Konspirasi Seorang Kiai
Mafahim
Nun di sebuah kampung, ada seorang kiai yang cukup tersohor. Kharismanya tinggi. Ia terkenal ahli ibadah. Sekali dia duduk di cungkup-nya, dua hingga tiga hari tak dapat diganggu. Bahkan bisa bertahan dalam hitungan minggu. Sang kiai-pun larut dalam meditasinya. Dia mampu wiridan dalam rentang waktu yang cukup lama. Memutar tasbih hingga ribuan kali.
Semua segan kepadanya. Ia menjadi tumpuan penduduk kampung untuk menyelesaikan setiap masalah. Tak hanya itu, makhluk halus yang banyak bersemayam di sekitar desa itupun takut pada kiai ini. Karena sang kiai memiliki ilmu dan kedigdayaan tak tertandingi.
Pada suatu hari, warga kampung diresahkan oleh jin penunggu kayu besar yang berada di tempat berkumpulnya warga. Spontan, warga langsung mengadu pada sang kiai.
“Pak kiai. Kami warga kampong minta bantuan sampeyan. Pohon yang berada di tengah sawah itu tempat warga berkumpul. Tapi di sana ada jin penunggu yang selalu mengganggu kami. Sehingga banyak warga yang memberi sesajen berupa makanan untuk menangkal kemarahan jin tersebut. Warga banyak yang syirik karenanya. Tolong pak kiai…” keluh warga di suatu hari.
Tanpa pikir lama, sang kiai pun beranjak menuju pohon itu. Dia membawa seperangkat alat untuk menumbangkan kayu tersebut. Di tengah perjalanan, tiba-tiba ada orang yang mencegahnya.
”Mau kemana, pak kiai?” tanya orang tersebut lantang.
”Saya hendak menebang pohon itu,” jawab kiai tak kalah lantangnya.
”Memang kenapa, kok harus ditebang?” tanyanya menggelitik.
”Sebab di sana, bersemayam jin penunggu yang suka mengganggu warga. Banyak warga yang syirik karena ulahnya,” tegas si kiai.
”Wah, itu kan urusan dia, pak kiai. Kenapa sampeyan turut campur?” ucapan lelaki tadi memancing kemarahan sang kiai.
”Ini adalah kewajiban saya untuk menyelamatkan akidah warga. Mereka jangan sampai terjerumus pada kemusyrikan. Ini dosa besar yang tidak ada pengampunan di sisi Allah. Memang, anda siapa. Kok mengusik keinginan saya?” si kiai balik bertanya.
”Saya adalah jin penunggu pohon itu. Kalau kiai mau menebang pohon itu, kiai harus melangkahi saya dulu.....” tantang si laki-laki tadi yang tak lain adalah jin penunggu pohon angker di kampung tersebut.
”Ooo, jadi kamu yang jadi biang keroknya. Baiklah, kalau memang itu kemauanmu. Saya layani tantanganmu.” Spontan, si kiai pasang kuda-kuda. Sejurus berikutnya, pertarungan pun tak terelakkan. Saling banting, tikam, terjang, dan serang. Dalam hitungan jam, sang kiai berhasil melumpuhkan pertahanan si jin tadi.
Sang kiai mencekik leher si jin. Makhluk durja itu menjerit, dan berteriak dengan suara parau...
”Ampun, kiai...! Saya mengaku kalah. Silahkan, lakukan yang sampeyan mau!” Sang kiaipun lalu menebang pohon itu. kemudian kembali ke cungkup-nya untuk kembali bermeditasi. Mendekatkan diri pada Allah.
Selang beberapa bulan kemudian, warga kembali diresahkan oleh ulah jin yang sama. Ia mulai mengganggu warga dan bersemayam di pohon lain. Jin itu terus mengganggu sampai warga menyerahkan sesajen kepadanya. Berita itu sampai kepada kiai.
Maka sang kiaipun melakukan hal yang sama. Dan pada akhirnya, jin harus takluk di bawah kedigdayaan sang kiai.
Rupanya jin tak mau menyerah. Ia mencari seribu cara untuk mengelabui sang kiai. Setelah berpikir lama, si penunggu pohon itupun menemukan ide...
Kembali ia mengganggu warga dengan menakut-nakuti. Membuat warga kesurupan. Menimbulkan suara-suara yang menyeramkan, dan sebagainya. Bagi mereka yang lemah imannya, dengan serta merta akan berduyun-duyun mendatangi pohon angker itu, membawa makanan, sembari memuja dan menghiba...
“Ampun, dewa penunggu. Jangan ganggu kami. Kami rela menyerahkan sesajen ini, asal dewa penunggu tidak mengganggu kami. Ampunilah kami, dewa penunggu.... “ Demikianlah, warga sudah menjadi pemuja jin yang bersemayam di dalam kayu besar di pojok desa.
Berita inipun sampai pada kiai. Dia geram dengan ulah jin yang kesekian kalinya. Padahal sudah berungkali makhluk halus itu ditaklukkannya. Namun mengapa kok tak pernah kapok.
Maka berangkatlah dia menuju pohon itu. Ia ingin segera menyelesaikan masalah ini. Ingin membuat perhitungan dengan jin penghuni itu.
Sesampainya di jalan, rupanya jin itu sudah menunggu kehadiran kiai. Dengan lembut jin menyapa kiai.
”Mau kemana, pak kiai?” sapa jin tadi ramah.
”Saya akan menebang pohon itu. Lalu akan membuat perhitungan lagi denganmu,” jawaban kiai tetap lantang.
”Jangan, pak kiai. Jangan lakukan itu!” Kali ini suara jin rendah dan menghiba.
”Tahukah pak kiai, mengapa saya melarang sampeyan menebang pohon itu?” suara lirih itu memaksa kiai untuk menahan maksudnya.
”Emangnya kenapa?” tanya kiai.
”Sebenarnya saya kasihan sama sampeyan, pak kiai. Kalau pohon itu ditebang, maka warga yang selama ini sudah terlanjur menyembah saya akan marah pada sampeyan. Mereka sudah terlanjur yakin bahwa saya yang mendatangkan malapetaka di desanya. Sebaiknya pak kiai jangan sok pahlawan. Gak perlu repot sendiri....” sang kiai sejenak terdiam. Jin penunggu itupun segera melanjutkan pembicaraannya.
”Saya ada tawaran buat pak kiai. Begini, bagaimana kalau pak kiai tidak usaha repot-repot menebang pohon itu. Biarkan warga menyembah saya dan menyerahkan sesajen tiap pagi dan sore. Tapi, saya akan memberikan beberapa miliar uang kepada pak kiai. Uang itu akan datang tiap pagi, saat pak kiai baru bangun tidur. Pak kiai tidak perlu repot bekerja. Cukup menjulurkan tangan ke bawah tikar tempat tidur pak kiai. Pokoknya, semua kebutuhan pak kiai akan terpenuhi. Bagaimana?” Tawaran yang menggiurkan dari jin yang penuh tipuan.
”Uang miliaran? Betulkah? Apa perkataanmu bisa dipercaya?!” Tanya sang kiai ragu.
”Tunggu saja besok.....!” Sekonyong-konyong jin itu menjauhi kiai. Sang kiai pun berpikir lama, hingga akhirnya mengurungkan niatnya untuk menebang pohon angker tersebut. Lebih baik dia pulang, menunggu transferan uang dari sahabat barunya, yang sebelumnya adalah musuh terbesarnya.
Begitulah, sang kiai kini hidup dalam kemewahan. Idealismenya telah rapuh, tergadaikan oleh tawaran uang yang bernilai miliaran. Tak perlu dia bekerja susah payah, karena semua kebutuhannya telah terpenuhi. Tinggal merogohkan tangan di bawah tikarnya. Berapapun yang diminta akan ada di depan mata.
Sementara warga kian larut dalam gelimang kemusyrikan, kemaksiatan, dan perbuatan dosa. Mereka sudah tidak ada tempat untuk mengeluh. Sebab sang kiai, yang dulu jadi simbol perlawanan terhadap jin penguasa kampung itu, kini jadi diam. Dibungkam oleh rupiah yang berlimpah.
Syahdan. Beberapa tahun kemudian, rupanya transferan uang dari jin sudah macet. Setiap kali kiai merogoh ke bawah tikar, tak ada sepeserpun uang yang dia temukan. Sang kiai marah. Ia sadar bahwa jin telah mengkhianati perjanjiannya.
Dengan penuh emosi, kiai ini pun berangkat menuju pohon besar tempat jin bersemayam. Dia membawa seperangkat alat untuk menebang pohon yang telah jadi istana jin. Sesampainya di sana, tampak kerumunan warga. Mereka melakukan sembahyang kepada jin penghuni pohon. Kiai inipun mulai melampiaskan kemarahannya seraya berteriak...
”Hai, makhluk durja, penghuni pohon. Keluar kau. Saya akan menebang pohon ini, karena menyebabkan kemusyrikan penduduk desa. Hayo, keluar kau....”
Seketika itu, jin penghuni pohon itupun keluar sembari tertawa terbahak-bahak, ”Hahahaha... Ada apa pak kiai? Apa gerangan yang menyebabkan sampeyan datang ke sini?” Nadanya melecehkan.
”Kamu telah menyebabkan warga kampung larut dalam kesyirikan. Enyahlah kau dari tempat ini! Saya akan menebang pohon ini...!” Suara kiai membahana. Berpadu dengan tawa jin yang lebih menyeramkan.
”Saya tahu pak kiai, sampeyan datang ke sini bukan karena ingin memberantas kemusyrikan. Tapi karena transfer uang dari saya macet, kan?” Ledek si jin.
Tanpa banyak bicara, sang kiai itupun menyerang jin yang masih larut dalam tawanya. Perkelahian pun terjadi, antara jin dengan kiai. Namun kini keadaan berubah. Pertandingan itu dikuasai oleh si jin penghuni pohon. Tidak lama kemudian, sang kiai terpelanting jauh. Lalu tersungkur ke tanah.
Pada saat itulah, jin penghuni kayu itu berkata lantang, ”Pak kiai. Kalau dulu sampeyan bisa mengalahkan saya, karena ketulusan niat telah melahirkan kekuatan dahsyat. Kamu marah, semata-mata karena membela agama Allah. Maka akupun tak sanggup mengalahkanmu kala itu. Tapi sekarang, kekuatanmu sudah sirna. Hatimu sudah bercampur urusan dunia. Pikiranmu sudah dipenuhi harta. Marahmu karena rupiah. Sehingga sekarang kamu sudah tidak memiliki kekuatan apa-apa... Hahahaha...!”
Kiai itupun menyesali konspirasi hitam yang ia jalin dengan jin yang durjana tadi. Ia menyadari kesalahannya, yang telah menukar ketulusan dengan kemegahan. Menggadaikan iman demi kekayaan. Sehingga kharismanya pudar. Kekuatannya sirna....