AKAL SEBAGAI MEDIA BANTU
INTERPRETASI WAHYU
Mafahim
Syahdan, segerombolan orang bertandang ke Imam Abu Hanifah Rahimahullah bermaksud untuk menanyakan tentang bukti keberadaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Anehnya, para tetamu tak diundang tersebut mengancam sang Imam manakala jawaban yang dipaparkan nantinya tidak dapat memuaskan hati mereka.
Abu Hanifah pun berkata, “Tunggu dulu, berilah aku waktu sejenak untuk memikirkan kejadian aneh yang baru saja aku dengar!”
Karena didorong rasa penasaran, para tetamu yang berpemahaman ateis itupun tanpa sadar mengalihkan pertanyaannya, “Kalau boleh tahu, apakah kejadian aneh itu?”
Melihat keseriusan mimik para tamunya yang sudah tak sabar menunggu kelanjutan cerita sang Imam, segeralah Abu Hanifah meneruskan perkataan beliau,
“Begini, aku baru saja mendengar ada sebuah perahu yang sarat muatan sedang berlayar, bergerak menuju tempat yang di inginkan, bertepi dan berhenti dengan sendirinya. Sesampai di tempat yang di tuju, barang-barang yang semula berada di dek perahu itu satu persatu menggelinding, tertata di tempat tempat yang di tuju. Padahal tak seorangpun yang menjaganya, mengaturnya, apalagi menjadi nahkoda dari perahu tersebut….”
“Ah, omong kosong!”, belum sempat Imam Abu Hanifah merampungkan ceritanya, dipotong oleh salah seorang di antara mereka,
“Masak, ada perahu berlayar, bertepi, dan menurunkan muatannya tanpa ada yang menurunkan atau mengawasinya? Itu kan tidak masuk akal!”, sergah salah satu dari mereka, yang spontan diamini oleh yang lain. Dengan tegas sang Imam pun menimpali,
“Nah, kalau masalah perahu yang berjalan tanpa nahkoda saja, kalian sudah tidak mempercayainya, bagaimana mungkin alam semesta dengan segala isinya ini bisa terwujud tanpa ada yang menciptakan?”, tegas sangt Imam.
Mendengar penuturan Abu Hanifah sedemikian rupa, mereka terhenyak dan sadar bahwa pemahaman yang selama ini dianutnya adalah salah. Akhirnya para tamu tersebut masuk Islam di bawah bimbingan Imam Abu Hanifah. [Miftah al-Jannah, Sy. Ahmad Masyhur al Haddad, Daar al Hawi, Cet I hal. 48 ].
Suatu hal yang tak dapat terpungkiri dari kisah di atas adalah apa yang dilakukan Abu Hanifah semata-mata merupakan gambaran dari sebuah metode penggunaan nalar atau rasio dalam membangun sebuah keimanan yang kemudian berhasil menyadarkan kaum ateis dari keyakinan sesatnya. Fakta ini semakin memperpanjang daftar bukti konkret bahwa akal pun mempunyai peranan penting dalam memperkokoh keyakinan seseorang tentang adanya Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Langkah brilian Abu Hanifah berdasarkan sumber Islam, al-Qur’an adalah yang kali pertama mengajarkan kepada manusia bagaimana cara mempergunakan akal (rasio) sebagai media penghantar dalam Tsubut al-Iman (memperkokoh keimanan) bagi para pemikirnya.
Allah berfirman: “Yaitu diturunkan dari Allah yang menciptakan bumi dan langit yang tinggi,” (Qs. Thaaha [20]: 4).
Dan dari al-Qur’an pula, umat manusia diwajibkan mempergunakan segala potensi akal sebagai media berfikir tentang tanda-tanda kekuasaan Allah. Hingga pada gilirannya nanti diharapkan dapat melahirkan sikap rusyukhah fid al-din (teguh membaja dalam beragama) bagi jiwa para penelaahnya.
Allah berfirman: “(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha suci Engkau, maka peliharalah Kami dari siksa neraka,” (QS. Ali Imran [03]: 191).
Dalam teologi Ahlussunnah, akal merupakan kekuatan mulia yang dianugerahkan Allah kepada umat manusia. Namun meski demikian, perlu juga difahami bahwa akal tetap bagian dari makhluk (ciptaan) Allah, yang memiliki kapasitas dan kekuatan terbatas. Oleh karena itu, selain kekuatan akal Allah menganugerahkan rujukan lain berupa wahyu yang lebih universal dan mutlak kebenarannya. Dengan demikian kedudukan akal dalam teologi Ahlussunnah menempati urutan kedua setelah wahyu Allah tersebut. Utamanya dalam menentukan hukum, pertimbangan baik atau buruknya sebuah perkara, pahala dan dosa, dan lain sebagainya.
Untuk itu, Ahlussunnah tidak pernah membenarkan metode penggunaan akal melebihi standar dan jangkauan yang dimilikinya. Penggunaan akal secara berlebih sama halnya meletakkan barang pada suatu wadah melebihi kapasitas muatannya. Akhirnya yang terjadi adalah pengingkaran terhadap ayat-ayat Allah, sebagaimana kerap dilakukan oleh kaum Liberalisme.
Sebuah kaidah fiqhiyyah berbunyi,
كُلُّ مَاْ زَادَ عَلَى هَذِهِ انْقَلَبَ عَلَى ضِدِّهِ
“Setiap sesuatu yang melebihi kapasitasnya, pasti akan berbalik (menuai madharatnya).”
Kesimpulannya, akal merupakan anugerah Allah yang diharapkan menjadi penghubung manusia dalam memperkokoh keimanan kepada-Nya. Akal tidak diprogram untuk ‘menjelma’ sebagai penentu layak dan tidaknya hukum Allah ditegakkan di muka bumi ini secara kaffah. Justru akal dicipta sebagai pendukung akan terealisasinya hokum-hukum tersebut dengan pendekatan rasio.
Apa yang dilakukan oleh Abu Hanifah dengan menggunakan al-ra’yu (rasio-akal) dalam istinbath al-hukm (penentuan hukum) semata-mata karena kala itu tidak ditemukan dalil eksplisit dari teks wahyu. Imam Abu Hanifah tidak pernah merubah apa yang telah di putuskan oleh wahyu hanya dengan berdasarkan akal. Wallahu A’lam.