Menjadi Muslim yang Ksatria
Mafahim
Barangkali yang menjadi perbedaan mendasar, umat Islam zaman sekarang dengan masa awal Islam datang, adalah tingkat ke-kesatria-an atau keperwiraannya. Betapa sejarah umat Islam di masa Rasulullah hingga masa keemasan diuntai dengan rentetan peristiwa, deretan tokoh, dan ilustrasi yang menggambarkan keperwiraan kaum Muslimin. Sehingga mereka mampu membawa Islam pada puncak kemuliaan yang gemilang. Mereka mampu menoreh sejarah yang cemerlang. Dan Islam menjadi agama yang mulia, ya’lu walaa yu’la ‘alaihi.
Pada suatu waktu, baginda Rasulullah diancam oleh orang-orang kafir Quraisy. Orang Quraisy meminta kepada Abu Thalib, agar Muhammad diserahkan, untuk ‘dibarter’ dengan pemuda lain sebagai pengganti Muhammad. Atau, akan ‘dibeli’ dengan setumpuk harta yang berlimpah. Selanjutnya, Muhammad akan dibunuh karena dianggap telah menciptakan suasana chaos di tengah masyarakat jahiliyah. Muhammad telah merekonstruksi pemahaman tentang Tuhan yang telah tercemari kemusyrikan. Muhammad dianggap pendobrak ajaran nenek moyang mereka.
Namun, apa jawaban Rasulullah dengan tawaran tersebut?
وَاللهِ، لَوْ وَضَعُوا الشَّمْسَ فِيْ يَمِيْنِيْ وَالْقَمَرَ فِيْ يَسَارِيْ عَلَى أَنْ أَتْرُكَ هَذَا اْلأَمْرَ حَتَّى يُظْهِرَهُ اللهُ أَوْ أَهْلَكَ دُوْنَهُ، مَا تَرَكْتُهُ!
“Demi Allah. Seandainya mereka meletakkan matahari di tangan kananku, dan rembulan di tangan kiriku, agar aku meninggalkan risalah ini, sehingga Allah menampakkan kemenangan atau menghancurkan yang selain-Nya (kiamat), maka aku takkan bergeming untuk meninggalkannya.”
Sungguh jawaban yang tegas. Yang mencerminkan watak kesatria dari seorang pemimpin besar, pembawa risalah yang agung. Jawaban yang membuat orang tak berkutik untuk mengutak atik prinsip dan idealisme. Karena prihidup Rasulullah dipenuhi dengan karakter keperwiraan. Karakter positif yang beruntai dengan kepahlawanan. Idealisme keimanan beliau tak tergoyahkan oleh rintangan dan ancaman. Beliau selalu tabah dengan segala ujian yang menimpa. Senantiasa berpijak pada jalan membela kebenaran.
Rasulullah teguh pendirian demi sebuah urusan yang mulia. Sehingga ketika beliau wafat, tidak menyisakan kedukaan dan keburukan sebagaimana kebanyakan para pemimpin. Beliau tidak meninggalkan kekayaan yang menggelincirkan, tidak seperti peninggalan para pejabat dan birokrat. Beliau meninggalkan pusaka yang abadi sepanjang zaman, yaitu kebenaran dan kemuliaan. Itulah ajaran Islam.
Begitupula dengan para sahabat. Sejarahnya beruntai dengan cuplikan sejarah yang sarat dengan keperwiraan dan kepahlawanan. Tengoklah, bagaimana kepribadian Sayyidina Umar. Dia sosok sahabat dan pemimpin ksatria. Tak gentar dalam kebenaran, dan tak terusik dengan gangguan. Bahkan tak ciut di hadapan siapa saja.
Dalam sebuah khotbahnya, Sayyidina Umar berkata, “Wahai umat Islam. Demi Allah, tak ada seorangpun yang lebih kuat dariku, sehingga aku dapat menampakkan kebenaran kepadanya. Dan tak seoranpun yang lebih lemah dariku, sehingga aku memperoleh kebenaran darinya.”
Sosok yang ksatria memahami akan kemampuan dirinya. Dia tidak angkuh, namun tidak pula minder. Berani berkata benar kepada siapa saja. Kebenaran tidak hanya berputar dalam tataran konsep saja, tetapi terealisasikan dalam kehidupan. Untuk melatih mental menjadi sosok yang ksatria, Sayyidina Umar seringkali menyuruh para orang tua agar mengajari anak-anaknya dengan permainan yang mampu melatih ketahanan mental.
”Ajarilah anak-anak kalian dengan .... dan memanah. Suruh mereka melatih untuk menunggang kuda. Ajarilah anak-anak kalian lagu-lagu perjuangan (mars) yang indah dan menarik.”
Sayyidina Umar juga tak jarang menguji aparatur pemerintahannya dengan prilaku kejujuran dan keperwiraan. Dia berkata kepada para menterinya, ”Dalam kebenaran janganlah tebang pilih. Semua sama saja. Kerabat terdekat sama saja dengan orang lain. Orang lain tak beda dengan kerabat dekat. Jauhilah prilaku suap menyuap, atau memutuskan dengan penuh emosi. Janganlah memvonis saat kalian marah!”
Begitulah. Masa permulaan Islam penuh dengan kisah keperwiraan dan kejujuran. Keteguhan pendirian dan kekuatan prinsip. Semua mudah dijumpai di setiap relung kehidupan umat Islam pada masa itu. Kalau kita membaca sejarah, maka kita akan terperangah dengan hal ini. Keperwiraan yang ditampilkan oleh para pemimpin Muslimin menjadi faktor terpenting tersebarnya Islam.
Islam menyebar dan berkibar di seantero penjuru. Bermula dari tanah Hijaz, hingga meluas ke Andalus, Mesir, Granada, Persia, dan India. Dengan perangainya yang agung, para ksatria Muslim mampu melakukan penaklukan ke berbagai wilayah. Mereka membangun peradaban baru. Peradaban yang modern (madani) dengan bertumpu pada nilai-nilai Islam.
Dalam proses ekspansi tersebut, para ksatria Muslim tidak bermodalkan kekuatan senjata, tetapi dengan keluhuran akhlak. Sehingga, di negeri itu umat Islam mudah diterima dan memberikan sumbangsih berharga bagi terciptanya masyarakat dan tatanan yang tertib. Di sana para pahlawan Muslim mengajarkan, bagaimana keadilan harus ditegakkan. Keadilan yang tidak pandang bulu dan berlaku bagi siapa saja. Mereka juga mengajarkan, bagaimana membangun sistem pemerintahan yang tertib administrasi.
Keadilan dan kejujuran menjadi citra diri pribadi Muslim. Dari keadilan akan muncul kejayaan. Dari kejujuran akan lahir keterhormatan. Maka tak heran jika sejarah Islam sampai saat ini menjadi bagian dari episode kehidupan yang gemilang, yang enak dibaca dan indah dikenang. Karena di dalamnya sarat dengan potret kejujuran, keadilan, dan keperwiraan.
Namun kini, cerita tentang keadilan dan kejujuran laksana mitos belaka. Semua sudah berubah. Jika dulu para leluhur mereka mempertahankan kehormatan dengan harta, namun kini, banyak para pemimpin yang menggadaikan harga dirinya demi harta. Para pemimpin umat Islam saat ini lebih mementingkan dirinya sendiri, atau kelompoknya saja. Sedangkan pejuang terdahulu mementingkan rakyat, bangsa, dan agama. Umat Islam dicabik-cabik oleh ambisi para pemimpinnya, hingga tercerai berai dalam beberapa kelompok dan partai. Konflik dan pertikaian kian tak terelakkan.
Dengan sifat ksatria, yang tidak mudah terombang ambing oleh godaan jabatan, harta, posisi, popularitas, dan apapun saja, diharapkan akan mampu mengembalikan kejayaan Islam. Sifat perwira akan melahirkan kejujuran, percaya diri, terjaganya kehormatan, menunaikan segala hak dan kewajiban, kendatipun terhimpit oleh berbagai kondisi dan godaan.
Seorang ksatria akan berusaha semaksimal mungkin untuk menjaga dan mengayomi umat, memperjuangkan agama, dan mempertahankan bangsanya. Dia tak akan segan untuk menindak orang-orang yang dhalim, tanpa harus memilih siapa, anak siapa, dan mau bayar berapa?
Seorang pejabat yang ksatria memiliki kesadaran bahwa jabatannya adalah tanggung jawabnya, bukan untuk berbuat semena-mena. Di belakangnya ada rakyat yang harus diayomi dan dilayani. Bukan malah menjadikan jabatan sebagai ajang mencari kemegahan dan popularitas. Dia lebih banyak memikirkan rakyat daripada memikirkan diri sendiri dan kelompoknya. Dia akan mengundurkan diri jika merasa bahwa dia sudah tak mampu dan rakyat tidak berkenan kepadanya.
Seorang ilmuwan yang ksatria menyampaikan apa yang diketahuinya dengan ilmiah. Dia tidak pernah mengeluh dalam setiap melakukan penelitian dan waktu mengajar. Dia tidak merasa jenuh untuk senantiasa melahirkan ide-ide kreatifnya. Dia konsekwen dengan kebenaran yang dianutnya. Ilmunya tidak digadaikan kepada penguasa. Bahkan ilmunya digunakan untuk mengkontrol kesewenang-wenangan penguasa dan kedhaliman orang-orang durjana. Dia tidak merasa bangga dengan temuan terbarunya. Juga tidak melecehkan temuan sebelumnya.
Dengan demikian, kejayaan sebuah bangsa dan kemuliaan Islam akan kembali diraih oleh umat Islam, selama dia teguh di atas prinsip kebenaran dan kejujuran. Hal ini terbentuk dari karakter ksatria setiap pribadi Muslim.