Dilematika Kiai Dan Politik
Mafahim
Bila kita mau menelisik sejarah panjang bangsa Indoenesia, maka akan ditemukan betapa besar peran umat Islam, dalam hal ini para ulama, kiai, dan tokoh umat Islam dalam turut membangun negeri ini. Karena para kiai pada khususnya selau menjadikan pesantren sebagai basis perjuangan umat.
Pesantren laksana markas para kiai dan santri untuk membangun paradigma hubbul wathon minal iman. Kiai dan pesantren merasa memiliki tangung jawab besar terhadap permasalahan umat, meliputi masalah keagamaan (mas-uliyah diniyah), masalah kebangsaan (mas-uliyah wathoniyah), dan masalah keumatan (mas-uliyah ummatiyah). Kiai-kiai pesantren ini meletakkan semua garis perjuangannya di atas tiga landasan tersebut.
Dalam keyakinan kiai, antara ketiga tanggung jawab itu hendaknya sinergis dalam satu tarikan napas yang sama karena saling berkaitan. Dengan demikian keterlibatan para kiai dalam upaya menuntaskan persoalan-persoalan kebangsaan didorong adanya tanggung jawab keagamaan untuk kemaslahatan umat. Di sinilah peran kiai di bidang sosial politik menempatkan diri secara proporsional tanpa mencacati eksistensi dirinya sebagai pengemban amanat suci agama. Dimana seorang kiai tidak menjadikan kekuasaan sebagai motivasi dan tujuan akhir perjuangannya.
Cobalah buka kembali lembar-lembar sejarah negeri ini yang menorehkan peranan besar dari kalangan kiai pesantren dalam mengusir penjajahan, mendirikan negara dan bangsa ini, mempertahankannya dari rongrongan kaum penjajah yang ingin menjajah kembali, dan menjaganya dari penetrasi (kebangkitan) ideologi komunisme. Semua ini menunjukkan bahwa pada dasarnya antara kiai dan politik merupakan dua entitas yang tak terpisahkan.
Keakraban kiai dan politik menampakkan dinamika yang menarik khususnya jika kita memotretnya di era pasca-kemerdekaan. Proses persiapan kemerdekaan NKRI yang secara intens menyertakan peran besar para kiai dilanjutkan di masa setelah kemerdekaan. Para kiai telah mengukir sejarah efektifitas peran politiknya yang membanggakan di kancah politik nasional era Bung Karno. Hal terbukti bahwa kekuatan politik kiai bukan hanya berhasil menjadi kekuatan politik penyeimbang yang memadai atas gempuran golongan komunisme, namun juga eksistensinya terakui dengan dibentuknya kementerian penghubung pesantren dan ulama.
Dalam proses transisi politik dari Bung Karno ke Soeharto tahun 1966, sejarah juga mencatat kontribusi besar kiai-kiai pesantren, khususnya dalam membungkam pengaruh kekuatan politik komunisme yang bergerak sporadis di penghujung kekuasaan Bung Karno. Sayangnya dinamika politik pemerintahan Soeharto secara sistematis melakukan marginalisasi terhadap para kiai. Mereka dipinggirkan karena ketidakpahaman dan ketakutan yang berlebihan pihak penguasa terhadap gerakan politik kiai.
Pupusnya rezim Soeharto memberikan harapan besar bagi seluruh rakyat di republik ini untuk meningkatkan kualitas hidupnya di segala bidang. Belenggu politik otoriter yang telah terputus diikuti oleh semangat demokrasi yang luar biasa sehingga bermunculan partai-partai politik secara dahsyat. Pada saat yang sama umat Islam mulai kembali berpeluang untuk memainkan peran dalam kancah politik secara signifikan. Termasuk di dalamnya adalah para kiai. Gelombang reformasi telah memancing para kiai untuk ”turun gunung” dan turut membidani gerakan politik.