SANG PEJUANG KH. ABDURRAHIM BIN AGUS MATAL
Luthfi Bashori
Sebagai putra seorang tokoh masyarakat di wilayah Sampang Madura, tidak mengherankan jika KH. Abdurrahim mempunyai jiwa perjuangan yang cukup gigih. Apalagi di masa beliau hidup, bangsa Indonesia tengah dikuasai penjajah Belanda.
Hingga perjuangan memerdekakan Indonesia dari cengkeraman Kolonial, terasa dimana-mana mewarnai kehidupan bangsa Indonesia, tidak terkecuali dalam diri KH. Abdurrahim.
Perlawanan KH. Abdurrahim terhadap Belanda yang ditampakkan di tengah kehidupan masyarakat, membawa konsekwensi logis bagi kehidupan diri beliau dan masyarakat yang mengikuti perjuangannya, yaitu menjadi sasaran perburuan Belanda, karena dianggap menentang kebijakan kolonial.
Hingga suatu saat, tatkala suasana terasa genting, KH. Abdurrahim dan beberapa kawan seperjuangan, memutuskan untuk mengungsi ke pulau Jawa. Mereka bersepakat menyeberang selat Madura dengan menggunakan perahu yang telah mereka siapkan.
Setelah menentukan hari dan tanggal pemberangkatan, maka secara diam-diam mereka mempersiapkan perlengkapan-perlengkapan yang mereka butuhkan, baik bekal untuk diperjalanan maupun untuk keperluan di tempat pengungsian.
Mereka pun berangkat berlayar menuju kota Surabaya, untuk selanjutnya mencari tempat pengungsian sesuai dengan daerah tujuan masing-masing.
Pada saat di tengah perjalanan mengarungi selat Madura, tiba-tiba perahu layar yang dinaiki oleh rombongan KH. Abrdurrahim, menjadi oleng hingga terbalik. Hal itu menyebabkan seluruh penumpang jatuh tercebur ke laut.
Namun, kuasa Allah berbicara lain.
Bahaya kematian yang seakan datang di depan mata untuk merenggut nyawa mereka, tiba-tiba saj menjadi sirna tatkala Allah mengirim kepada mereka sejumlah ikan mungsing (satu jenis ikan laut yang dikenal oleh nelayan se tempat), lantas mendorong tubuh para peserta rombongan KH. Abdurrahim hingga ke tepian pantai di wilayah Surabaya.
Atas pertolongan Allah melewati bantuan ikan mungsing itu, mereka lantas bersyukur kepada Allah dan pada saat itu pula mereka bersumpah bahwa mereka dan seluruh anak cucu-nya tidak akan memakan daging ikan mungsing, demi penghormatan kepada para penyelamat nyawa mereka itu.
Sumpah rombongan KH. Abdurrahim ini ternyata berdampak bagi anak turun mereka hingga kini, jika ada di antara anak keturunannya yang memakan daging ikan mungsing, baik sengaja maupun tidak, karena ketidaktahuan, akan berakibat timbul gatal-gatal tetap yang susah disembuhkan, bahkan dapat menjadikan bekas menghitam pada daerah kulit yang gatal itu.
Setelah kejadian itu, KH. Abdurrahim pada akhirnya melanglang buana, dan menemukan tempat pengungsian yang dirasa cukup aman, yaitu di daerah Singosari - Malang - Jawa Timur.
Beliau hidup dan bermasyarakat hingga mempunyai keturunan yang menjadi warga asli Singosari.
KH. Abdurrahim wafat dan di makamkan di Singosari pula, tepatnya di makam pekuburan Kadipaten Singosari. Hingga saat ini makam beliau relatif terawat bersama makam keluarga dari keturunan beliau.
KH. Abdurrahim mempunyai putra bernama Murtadla. Seorang anak yang getol mempelajari Alquran, hingga akhirnya menjadi salah seorang ahli Alquran di wilayah Singosari pada jamannya sampai akhir hayat.