ISU NASIONAL & KESADARAN UMAT
Mafahim
Isu-isu nasional dua bulan terakhir -- seperti yang diblow-up media cetak dan elektronik -- cukup menggelisahkan rakyat. Kepres SKB pelarangan Ahmadiyah yang tertunda dan jadi tak jelas, kenaikan BBM, rencana penjualan Krakatau Steel dan Zionisme yang mau beli sebuah koran umat di Jakarta; melengkapi carut-marut persoalan. Umat Islam sebagai mayoritas penduduk, tentu saja menjadi objek kontroversial atas isu-isu tersebut.
Pertama, soal Ahmadiyah, yang sebenarnya sejak lama sudah dinyatakan di luar Islam oleh Rabithah `Alam Islamy (Liga Dunia Islam) itu secara tegas memang sudah lama harus dilarang di sini. Karena Ahmadiyah ini, di tempat kelahirannya sendiri (Pakistan) sudah dilarang. Ketika rencana pelarangan digodok, dengan melibatkan pemerintah, negara-negara Barat seperti Amerika Serikat dan Inggeris keberatan.
Ini justru makin mempertegas kenyataan, bahwa Ahmadiyah ini adalah ’alat’ Barat dan AS untuk ’menggerogoti’ Islam dari dalam. Oleh karena itu tak ada jalan lain, ’benalu’ berbahaya itu harus dipaksa keluar dari tubuh Islam. Pemerintah mesti tahu, bahwa latar belakang historis berdirinya Ahmadiyah disponsori Inggeris untuk kepentingan penjajahan. Dan sengaja doktrin Ahmadiyah disimpangklan, untuk memecah agama Islam yang lahir dari negeri Arab (Nabi mereka dari Pakistan, yang menuntut pengakuan, sebagai nabi dan rasul sesudah Nabi Muhammad SAW).
Kedua, persoalan naiknya BBM (Bahan Bakar Minyak). Sebagai sumber energi yang dibutuhkan masyarakat, maka kenaikan BBM ini sesungguhnya berimplikasi secara luas terhadap kenaikan biaya transportasi dan barang, sementara income masyarakat tidak bertambah.
Itu berarti rakyat harus menanggung ’anggaran’ yang minus. Sementara mereka diminta untuk berhemat, sedangkan pemerintah tidak melakukannya. Malah kenaikan BBM ini, tak saja menambah barisan pengangguran, tetapi juga sekaligus menurunkan klas menengah ekonomi jadi klas bawah (fakir-miskin). Adapun BLT (Bantuan Langsung Tunai) itu hanya diperuntukkan kaum miskin papadengan kriteria ditentukan, berupa uang kontan yang hanya secara konsumtif untuk ’menambal’ kebutuhan sesaat saja (sembari tak memberi pelajaran untuk berusaha). Namun, yang menengah harus kelabakan mencari alternatif untuk bertahan.
Ketiga, masalah penjualan aset-aset bangsa kepada asing yang dinilai para pakar sebagai upaya yang konyol. Cara ini akan memperluas penjajahan ekonomi di negeri ini, yang cepat atau lambat akan menambah penderitaan rakyat ke depan. Jerat-jerat asing yang mengusai hasil tambang strategis bumi pertiwi ini sudah juga menyengsarakan, jika BUMN harus dijual kepada asing, maka pendudukan nusantara poskolonial ini akan lebih dahsyat dari pada penjajah 350 tahun di negeri ini sebelumnya.
Keempat, secara sistematis media asing seperti Robert Murdoch dan ’kawan-kawan’ mereka dari AS dan Barat mengincar Indonesia untuk alasan sekedar berinverstasi, namun punya tujuan untuk menguasai media (cetak dan elektronik). Kabar terakhir, sebuah harian milik umat dibeli sahamnya -- yang tentu tujuannya untuk ’membungkam’ mulut koran itu -- yang selama ini kritis terhadap kebusukan Barat dengan sistem kapitalisme-nya itu. Sehingga melalui dominasi pers dan politik mereka bisa mengendalikan kebijakan yang ada.
Mengapa semua itu terjadi? Semata-mata hal ini dikarenakan kesadaran umat Islam untuk melakukan perlawanan tidak cukup memadai. Bukan perlawanan kontraproduktif, tentu saja, yang pasti akan menimbulkan permasalahan baru bukan solusi yang baik. Akan tetapi yang diperlukan saat ini adalah perlawanan dengan melalui kesadaran atas politik keumatan.
Benar sekali apa yang pernah dikatakan oleh KH Ma’ruf Amin (Ketua MUI Pusat dan Ro’is Mustasyar PKNU) di berbagai kesempatan tabligh beliau. Ulama dan umatnya selama ini dijauhkan dari politik oleh musuh-musuh Islam agar tidak bisa memengaruhi kebjakan publik. Dijauhkan dari politik keumatan, agar mereka bisa memengaruhi parlemen dan kekuasaan. Mereka juga sempat mengisukan bahwa politik itu kotor, ”karena itu ulama dijauhkan dari ranah politik keumatan!”.
Lalu sebagian ulama kita percaya itu, menjauhi politik dan menyerahkan kepada mereka. Keterlibatan umat dalam politik tak lebih sebagai pendukung dan pemberi restu calon-calon penguasa atau ibarat pendorong mobil mogok, yang ketika mobilnya sudah berjalan, pendorong ditinggalkan. Maka ketika para penguasa yang tidak terikat ”kontrak politik keumatan” itu memerintah seenaknya. Kini tinggal para pendukungnya sibuk terkena getahnya. Dan tatkala politik benar-benar kotor, dan umat Islam dimarjinalkan. Barulah timbul kesadaran, bahwa selama ini ulama dan umat kita ternyata telah dipecundangi.