Tidak Syirik Hanya
Karena Bertawassul
Mafahim
Banyak orang salah paham bahwa tawassul adalah amalan syirik, bid’ah dan perbuatan sia-sia tak berguna. Tapi justru al-Qur’an, Hadis dan fatwa salafunas shalih meligitimasi tawassul.
Kesalahpahaman ini berangkat dari metode memaknai dalil secara tekstual belaka serta kurang mendalami hakikat tawassul. Pertama-tama yang mesti dipahami, bahwa tawassul adalah salah satu cara berdoa dan salah satu pintu untuk menghadap Allah SWT. Tujuan satu-satunya dalam tawassul adalah Allah SWT.
Adapun al-mutawassal bih (yang ditawassuli) hanya sekedar perantara (washitah) untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Jadi bila tawassul itu dibarengi keyakinan bahwa al-mutawassal bih itu berkuasa memberi manfaat dan menolak mudarat dengan kekuasaannya sendiri, maka tawassul itu berarti menyekutukan Allah (syirik).
Sebagian orang berpandangan bahwa tawassul adalah memohon kepada al-mutawassal bih untuk mendatangkan manfaat dan menjauhkan bahaya dengan keyakinan bahwa al-mutawassal bih itulah yang memiliki kekuatan mendatangkan manfaat secara hakiki. Persepsi ini jelas keliru. Sebab dalam tawassul, al-mutawassal bih hanya disebut namanya bukan dimintai doa. Mereka disebut namanya untuk tujuan memuliakan karena mereka manusia yang dekat dengan Allah. Dengan cara ini diharapkan Allah akan lebih memperhatikan keluh-kesah atau doa orang yang bertawassul.
Salah satu sisi yang dipermasalahkan orang yang menolak tawassul adalah, diharamkan tawassul dengan dzat (benda) atau kepada orang yang sudah meninggal. Mereka memaknai tawassul adalah perantara yang berupa ibadah atau amal shaleh atau menintakan doa kepada orang yang hidup. Selain keduanya—seperti tawassul kepada dzat atau orang yang sudah meninggal—diharamkan.
Orang yang bertawassul kepada Allah dengan perantara orang yang shaleh, dikarenakan ia mencintainya, maka itu tidak menyebabkan syirik. Sebab ia berkeyakinan bahwa orang tersebut adalah wali atau orang yang utama di sisi Allah.
Bila hal ini dipikir secara jernih, maka kita akan temukan bahwa rasa cinta dan keyakinan itu sebetulnya termasuk amal perbuatan orang yang bertawassul. Seakan ia berkata, “Ya Allah, sesungguhnya aku mencintai Fulan. Aku berkeyakinan bahwa si Fulan mencintai-Mu. Ia orang yang suka beribadah secara ikhlas untuk mengabdi kepada-Mu.
Ia suka berjihad di jalan-Mu. Saya juga berkeyakinan bahwa Engkau mencintainya dan meridhainya. Maka aku bertawassul (menjadikan mereka perantara) untuk menuju kepada-Mu dengan perantaraan kecintaanku kepadanya dan lewat keyakinanku mengenai dirinya. Hendaknya Engkau mengabulkan permohonanku.”
Oleh karenanya jika ada orang yang bertawassul dengan berucap,
أَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ
“Ya Allah, sesungguhnya aku bertawassul kepada-Mu dengan perantara kemuliaan Nabi-Mu”
Itu sama saja dengan mengucapkan dalam tawassulnya,
أَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِمَحَبَّةِ لِنَبِيِّكَ
“Ya Allah sesungguhnya aku bertawassul kepada-Mu dengan perantaraan kecintaanku kepada Nabi-Mu.”
Dalam satu riwayat shahih Rasulullah SAW pernah mengajarkan kepada salah satu sahabatnya yang buta untuk bertawassul. Sebagaimana riwayat Usman bin Hunaif ra Rasulullah SAW mengajarkan doa seorang yang buta:
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ نَبِيُّ الرَّحْمَةِ يَا مُحَمَّدُ إِنِّيْ أَتَوَجَّهُ بِكَ إِلَى رَبِّيْ فِيْ حَاجَتِيْ لِتَقْضَى لِيْ
“Ya Allah, aku memohon dan memanjatkan doa kepada-Mu dengan Nabi kami Muhammad, Nabi pembuawa rahmat. Wahai Nabi Muhammad, sesungguhnya aku memohon kepada Tuhanku dengan engkau berkait dengan hajatku agar dikabulkan.”
Tawassul kepada Nabi Muhammad atau kepada orang shaleh lainnya tidak dibatasi ketika yang ditawassuli masih hidup. Karena ternyata sebagian sahabat ada yang menggunakan shighat (redaksi) seperti hadis di atas setelah Rasulullah wafat.
Imam Tabrani meriwayatkan bahwa seorang laki-laki mendatangi Khalifah Usman bin Affan RA. untuk suatu keperluan. Tetapi Sayyidina Usman bin Affan tidak memperhatikan keperluannnya. Laki-laki itu kemudian bertemu dengan sahabat Usman bin Hunaif seraya melaporkan keadaannya. Maka Usman bin Hunaif berkata “Pergilah ke tempat wudlu dan berwudlulah!” Lalu pergilah ia ke masjid dan shalat dua rakaat. Usai shalat ia berdoa,
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ نَبِيُّ الرَّحْمَةِ يَا مُحَمَّدُ إِنِّيْ أَتَوَجَّهُ بِكَ إِلَى رَبِّيْ فِيْ حَاجَتِيْ لِتَقْضَى لِيْ رَبِّكَ فَيَقْضِى حَاجَتِيْ
Kemudian Usman berkata, “Sebutkanlah keperluanmu itu!” Kisah ini juga dishahihkan oleh al-Hafidz Abu Abdullah al-Maqdisi, al-Hafidz al-Mundziri, al-Haitsami dan bahkan Ibnu Taimiyah menilai derajat hadis tersebut adalah shahih.
Sebagaimana ditulis oleh Ibnu Taimiyah dalam al-Fatawa I, Imam Ahmad bin Hambal pernah menulis untuk temannya, al-Marwazi, tentang tatacara ibadah. “Boleh bertawassul kepada Allah dengan kemuliaan Nabi Muhammad SAW di dalam doa. Sesungguhnya yang demikian itu adalah merupakan sumpah kepada Allah dengan menggunakan nama Nabi Muhammad. Padahal tidak boleh bersumpah kepada Allah dengan menggunakan makhluk.” Oleh karena itu Imam Ahmad membolehkan bertawassul dengan Nabi Muhammad SAW.
Maka siapapun—apalagi para nabi dan wali—yang dicintai Allah boleh dijadikan alat bertawassul atau wasilah. Hal itu tentu sangat jelas dan dapat dipahami oleh orang yang mempunyai fitrah yang sehat. Bagaimanapun, itu merupakan sesuatu yang rasional. Akal tidak menolak, dalil syar’i pun membenarkannya.
Satu hal yang jelas, yang diminta itu hanyalah Allah. Bukan nabi atau wali. Bukan yang hidup dan bukan pula yang mati. Jika memohon kepada Allah dengan perantara amal perbuatan itu dibolehkan, maka memohon kepada-Nya lewat perantara Nabi Muhammad mestinya juga dibolehkan. Karena beliau adalah makhluk yang paling utama. Sementara amal perbuatan termasuk bagian dari makhluk ciptaan Allah jua.
Allah SWT bahkan memerintahkan kepada hamba-Nya untuk mencari wasilah (perantara) sebagai media untuk mendekatkan diri kepada-Nya. “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (perantara) untuk menuju kepada-Nya” (QS Al-Ma’idah: 35). Ayat ini memerintahkan untuk mencari cara yang dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT. Artinya carilah jalan itu atau sebab-sebab itu maka Allah akan mewujudkan akibatnya.
Jika demikian halnya, maka memohon kepada Allah lewat perantara Nabi Muhammad justru lebih utama. Karena Allah mencintai Nabi Muhammad melebihi makhluk lainnya.
Tawassul itu mengisyaratkan adanya keagungan orang yang ditawassuli untuk memohon kepada Allah. Maka, orang yang bertawassul dengan perantara para nabi dan orang-orang shaleh sebetulnya bertawassul dengan amal-amal mereka yang baik dan dicintai Allah. Dengan demikian, mestinya tidak diragukan lagi bahwa orang yang bertawassul dengan perantaraan orang-orang shaleh sesungghuhnya hanya bertawassul dengan perbuatan atau amal mereka yang baik.