URL: www.pejuangislam.com
Email: editor@pejuangislam.com
 
Halaman Depan >>
 
 
Pengasuh Ribath Almurtadla Al-islami
Ustadz H. Luthfi Bashori
 Lihat Biografi
 Profil Pejuang Kaya Ide
 Imam Abad 21
 Info Asshofwah
Karya Tulis Pejuang


 
Ribath Almurtadla
Al-islami
 Pengasuh Ribath
 Amunisi Dari Tumapel
 Aktifitas Pengasuh
 Perjuangan Pengasuh
 Kalender Ribath
Pesantren Ilmu al-Quran (PIQ)
 Sekilas Profil
 Program Pendidikan
 Pelayanan Masyarakat
 Struktur Organisasi
 Pengasuh PIQ
 
Navigasi Web
Karya Tulis Santri
MP3 Ceramah
Bingkai Aktifitas
Galeri Sastra
Curhat Pengunjung
Media Global
Link Website
TV ONLINE
Kontak Kami
 
 
 Arsip Teriakan Pejuang
 
SETAN BISU & SETAN BICARA 
  Penulis: Pejuang Islam  [7/8/2025]
   
AYOO SHALAT MALAM ! 
  Penulis: Pejuang Islam  [4/8/2025]
   
KOMUNIKASI DI MEJA MAKAN 
  Penulis: Pejuang Islam  [28/7/2025]
   
SUJUD SYUKUR 
  Penulis: Pejuang Islam  [27/7/2025]
   
MENGALAHKAN HAWA NAFSU 
  Penulis: Pejuang Islam  [20/7/2025]
   
 
 Book Collection
 (Klik: Karya Tulis Pejuang)
Pengarang: H. Luthfi B dan Sy. Almaliki
Musuh Besar Umat Islam
Konsep NU dan Krisis Penegakan Syariat
Dialog Tokoh-tokoh Islam
Carut Marut Wajah Kota Santri
Tanggapan Ilmiah Liberalisme
Islam vs Syiah
Paham-paham Yang Harus Diluruskan
Doa Bersama, Bahayakah?
 
 WEB STATISTIK
 
Hari ini: Senin, 22 September 2025
Pukul:  
Online Sekarang: 5 users
Total Hari Ini: 210 users
Total Pengunjung: 6224322 users
 
 
Untitled Document
 PEJUANG ISLAM - MEDIA GLOBAL
 
 
“Postmodern” dan Aurat Wanita 
Penulis: Kholili Hasib [13/3/2012]
 
“Postmodern” dan  Aurat Wanita

Kholili Hasib

Pada hari ahad (18/09/2011), anggota Perkumpulan Pembela Hak Perempuan mengadakan aksi di Bundaran Hotel Indonesia (HI) untuk  memprotes pernyataan Gubernur DKI, Fauzie Bowo, tentang himbauan tidak memakain rok mini bagi perempuan.

Pernyataan Fauzie Bowo itu dilatarbelakangi terjadinya kasus pemerkosaan di angkot beberapa saat lalu. Ia menghimbau agar penumpang wanita tidak menggunakan pakaian mini saat berada di angkutan umum agar tidak mengundang reaksi negatif.

Pernyataan tersebut mengundang reaksi keras kaum liberal dan feminisme.  Aktivis pro feminisme meyakini bahwa pakaian minim adalah hak asasi perempuan.  Sehingga mereka tidak terima jika pakaian minim dikaitkan dengan penyebab pelecehan terhadap wanita

Ulil Abshar Abdalla, aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL) Indonesia mendukung aksi mereka. Menurutnya himbauan untuk menurutup aurat wanita merupkan cerminan pemikiran konservatif. "Buat saya, memandang masalah pakaian melulu dari moral dress code (kode berpakaian) agama, itu terlalu sempit. Karena kemajuan masyarakat modern itu tercermin dalam keragaman cara berpakaian terutama di kalangan perempuan," katanya

Pernyataan-pernyataan Ulil dan aktivis Perkumpulan Pembela Hak Perempuan tersebut menunjukkan mereka penganut paham yang disebut “Islam Postmodern”. Disebut  postmodern sebab filsafat postmodern dijadikan sebagai ‘akidah’-nya. Islam model  Postmodern  ini diusung oleh pemikir Liberal asal Aljazair, Mohammed Arkoun. Penganutnya dapat disebut “Moslem Postmodernism”.  Ciri khas Islam model itu adalah; kesetaraan, humanis-sekular, dualisme, anti otoritas, hukum Islam relative, anti universalisme, menolak pengetahuan non-empiris dan pluralisme.

Model-model begitu sesungguhnya telah lama bercokol di Barat. Akan tetapi dalam dunia Islam, model Islam itu mencuat setelah muncul gerakan Liberalisasi di dunia Arab. Islam model postmo ini dikenalkan oleh Mohammed Arkoun pada sekitar tahun tujuh puluhan. Arkoun termasuk pengagum berat filsafat postmodern. Dibanding dengan tokoh liberal lainnya, ia sangat gandrung dengan epistemologi  postmo. Studi Islamnya dinamakan Islamologi Terapan (al-Islamiyyat al-Tathbiqiyyah). Ciri utamanya menggunakan metode dekonstruksi. Yang dimkasud dekonstruksi teologi dan syari’ah.

Dalam Islamologi Terapan konsep totalitas dan universalime Islam dihapus. Hak dan batil dirobohkan. Tidak ada hukum yang pasti. ‘Syari’ahnya’ adalah humanisme. Hukum Tuhan didiskualifikasi. Humanisme-Sekuler diangkat menjadi otoritas penentu nilai.

Asumsinya, ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an mengandung mitos, sebagaimana kitab Injil kaya dengan mitologi. Di samping itu, hukum-hukum fikih dan tafsir dinilai bias ideologis dan politis. Maka dari itu, “Islam Postmodern” menolak kemapanan hukum. Semua hukum Islam adalah berkepentingan menindas kaum minoritas dan lemah.

Kecurigaan berlebihan kepada mayoritas dan kaum lelaki adalah ciri khas lainnya. Perasaan itu bersumber dari epistemologi filsafat postmodern, yaitu dekonstruksi oposisi binner. Oposisi binner mulanya terapan linguistik strukturalis, ditolak dengan alasan memelihara konsep totalitas dan keberpihakan kepada kaum mayoritas atau pihak yang dianggap kuat.

Beginilah jika epistemologi yang diterapkan salah alamat alias salah sasaran. Linguistik poststruktrualis oleh para filsuf mulanya diterapkan dalam bidang sastra dan seni. Linguistik poststruktrualis itu lantas oleh para cendekiawan liberal diterapkan ke dalam agama. Akibatnya, agama layaknya fenomena bahasa. Tidak ada kaitan dengan hal-hal non-empiris. Berubah-ubah, seperti halnya ejaan bahasa yang bisa berubah.

Konsep oposisi binner tersebut dianggap menimbulkan pemikiran yang berpotensi untuk menguasai. Oleh sebab itu dibongkar (didekonstruksi) oleh mereka. Dalam urusan pakaian, hukum pernikahan dan hal-hal terkait lainnya, kecurigaannya selalu dialamatkan kepada lelaki.

Protesnya, jika aurat lelaki lebih terbuka kenapa wanita tidak terbukan seperti laki-laki. Jika lelaki bebas keluar kenapa wanita dibatasi harus didampingi mahram. Logika-logika ini adalah sesungguhnya logika kaum postmodern. Dimana pandangan hidupnya sama sekali tidak terkait dengan Tuhan. Tuhan dalam pikiran manusia dalam bahasa John Hick adalah ‘the real phenomenon’, tidak absolut.

Muhammad Syahrour, pemikir Liberal Arab lainnya asal Syiria, adalah pengusung aliran postmo yang paling getol mendekonstruksi konsep aurat wanita. Bahkan dalam teori batas minimal (nadzariyyat hudud) mengatakan bahwa batas minimal aurat wanita yang wajib ditutup adalah payudara, ketiak dan dubur-qubul saja.

Karena teologi didiskualifikasi dalam fikih, dibuang dalam epistemologi, maka “Islam Postmodern” justru jatuh kepada eksklusivisme. Eksklusivisme itu muncul karena perjalanan akidah postmodernisme selalu berdiri secara konfrontatif dengan akidah dan hukum Islam. Kemunculannya memang sangat mencurigai doktrin agama. Kecurigaan berlebihan ini menimbulkan reaksi radikal.

Maka, ketika para pengikut ‘madzhab’ postmodern ini membela diri, mereka selalu bertindak radikal atau mengeluarkan pernyataan yang menukik agama. Dalam demo menolak himbauan memakai pakaian sopan beberap waktu lalu, aktifis Perkumpulan Pembela Hak Perempuan justru menunjukkan pakaian-pakaian minim bahkan ada yang berlebihan minimnya. Meneriakkan yel-yel menyalahkan laki-laki.

Ulil pun bersuara, ia menyebut pihak yang membela aurat muslimah diksebut kaum konservatif. Mirip komentar pengusung Islam Postmodern, Mohammed Arkoun, yang menyebut kaum ortodok  tradisionali untuk mereka yang mengusung kebenaran universal dan ketetapan hukum Islam.

Karena menolak kemapanan itu, sesungguhnya tidak ada kepastian yang diperjuangkan pengusung postmodernisme tersebut. Epistemologinya hanya mencapai tataran syakk dan spekulatif. Jika yang disebut itu liberal saat ini, maka sesungguhnya mereka bukan lagi penganut modernisme tapi postmodernisme.

Oleh sebab itu, bagaimana mungkin mengamalkan pengetahuan agama yang masih dalam tataran tidak pasti.  Akan tetapi pengusung Islam Postmodernisme tidak mempersoalkan pengetahuan agama yang tidak pasti itu, baginya kehancuran agama bukan problem, sebab semangatnya adalah humanisme-sekular.

Oleh sebab itu Ulil dan para pembela rok mini tidak mempermasalahkan aurat. Sebatas minim apapun bagi mereka bukan problem sosial. Karena memang sudah mendiskualifikasi norma hukum dalam pandangan hidup mereka. Maka dari itu, problem sosial sesungguhnya dipicu oleh ‘madzhab’ postmodern ini, sebab mereka anti kemapanan.

   
 Isikan Komentar Anda
   
Nama 
Email 
Kota 
Pesan/Komentar 
 
 
 
1.
Pengirim: Ibnu Suradi  - Kota: Jakarta
Tanggal: 19/3/2012
 
Ustadz,

Saya perhatikan para wahabi isterinya berjilbab. Bahkan tidak sedikit dari mereka menggunakan cadar. Sedangkan, isteri para ASWAJA banyak yang tidak berjilbab. Bagaimana ini? Bukankah ASWAJA paham Islam yang benar?

Wallaahu a'lam.  
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Kelemahan mendidik warga mayoritas adalah kurang disiplinnya mereka untuk menerapkan syariat Islam dalam kehidupan kesehariannya. Dalam situs ini, kami lebih mengedepankan tinjauan ilmiah dari masalah-masalah yang berkembang di masyarakat sesuai dengan kemampuan kami yang sangat terbatas.

 
Kembali Ke Index Berita
 
 
  Situs © 2009-2025 Oleh Pejuang Islam