Abu Yazid dan Tetangga Surga
Mafahim
Abu Yazid al-Busthami; tentunya kita tidak asing dengan tokoh sufi yang satu ini. Sejak kecil Abu Yazid sudah menunjukkan tanda-tanda kewalian. Konon beliau menjadi wali karena pengorbanan dan bakti yang sungguh-sungguh kepada orang tuanya semenjak kecil. Memang beliau berada di lingkungan yang sangat agamis dan ketat menjalankan syari`at. Sama sekali tidak pernah menyentuh maksiat, atau berteman dengan ahli maksiat. Tetapi, pada saat beliau menjadi orang terpandang di kota Bustham, beliau pernah bersentuhan dengan ahli maksiat. Beliau “dikerjai” oleh seorang budak, yang juga seorang waliullah sehingga terpaksa beliau bergaul dengan para peminum khamr selama beberapa hari.
Alkisah, sebagaimana biasanya, Abu Yazid meluangkan waktunya untuk bermunajat di kediamannya. Suatu hari seusai shalat, beliau berdoa dengan khusyu`. Hari itu, beliau menghiba sampai meneteskan air mata. Beliau merasakan, pada saat itu ada yang berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Hatinya lebih bahagia dan lunak. Dalam munajatnya, alam pikrannya terbang melayang menuju arsy. Semua laksana mimpi.
Dalam hatinya terbersit, "Aku ingin melihat makam Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam".
Seketika itu pula, dia serasa berada di dekat makam Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam itu. Beliau bergumam "Oh, inikah makam Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam? Mudah-mudahan aku menjadi tetangganya di sorga kelak!"
Ketika tersadar, beliau tersentak kaget. Sayup-sayup ada suara lirih memanggilnya. Tidak jelas suara siapa dan dari mana.
"Sesungguhnya seorang budak milik seorang syekh di negeri seberang itu akan menjadi tetanggamu di sorga kelak. Temui dan turuti sarannya!" begitulah suara itu menggaung. Abu Yazid bingung, dari mana sumber suara itu. Apakah setan atau malaikat?
Untuk menenangkan hatinya, beliau segera pergi untuk mencari budak tersebut dan ingin melihat wajahnya. Setelah menempuh perjalan seratus farsakh, Abu Yazid sampai di negeri yang dimaksud. Beliau kemudian bertanya sana sini. Alangkah terkejutnya ketika beliau mendengar jawaban para penduduk negeri itu.
"Wahai Tuan, engkau adalah orang saleh. Wajahmu juga menunjukkan tanda-tanda kesalehan. Mengapa engkau ingin berteman dan bertemu budak yang fasik dan pemabuk itu. Semua warga disini membencinya," komentar warga tentang si budak.
Setelah mendengar jawaban warga, beliau merasa sedih dan menyesal. Jauh-jauh pergi ke negeri tetangga, hanya untuk menemui seorang pemabuk. Perangai yang beliau benci sejak kecil. Dalam hatinya ia berkata, "Jangan-jangan suara tadi adalah suara setan yang sering menipu manusia." Beliaupun pun berniat segera pulang ke negaranya.
Tapi, hatinya bimbang dan penasaran. Setelah berpikir, akhirnya beliau memutuskan untuk melihat budak itu. Beliau ingin melihat dengan mata kepalanya sendiri keadaan si budak. Sehingga dapat memastikan identitas si budak.
Dengan bantuan penunjuk jalan, akhirnya Abu Yazid berhasil mendatangi tempat yang biasa dijadikan basecamp para pemabuk.
"Di tempat inilah biasanya budak yang Tuan cari itu berpesta dengan preman-preman kota ini," jelas si penunjuk jalan. Di tempat itu Abu Yazid melihat empat puluh orang sedang pesta miras. Sementara si budak duduk di tengah-tengah mereka.
Namun, Abu Yazid tidak melihat si budak sedang mabuk atau meneguk khamr. Hatinya semakin penasaran. Beliau terus mengamati sambil sembunyi-sembunyi. Tiba-tiba ketika hendak beranjak pergi meninggalkan tempat itu, Abu Yazid tersentak. kaget karena dipanggil oleh budak tadi. Beliau khawatir akan diajak melakukan maksiat. Badannya gemeteran.
"Wahai Syaikh, mengapa engkau tidak masuk saja bergabung bersama kami. Engkau datang dari negeri jauh dengan susah payah untuk mencari tetangga engkau di surga. Kemudian ketika sudah menemukannya, engkau malah terburu-buru pergi tanpa mengucapkan kata dan salam. Bahkan engkau belum bertatap muka dengan calon temanmu di surga itu," sergah si budak.
"Ya Allah, dia tahu keadanku. Bagaimana dia bisa tahu? Padahal perkaraku adalah rahasia," hati Abu Yazid penuh keheranan. Beliau semakin bingung, siapa sebenarnya budak itu.
"Tidak usah berpikir banyak dan jangan heran, wahai Syaikhul Islam. Masuk saja ke dalam dan duduk bersama kami. Allah yang menyuruh engkau kesini telah memberitahuku bahwa engkau datang ke sini," kata si budak mantap. Dengan perasaan bingung dan ragu, Abu Yazid akhirnya masuk ke dalam di kerumuni para preman.
"Hai hamba sahaya, jelaskan siapa sebenarnya engkau. Apa-apaan semua ini?" tanya Abu Yazid. Si budak menjawab, "Tidak selayaknya seseorang masuk surga itu sendiri-sendiri. Aku ingin memiliki teman dan tetangga yang banyak di surga. Dulunya teman-teman preman itu jumlahnya 80 orang. Kemudian aku mendakwahi secara serius kepada 40 orang di antara mereka. Hingga akhirnya mereka insaf menjadi ahli ibadah. Dan biidznillah, mereka (40 orang tersebut) akan menjadi kawan dan tetanggaku di sorga kelak. Subhanallah, betapa bahagianya aku dapat merekrut 40 orang menjadi kawanku."
Abu Yazid yakin bahwa si budak tadi bukan orang sembarangan. Dia bukan preman yang suka mabuk, sebagaimana kata penduduk negeri itu. Dia adalah seorang waliullah.
"Duhai, Aba Yazid. Sekarang tugas engkau adalah mengentas 40 orang sisanya yang belum taubat itu. Agar berhasil, otomatis anda harus mendekati dan bergaul dengan mereka setiap hari di tempat ini," pinta si budak. Si budak lantas pergi meninggalkan Abu Yazid sendirian. Entah kemana perginya dengan tanpa meninggalkan jejak.
Berat sekali perasaan Abu Yazid pertama kali menjalankan tugas dakwah baru itu. Beliau biasanya dakwah di masjid, tapi sekarang ia dakwah di markas preman. Tapi dengan keteguhan, ketabahan, dan keikhlasannya, para preman tadi akhirnya taubat dan kembali ke jalan yang lurus.
"Alhamdulillah, sekarang kota ini bersih dari perbuatan kotor para preman. Hai budak dimanapun anda sekarang, ketahuilah kita bakal memiliki 80 sahabat dan tetangga di surga kelak!" kata Abu Yazid dalam hatinya. Memang dakwah itu semestinya mampu menyentuh ke semua lapisan umat, termasuk kepada para pemabuk. Tentunya dengan cara yang bijaksana.