URL: www.pejuangislam.com
Email: editor@pejuangislam.com
 
Halaman Depan >>
 
 
Pengasuh Ribath Almurtadla Al-islami
Ustadz H. Luthfi Bashori
 Lihat Biografi
 Profil Pejuang Kaya Ide
 Imam Abad 21
 Info Asshofwah
Karya Tulis Pejuang


 
Ribath Almurtadla
Al-islami
 Pengasuh Ribath
 Amunisi Dari Tumapel
 Aktifitas Pengasuh
 Perjuangan Pengasuh
 Kalender Ribath
Pesantren Ilmu al-Quran (PIQ)
 Sekilas Profil
 Program Pendidikan
 Pelayanan Masyarakat
 Struktur Organisasi
 Pengasuh PIQ
 
Navigasi Web
Karya Tulis Santri
MP3 Ceramah
Bingkai Aktifitas
Galeri Sastra
Curhat Pengunjung
Media Global
Link Website
TV ONLINE
Kontak Kami
 
 
 Arsip Teriakan Pejuang
 
SETAN BISU & SETAN BICARA 
  Penulis: Pejuang Islam  [7/8/2025]
   
AYOO SHALAT MALAM ! 
  Penulis: Pejuang Islam  [4/8/2025]
   
KOMUNIKASI DI MEJA MAKAN 
  Penulis: Pejuang Islam  [28/7/2025]
   
SUJUD SYUKUR 
  Penulis: Pejuang Islam  [27/7/2025]
   
MENGALAHKAN HAWA NAFSU 
  Penulis: Pejuang Islam  [20/7/2025]
   
 
 Book Collection
 (Klik: Karya Tulis Pejuang)
Pengarang: H. Luthfi B dan Sy. Almaliki
Musuh Besar Umat Islam
Konsep NU dan Krisis Penegakan Syariat
Dialog Tokoh-tokoh Islam
Carut Marut Wajah Kota Santri
Tanggapan Ilmiah Liberalisme
Islam vs Syiah
Paham-paham Yang Harus Diluruskan
Doa Bersama, Bahayakah?
 
 WEB STATISTIK
 
Hari ini: Senin, 22 September 2025
Pukul:  
Online Sekarang: 7 users
Total Hari Ini: 198 users
Total Pengunjung: 6224310 users
 
 
Untitled Document
 PEJUANG ISLAM - KARYA ILMIAH USTADZ LUTHFI BASHORI
 
 
ka 
Penulis: piq [ 11/9/2016 ]
 
ZLAISA KAMITSLIHI SYAIUN

 Luthfi Bashori


Judul di atas adalah cuplikan dari ayat Alquran yang ma`nanya, Allah tidak sama dengan sesuatupun. Karena yang namanya sesuatu itu adalah makhluk, sedang Allah adalah Dzat Yang Maha Pencipta semua makhluk.

maka sangat mustahil jika Sang Pencipta ini sama dengan apa yang diciptakan.

Ilustrasi paling mudah untuk dipahami kalangan awam. Jika ada tukang kayu pembuat kursi, tentu kursi hasil produksinya tidak sama dengan si tukang kayu itu sendiri, baik dari segi bentuknya, warnanya, rasanya (jika ada), serta segala sifat yang melekat pada kursi maupun pada si tukang, keduanya pasti berbeda.

Dalam aqidah Ahlus sunnah wal jama`ah diterangkan, salah satu perbedaan antara Allah dan seluruh makhluk ciptaan-Nya adalah bahwa Allah itu bukanlah Dzat yang tidak membutuhkan makhluk dan sifat-sifat makhluk. Allah tidak butuh tempat, karena tempat itu sendir adalahj makhluk ciptaan Allah.

 Allah juga tidak membutuhkan waktu, Allah tidak membutuhkan arah, dan Allah juga tidak memiliki bentuk jisim/tubuh seperti layaknya sifat makhluk.

 Allah tidak berbentuk kotak seperti almari, Allah tidak berbentuk bulat seperti bumi. Allah tidak berbentuk tinggi seperti tiang listrik. Allah juga tidak pendek seperti pohon jamur, dan Allah tidak memiliki bentuk benda padat lainnya karena Allah bukanlah makhluk seperti benda-benda yang tersebut di atas.


Allah juga tidak memiliki perut seperti perut manusia. Allah tidak memiliki tangan, kaki, mata, kepala, telinga, rambut, dan anggota tubuh lainnya seperti anggota tubuh manusia. Karena Allah tidak sama dengan manusia dan seluruh makhluk ciptaan-Nya. Demikian inilah ma`na yang terkandung dalam ayat laisa kamitslihi syaiun yang diyakini oleh penganut Ahlus sunnah wal jama`ah.

 Berbeda dengan keyakinan Syeikh Ibnu Taimiyah yang menganut faham Tajsiim (bahwa Allah memiliki anggota tubuh seperti yang ada pada sifat manusia/makhluk).

 Jika penganut Ahlus sunnah wal jama`ah menemukan ayat di dalam Alquran yang menyebut lafadz YADULLAH, yang secara arti dalam kamus bahasa adalah tangan Allah, maka Ahlus sunnah wal jamaah harus menta`wili dengan arti: kekuasaan/rahmat Allah.

Berbeda dengan keyakinan Syeikh Ibnu Taimiyah yang mengatakan bahwa Allah benar-benar memiliki tangan seperti yang ada pada tubuh manusia.

Syeikh Ibnu Taimiyah mengatakan tentang peristiwa isra - mi`raj Nabi Muhammad SAW: Sesungguhnya Rasulullah itu diajak oleh Allah untuk duduk bersama di atas Arsy-Nya. Tatkala Allah duduk di atas kursi, terdengar suara kriyet-kriyet seperti suaranya kursi yang masih baru. (kitab Majmu`ul fatawa 5/374, karangan Syeikh Ibnu Taimiyah).

Dalam kitabul asma was sifat halaman 91 karangan Syeikh Ibnu Taimiyah, dia mengatakan: Bahwa Allah itu befsifat diam, tapi sifat diamnya itu kadang-kadang diam dari bicara, kadang-kadang diam dari menjelaskan/mengeraskan suara-Nya.



Pemahaman Syeikh Ibnu Taimiyah semacam inilah yang diikuti oleh Mumammad bin Abdul Wahhab tokoh pencetus aliran Wahhabi, serta para pengikutnya antara lain Muhammad Zainu, yang berkata dalam kitabnya, Majmu`atur rasailit taujihatil islamiyah, cetakan Riyadl, halaman 21 : Sungguh Allah itu berada di Arsy dengan tubuh-Nya, yang terpisah (independen) dari makhluk-Nya.

Tokoh Wahhabi, Hafidz Hukmi juga mengatakan dalam kitabnya Ma`arijul qabul halaman 235 : Sungguh Allah itu turun ke langit dunia (langit yang tampak dari bumi). Pada setiap tingkatan langit ( ada 7 tingkat langit) Allah mempunyai kursi tempat duduk. Jika Allah turun ke langit dunia, maka Dia duduk di kursi-Nya seraya menyelonjorkan tangan (dan kaki)-Nya.

Jika datang pagi hari, Allah naik ke tingkat yang lebih atas, untuk duduk di kursi-Nya.

Aqidah Tajsim ini pada hakikatnya berasal dari keyakinan kaum Yahudi, mereka menyakini bahwa Allah itu berada di suatu tempat, layaknya makhluq yang membutuhkan waktu dan ruang.

Kaum Yahudi mengatakan dalam bagian lembar luar kitab

> Al-ishah, 46 no 3-4 : Aku (Allah) turun bersamamu (Musa) ke Mesir.

> Al-ishah, 19 no 11 : Karena pada hari ke tiga, Allah turun ke gunung Saina dan terlihat oleh semua mata seluruh penduduk (Mesir).

> Al-ishah, 19 no 20 : Dan Allah turun ke gunung Saina sampai di pucuk gunung.

Jadi jelas, keyakinan Syeikh Ibnu Taimiyah dan kaum Wahhabi pada umumnya adalah Bid`ah Dhalalah (sesat) dalam aqidah karena Nabi SAW dan para shahabat tidak meyakini aqidah seperti ini.

 Bahkan ke empat imam madzhab, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi`i dan Imam Ahmad bin Hanbal bersepekat menyikapi aqidah Tajsim: Barang siapa yang menisbatkan anggota tubuh atau menisbatkan keberadaan arah/tempat kepada Dzat Allah, seperti layaknya yang dinisbatkan kepada makhluk, maka orang tersebut telah kufur. (Kitab Minhajul Qawim hal 224, karangan Syeikh Ibnu Hajar Alhaitami).
   
 Isikan Komentar Anda
   
Nama 
Email 
Kota 
Pesan/Komentar 
 
 
 
 
 
Kembali Ke atas | Kembali Ke Index Karya Ilmiah
 
 
 
  Situs © 2009-2025 Oleh Pejuang Islam