URL: www.pejuangislam.com
Email: editor@pejuangislam.com
 
Halaman Depan >>
 
 
Pengasuh Ribath Almurtadla Al-islami
Ustadz H. Luthfi Bashori
 Lihat Biografi
 Profil Pejuang Kaya Ide
 Imam Abad 21
 Info Asshofwah
Karya Tulis Pejuang


 
Ribath Almurtadla
Al-islami
 Pengasuh Ribath
 Amunisi Dari Tumapel
 Aktifitas Pengasuh
 Perjuangan Pengasuh
 Kalender Ribath
Pesantren Ilmu al-Quran (PIQ)
 Sekilas Profil
 Program Pendidikan
 Pelayanan Masyarakat
 Struktur Organisasi
 Pengasuh PIQ
 
Navigasi Web
Karya Tulis Santri
MP3 Ceramah
Bingkai Aktifitas
Galeri Sastra
Curhat Pengunjung
Media Global
Link Website
TV ONLINE
Kontak Kami
 
 
 Arsip Teriakan Pejuang
 
SETAN BISU & SETAN BICARA 
  Penulis: Pejuang Islam  [7/8/2025]
   
AYOO SHALAT MALAM ! 
  Penulis: Pejuang Islam  [4/8/2025]
   
KOMUNIKASI DI MEJA MAKAN 
  Penulis: Pejuang Islam  [28/7/2025]
   
SUJUD SYUKUR 
  Penulis: Pejuang Islam  [27/7/2025]
   
MENGALAHKAN HAWA NAFSU 
  Penulis: Pejuang Islam  [20/7/2025]
   
 
 Book Collection
 (Klik: Karya Tulis Pejuang)
Pengarang: H. Luthfi B dan Sy. Almaliki
Musuh Besar Umat Islam
Konsep NU dan Krisis Penegakan Syariat
Dialog Tokoh-tokoh Islam
Carut Marut Wajah Kota Santri
Tanggapan Ilmiah Liberalisme
Islam vs Syiah
Paham-paham Yang Harus Diluruskan
Doa Bersama, Bahayakah?
 
 WEB STATISTIK
 
Hari ini: Senin, 22 September 2025
Pukul:  
Online Sekarang: 4 users
Total Hari Ini: 205 users
Total Pengunjung: 6224317 users
 
 
Untitled Document
 PEJUANG ISLAM - MEDIA GLOBAL
 
 
KE-MAHA SUCIAN DZAT ALLAH TAKKAN TERNODAI OLEH SIFAT MANUSIA 
Penulis: Mafahim [25/4/2012]
 
KE-MAHA SUCIAN DZAT ALLAH
TAKKAN TERNODAI OLEH SIFAT MANUSIA

Mafahim

Membincang Dzat Allah sangatlah luas cakupannya. Dzat Allah tidak hanya terbatas pada beberapa nama dan sifat-Nya saja. Dia-lah Tuhan sarwa semesta Yang Maha Agung. Keabsolutan-Nya tidak dapat dikungkung oleh jangkauan akal manusia. Seorang hamba akan dapat lebih dekat dengan Allah apabila telah mengenal-Nya. Sementara cara untuk mengenal Allah adalah dengan mengetahui asma-asma-Nya yang agung.

Akan sangat naif sekali apabila kita mengukur keagungan Dzat Allah dengan kesempitan akal semata. Begitupula dalam memahami unsur-unsur keterpaduan sifat, antara karakter kemanusiaan dengan karakter ketuhanan, hal ini tidak dapat dipahami secara sempit dan parsial. Apalagi sampai mengklaim bahwa memadukan eksistensi Tuhan pada karakteristik manusia bagian dari perbuatan syirik. Sungguh hal ini merupakan kesalahan fatal.

Ahlussunnah wal Jamaah meyakini bahwa Rasulullah memiliki keistimewaan spesifik yang tidak dimiliki hamba yang lain. Keistimewaan ini diagungkan oleh umat sehingga terkesan menempatkan Rasulullah pada posisi ketuhanan. Lha, keyakinan yang seperti ini dianggap sesat karena telah mensifati Rasulullah dengan sifat Tuhan.

Klaim sesat ini muncul karena berangkat dari kebodohan mereka semata. Padahal Allah itu Maha Pemurah, sangat berkuasa untuk mengkaruniakan keistimewaan kepada mahluk-Nya, siapapun dan kapanpun saja. Dan setelah karunia itu didapat oleh seorang hamba, tidak dengan serta merta akan menodai ke-Mahasucian Allah, dan tidak lantas merampas sebagian hak prerogatif Allah yang absolut. Sebagai contoh, Allah memiliki sifat dan wewenang untuk memberi syafaat kepada hamba-Nya. Hal ini adalah prerogratif Allah yang mutlak.

Allah berfirman yang artinya:

“Katakanlah, ‘Hanya kepunyaan Allah syafaat itu semuanya. Kepunyaan Dia kerajaan langit dan bumi. Kemudian (hanya) kepada-Nyalah kamu dikembalikan," (Qs. Az-Zumar: 44).

Terdapat beberapa redaksi hadis yang menjelaskan bahwa potensi untuk memberi syafaat juga dimiliki oleh Rasulullah dan hamba lain yang dikehendaki oleh Allah.

أُوْتِيْتُ الشَّفَاعَةَ

“Aku diberi (memiliki) syafaat,” (HR. Bukhari, Muslim, Nasa’i, Darimi, dan Ahmad).

Begitupula terdapat redaksi hadis lain yang berbunyi,

أَنَا أَوَّلُ شَافِعٍ وَمُشَفَّعٍ

“Akulah pemberi syafaat dan penerima syafaat pertama kali,“ (HR. Ad-Darami, Muslim, dan Abu Daud).

Lalu bagaimana kita mengkorelasikan dua teks (nash al-Qur’an dan hadis) tersebut? Begitu pula tentang hal ghaib yang juga merupakan prerogatif Allah, sebagaimana firman-Nya yang artinya:

“Katakanlah, "Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah.“ Dan mereka tidak mengetahui bahwa mereka akan dibangkitkan.“ (Qs. An-Naml: 65)

Namun di sisi lain Allah juga mengajarkan hal ghaib kepada para nabi-Nya, sebagaimana yang ada di dalam alQuran yang artinya:

“(Dia adalah Tuhan) Yang mengetahui hal ghaib. Maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang hal ghaib itu, kecuali kepada Rasul yang diridhai-Nya. Maka sesungguhnya Dia menjadikan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.” (Qs. Al-Jin : 26-27)

Dan contoh lain adalah wewenang untuk memberi hidayah (petunjuk) yang juga merupakan prerogatif Allah semata.

Allah berfirman yang artinya:

“ Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya. Dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.“  (Qs. Al-Qashash: 56).

Tetapi pada ayat yang lain Allah menegaskan bahwa para nabi dan hamba yang dikehendaki oleh Allah juga memiliki andil dalam memberi hidayah (petunjuk), yang artinya:

“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (al-Qur’an) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui, apakah al-kitab (al-Qur’an)? dan tidak pula mengetahui, apakah iman itu? Tetapi Kami menjadikan al-Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan cahaya itu siapa saja yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar- benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus,“ (Qs. As-Syura: 52).

Sekali lagi, bagaimana mengkorelasikan teks-teks yang terkesan kontroversial tersebut?

Tentu dengan arif dapat dipahami bahwa secara implisit ayat tersebut mengandung makna,

1) syafaat yang datang dari Allah tidak sama kadarnya dengan syafaat yang datang melalui Rasulullah,
2) hal-hal ghaib yang diketahui oleh Allah lebih agung dari jangkauan kemampuan mahluk tentang hal ghaib, dan
3) petunjuk (hidayah) yang dikaruniakan oleh Allah berbeda dengan petunjuk yang melalui perantara Rasulullah.

Jadi pemaknaan konotatif dari teks di atas adalah, “Sesungguhnya engkau memberi petunjuk dengan cara yang berbeda dengan Kami, yaitu dengan irsyad.“

Namun semua itu tidak perlu dijelaskan dalam kalimat yang bertele-tele. Bahkan seakan-akan—dalam teks redaksi tersebut—Allah telah memberi kemampuan supra berupa syafaat dan hidayah kepada Nabi Muhammad dan kepada hamba pilihan-Nya tanpa ada penjelasan kalimat yang membatasinya. Karena kaum muslimin sudah dapat memahami makna yang terkandung dari teks yang terkesan kontroversi tersebut dengan tanpa harus mempersoalkan kepada siapa sifat dan kemampuan itu disandarkan, apakah dinisbatkan kepada Allah atau rasul-Nya?

Oleh karena itu perlu ketelitian dan kehati-hatian di dalam memahami teks-teks agama yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadis. Memahami makna ayat perlu didukung oleh disiplin keilmuan lain meliputi ilmu bahasa, gramatika, balaghah, sejarah, dan sebagainya. Dengan demikian, teks agama akan dapat diinterpretasikan secara utuh dan menyeluruh.

Dapat disimpulkan bahwa eksistensi Allah tidak akan begitu mudah dinodai oleh sifat-sifat yang dinisbatkan kepada mahluk. Sebab ada teritorial yang jelas antara posisi Allah sebagai Tuhan dengan segala keagungan sifat-Nya, dengan posisi mahluk yang juga memiliki sifat dan kemampuan yang spesifik. Oleh karena itu sangat gegabah sekali apabila mengklaim sesat terhadap penyematan karakter ketuhanan pada mahluk. Sebab sekali lagi, ada teritoral yang jelas antara kekuasaan Allah dengan mahluk, walaupun terkesan ada keterpaduan yang hampir serupa antara Tuhan dengan mahluk. Subhanallah.

   
 Isikan Komentar Anda
   
Nama 
Email 
Kota 
Pesan/Komentar 
 
 
 
 
Kembali Ke Index Berita
 
 
  Situs © 2009-2025 Oleh Pejuang Islam