Meniti Jalan Menuju Mardlatillah
Mafahim
Dalam menjalani hidup ini, setiap manusia yang telah mengikrarkan dirinya menjadi seorang muslim, niscaya memiliki target (al-hadaf) yang hendak dicapainya. Target itu adalah menggapai mardlatillah (keridlaan Allah SWT). Sebab mardlatillah ini yang mengantarkan setiap manusia untuk meraih kebahagiaan di akhirat (sa’aadah fil akhirat) yang diyakini sebagai kebahagiaan yang hakiki.
Generasi sahabat dahulu barangkali adalah tipologi manusia yang sukses di dalam menggapai mardlatillah. Artinya mereka sosok umat yang kelak mendapatkan kebahagiaan hakiki di akhirat. Di dalam al-Qur’an disebutkan sifat mereka yaitu radliallahu ‘anhum (Allah subhanallahu ta’ala telah meridlai mereka). Atas dasar ini kita tak segan-segan memanjatkan do’a bagi mereka kala disebut nama-nama generasi pertama didikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam tersebut dengan ucapan radliallahu ‘anhu (mudah-mudahan Allah meridhainya).
Dalam rangka meniti jalan wushul menuju madlatullah harus diperhatikan dua cara berikut. Pertama, taufiq (pertolongan atau bantuan) dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Taufiq ini kedudukannya ibarat hujan turun dari langit dan membasahi lahan atau tanah di bumi. Kedua, bekerja dan berupaya keras menuju Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas prinsip istiqomah (konsisten) dan ittiba’ (mengikuti sunnah). Kedudukan perkara kedua ini ibaratnya menggarap lahan atau tanah.
Kaitannya dengan menggarap lahan atau tanah, maka penggarap bila tidak ingin rugi, mesti memperhatikan setidak-tidaknya empat hal ini, yaitu bibit (dicarikan bibit yang unggul misalnya), merawat dan menjaganya (at-tarbiyah wa al-hifdzi), membersihkannya dari hama yang merusak (tanhiyatul mu’dzi), dan terakhir melakukan semua itu dengan kerelaan dan kesadaran tinggi yang disebut dengan ikhlas.
Dua perkara di atas, yaitu taufiq dan bekerja keras menuju Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas prinsip istiqamah dan ittiba’, kiranya harus berpadu menjadi satu. Seseorang mengelola tanah misalnya akan tetapi tanahnya kering kerontang karena tiada air hujan, maka ia hanya berpayah-payah saja yang tidak ada hasilnya. Begitu pula kalau tanah sudah ada air hujan y ang mencukupi namun dibiarkan begitu saja, tidak dikelola, ini namanya kesia-siaan. Berikutnya kalaupun tanah ada airnya dan dikelola, namun pengelolaannya tidak efektif dan optimal, misalnya bibit tidak berkualitas, hama dibiarkan merusak, tidak terawat, dikerjakan sambil lalu saja, niscaya yang akan ditunai kelak hanyalah kerugian.
Terkait dengan dua perkara ini, perlu dipahami bahwa bekerja dan berupaya keras menuju Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas pinsip istiqomah dan ittiba’ yang diibaratkan laksana kerja mengelola tanah adalah lingkup yang kelak manusia dimintai tanggung jawab kalau penggarapannya jelek dan akan dibalas kalau penggarapannya bagus. Maka, kerja inilah yang lazim disebut dengan syariat, sedangkang taufiq yang diibaratkan hujan turun dari langit kiranya tidak ada sangkut pautnya (madkhol) dengan urusan kerja manusia. Karena taufiq adalah hak prerogatif Allah semata. Perkara inilah yang disebut sebagai hakikat, dimana manusia harus sepenuhnya berserah diri dan bergantung terhadap kehendak dan kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Untuk bisa bekerja dan berupaya keras menuju Allah Subhanahu wa Ta’ala diatas prinsip istiqamah dan ittiba’ agaknya ada banyak sarana yang bisa dititi. Di antara sarana tersebut ialah fi’lul mukaffirat, melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat menghapus dosa. Seperti giat menjalankan amal-amal sunnah, melibatkan diri dalam proses pendidikan dan pembinaan, memakmurkan masjid dan lain sebagainya. Di samping itu juga hendaknya melakukan muhasabah (intropeksi diri). Sahabat Umar bin Khattab berkata,
حَاْسِبُوْا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسِبُوا
“Introspeksilah diri kalian sebelum kalian di diintrospeksi.”
Seorang yang mengikrarkan diri beragama Islam kalau mampu mengoptimalikan dan mengefektifkan sarana fi’lul mukaffirat dan muhasabah, rasanya tidak jauh dikatakan bawah dia meniti jalan (wushul) menuju mardlatillah. Karena dua sarana itu berkesempatan lebih banyak untuk menciptakan suasana akhir kehidupan yang baik yaitu husnul khatimah. Sementara husnul khatimah ini adalah modal dasar manusia yang luar biasa kala menghadap Allah subhanallahu ta’ala. Target hidup manusia pasti terasa aman kalau akhir hidupnya baik. Manusia yang menggapai husnul khatimah inilah yang digambarkan di dalam Qur’an, yang artinya:
“Tidak ada rasa takut bagi mereka (terhadap hal-hal yang berlalu) dan mereka pun tidak merasa susah (terhadap hal-hal yang hendak tiba).” (QS. Yunus: 62)
Akhirnya, layak sekali direnungkan bahwa sarana fi’lul mukaffirat dan muhasabah akan optimal dan efektif, hanya kalau dilakukan secara individu dengan istiqamah atau dengan bimbingan guru rohani, atau secara kolektif yaitu melalui wadah kejama’ahan.