URL: www.pejuangislam.com
Email: editor@pejuangislam.com
 
Halaman Depan >>
 
 
Pengasuh Ribath Almurtadla Al-islami
Ustadz H. Luthfi Bashori
 Lihat Biografi
 Profil Pejuang Kaya Ide
 Imam Abad 21
 Info Asshofwah
Karya Tulis Pejuang


 
Ribath Almurtadla
Al-islami
 Pengasuh Ribath
 Amunisi Dari Tumapel
 Aktifitas Pengasuh
 Perjuangan Pengasuh
 Kalender Ribath
Pesantren Ilmu al-Quran (PIQ)
 Sekilas Profil
 Program Pendidikan
 Pelayanan Masyarakat
 Struktur Organisasi
 Pengasuh PIQ
 
Navigasi Web
Karya Tulis Santri
MP3 Ceramah
Bingkai Aktifitas
Galeri Sastra
Curhat Pengunjung
Media Global
Link Website
TV ONLINE
Kontak Kami
 
 
 Arsip Teriakan Pejuang
 
SETAN BISU & SETAN BICARA 
  Penulis: Pejuang Islam  [7/8/2025]
   
AYOO SHALAT MALAM ! 
  Penulis: Pejuang Islam  [4/8/2025]
   
KOMUNIKASI DI MEJA MAKAN 
  Penulis: Pejuang Islam  [28/7/2025]
   
SUJUD SYUKUR 
  Penulis: Pejuang Islam  [27/7/2025]
   
MENGALAHKAN HAWA NAFSU 
  Penulis: Pejuang Islam  [20/7/2025]
   
 
 Book Collection
 (Klik: Karya Tulis Pejuang)
Pengarang: H. Luthfi B dan Sy. Almaliki
Musuh Besar Umat Islam
Konsep NU dan Krisis Penegakan Syariat
Dialog Tokoh-tokoh Islam
Carut Marut Wajah Kota Santri
Tanggapan Ilmiah Liberalisme
Islam vs Syiah
Paham-paham Yang Harus Diluruskan
Doa Bersama, Bahayakah?
 
 WEB STATISTIK
 
Hari ini: Senin, 22 September 2025
Pukul:  
Online Sekarang: 5 users
Total Hari Ini: 207 users
Total Pengunjung: 6224319 users
 
 
Untitled Document
 PEJUANG ISLAM - MEDIA GLOBAL
 
 
Ukhuwah dan Keterbukaan 
Penulis: Kholili Hasib [29/2/2012]
 
Ukhuwah dan Keterbukaan

 Kholili Hasib

Polemik tentang Syiah -- seperti yang dimuat beberapa kali di Harian Republika -- menunjukkan bahwa penyelesaian masalah Sunnah-Syiah di Indonesia merupakan masalah yang penting. Karena itu, masalah ini menagih solusi secepatnya. Untuk itu, masing-masing pihak, perlu menunjukkan sikap keterbukaan dan kejujuran.

Polemik Haidar Bagir, Muhammad Baharun dan Fahmi Salim, masih belum sepenuhnya menjernihkan masalah, bahkan penulis khawatir memunculkan lagi polemik-polemik yang tidak berkesudahan.

Perlu dipahami, dalam masalah ini tampak ada cara pandang yang berbeda dalam melihat realitas. Misalnya, dalam hal isu tahrif (distorsi) al-Quran. Jelas dalam masalah ini ada pandangan yang bebeda antara Muslim Sunni dan Syiah. Bagi kaum Syiah, isu tahrif al-Quran sudah biasa. Ini tidak perlu disembunyikan, karena banyaknya literatur Syiah yang menyebutkan hal itu, sebagaimana dipaparkan oleh Mohammad Baharum dan Fahmi Salim dan berbagai literatur Syiah yang dianggap otoritatif oleh kaum Syiah.

Bahwa ada sebagian kaum Syiah yang menyatakan tidak adanya Tahrif dalam al-Quran, itu juga fakta. Terlepas dari apakah itu dilakukan untuk “taqiyyah” (menutup keyakinan di tengah pemeluk mayoritas) atau tidak. Tahun 2005, penulis pernah melakukan penelitian langsung ke sebuah pesantren di Jawa Timur, yang dinilai menjadi salah satu pusat pengkaderan penganut Syiah di Indonesia.

Seorang ustad yang penulis temui menyatakan bahwa Syiah meyakini adanya konsep tahrif  dalam al-Quran. Tetapi, ketika digali terus, ia mengaku akan menerbitkan buku tentang ayat-ayat al-Quran yang ia katakan hilang. Namun ide tersebut, menurut pengakuannya, dicegah kawan-kawannya, karena dikhawatirkan akan menimbulkan kisruh di kota tersebut.

Di tengah-tengah diskusi, ia juga melontarkan argumentasi seperti yang ditulis Haidar Bagir di Republika (20/1/2012) dan pada (27/1/2012). Bahwa,  kalangan ulama Sunni juga mengakui adanya ayat-ayat al-Quran yang disebut hilang itu.  Ayat-ayat yang berbau tahrif dinukil dari kitab al-Itqon karya al-Suyuthi dan Shahih Bukhari bab Syahadah.

Inilah duduk persoalannya. Haidar Bagir dan kaum Syiah lainnya memahami hadits-hadits dalam literatur Muslim Sunni tersebut sebagai tahrif  al-Quran. Padahal, para ulama Sunni sudah membahas masalah ini dengan sangat jelas. Bahwa, hadits-hadits itu tidak menunjukkan tahrif al-Quran, tetapi di situ ada konsep nasikh-mansukh, yang hanya terjadi di masa Nabi Muhammad saw. Tidak ada ulama Sunni yang mengatakan adanya tahrif dalam al-Qur’an. Saya kira jawaban saudara Fahmi Salim sudah cukup.

Di sini perlu dibedakan atara tahrif dan nasikh mansukh. Sebab, tampak Haidar Bagir merancukan kedua konsep ini. Dalam konsep nasikh-mansukh, ayat-ayat yang dimansukh, baik dari segi hukum maupun bacaannya, dihapus dalam mushhaf al-Qur’an, bukan atas inisiatif manusia, akan tetapi semata-mata kehendak Allah yang menurunkan al-Qur’an, melalui Nabi-Nya, Muhammad saw. Jadi yang menghilangkan ayat-ayat itu adalah Allah.

Sedangkan Tahrif  berarti adanya perubahan terhadap teks al-Qur’an yang dilakukan oleh manusia, sepeninggal Nabi Muhammad saw.  Biasanya, ini dituduhkan kepada sebagian sahabat Nabi SAW. Konsep Tahrif  ini, sebagaimana diuraikan oleh penulis sebelumnya, sudah sangat biasa dijumpai dalam literatur-literatur Syiah. Dalam literatur Syiah, dari sekian banyak ulama mutaqaddimin, hanya ada tiga ulama  yang berpendapat tidak adanya tahrif dalam al-Qur’an, yaitu al-Shaduq, al-Murtadha dan al-Thabarsi sebagaimana dikemukakan oleh Ni’matullah al-Jazairi dalam al-Anwar al-Nu’maniyyah juz 2 hal. 246.

Hanya saja, menurut al-Jazairi sendiri, ketiga ulama Syiah yang mengatakan tidak adanya tahrif dalam al-Qur’an tersebut sedang bertaqiyyah. Artinya, sebenarnya ketiga orang ulama tersebut juga meyakini adanya tahrif dalam al-Qur’an. Dan memang, keyakinan tahrif itu telah menjadi perkara yang aksiomatis di kalangan Syiah. Imam Khomeini sendiri, yang ditulis oleh Haidar Bagir tidak meyakini tahrif, ternyata  dalam bukunya berjudul al-Qur’an Bab Ma’rifat Allah, halaman 50 meyakini tahrif.

Di dalam kitab al-Kafi terdapat petunjuk anjuran untuk bertaqiyah dalam soal isu tahrif al-Qur’an ini. Dalam kitab tersebut (Juz II)  dikemukakan bahwa suatu kali Abu Abdillah, Imam Syiah, ditanya pengikutnya, “Wahai Aba Abdillah, saya mendengar bacaan al-Quran orang-orang di sana yang tidak sama dengan bacaan yang  kami baca. Sang Imam lantas menganjurkan untuk memakai bacaan orang-orang (bacaan al-Quran kaum muslimin), tetapi dalam hati yakin kelak di hari kiamat Imam terakhir akan membawa al-Qur’an yang asli.”

Tentu, patut disyukuri jika konsep tahrif  al-Quran itu benar-benar sudah ditinggalkan kaum Syiah, bukan sekedar taqiyyah. Dan kaum Muslimin semua menunggu kejujuran, bukan sekedar taqiyyah. Juga, tidak sepatutnya pihak Syiah memaksakan konsep tahrif itu pada kaum Sunni. Sedangkan kaum Sunni sediri sejak dulu hingga kini menolak adanya tahrif dalam al-Quran.

Akhirnya, penulis mengajak kaum Syiah dan Ahlu Sunnah untuk ‘menyimpan’ polemik tentang hal-hal yang sudah berlangsung selama ribuan tahun. Kemudian, kita semua kembali ke pokok masalah untuk menciptakan kerukunan Ahlu Sunnah dan Syiah, sebagaimana yang ditawarkan dalam Jurnal Islamia-Republika (19/1/2012).

Konsep itu juga disetujui Haidar Bagir dalam artikelnya (20/1/2012). Yaitu, untuk menciptakan kerukunan di Indonesia, kaum Syiah bersedia membuang ambisinya untuk men-Syiahkan Indonesia dan meninggalkan caci-maki kepada sahabat-sahabat dan istri Nabi Muhammad saw. Dengan itu, kita semua bisa mengkosentrasikan diri untuk bekerja keras membawa bangsa Indonesia menjadi bangsa Muslim yang kuat dan terhormat. Amin. Wallahu a’lam bil-shawab.

   
 Isikan Komentar Anda
   
Nama 
Email 
Kota 
Pesan/Komentar 
 
 
 
 
Kembali Ke Index Berita
 
 
  Situs © 2009-2025 Oleh Pejuang Islam