuan ataupun idiologi.

Kegagalan peran sebagian kiai dalam permainan politik setidaknya menunjukkan terjadinya perubahan persepsional masyarakat terhadap ulama (kiai). Perubahan tersebut muncul karena beberapa faktor, diantaranya adalah telah terjadinya industrialisasi yang menyebabkan urbanisasi dan internasionalisasi dalam masyarakat Indonesia. Di samping itu, faktor paradigma umat yang lebih mengarah para pragmatisme dan materialisme.

Selain itu, pudarnya karisma kiai juga diakibatkan oleh terjadinya kesenjangan antara perilaku dan ucapan kiai. Kepercayaan umat terhadap seorang tokoh kharismatik terletak pada sikap dan perilaku tokoh itu sendiri. Peningkatan dan penurunan kharisma seorang tokoh tergantung pada kesanggupan tokoh itu untuk membuktikan manfaat dirinya bagi masyarakat dan pengikutnya. Sementara itu, ketika seorang kiai terseret dalam politik praktis, tak sedikti yang mengklaim negatif terhadap lawan poltiknya yang—bisa jadi lawan politiknya tersebut—juga seorang tokoh kharismatik dengan massa signifikan.

Saat ini, umat menilai bahwa banyak kiai yang mulai melupakan akar sosialnya dengan mengambil jalan hidup mewah di atas menara gading kekuasaan dan kekayaan, sehingga publik pun kehilangan kepercayaannya. Dalam ranah politik, kiai yang semestinya menjadi penyejuk umat, justru kerapkali dijumpai meraka saling menjelekkan antara satu dengan yang lain. Sementara yang umat membutuhkan pengayoman, bukan janji, apalagi cacian. Dengan telah bergesernya persepsi umat terhadap kiai, tampaknya elit politik yang hendak maju di Pilkada perlu berfikir ulang jika ingin memanfaatkan kiai sebagai vote getter.

Di penghujung tulisan ini, perlu dipertegas bahwa peran kiai bagi umat sesungguhnya adalah memberdayakan umat, mengontrol dan mengawasi jalannya kekuasaan, sekaligus mengantarkan umat pada terciptanya masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan berimplikasi pada kejujuran, keadilan, kemanusiaan, kemaslahatan, sebagaimana yang diperjuangkan oleh Baginda Rasulullah Nabi Muhammad saw. Bukankah para kiai merupakan potret ulama sebagai waratsatul anbiya’?
   
 Isikan Komentar Anda
   
Nama 
Email 
Kota 
Pesan/Komentar 
 
 
 
 
Kembali Ke Index Berita
 
 
  Situs © 2009-2025 Oleh Pejuang Islam