BERGURU KEPADA HEWAN
Luthfi Bashori
Adakalanya manusia itu perlu berguru kepada hewan. Barangkali ungkapan ini agak aneh dan konyol tapi nyata. Sebut saja sebuah kemandirian yang dicontohkan oleh seekor hewan kecil, lemah dan hina namun sangat mengagumkan, adalah bagaimana kemandirian seekor laba-laba membangun rumahnya sendiri, tanpa bantuan seorang temanpun. Baik bantuan tenaga sukarelawan maupun tenaga honorer.
Mampukah seorang manusia berlaku mandiri seperti yang dicontohkan oleh laba-laba di atas ? Rasanya demi memupuk sifat kemandirian pada diri manusia, perlu banyak belajar dari kemandirian si hewan laba-laba ini.
Bahkan pada era manusia generasi pertama, mereka juga belajar kepada kalangan hewan.
Sebut saja peristiwa Qabil putra Nabi Adam AS yang membunuh Habil sang adik. Maka sesuai riwayat sejarah, begitu sang adik tewas di tangannya, maka dalam diri Qabil pun timbul ketakutan dan penyesalan, hingga merasa bingung mau dikemanakan jasad sang adik itu.
Dalam kebingungan itulah Allah mengirim seekor burung gagak untuk mengajari Qabil, tentang bagaimana seharusnya memperlakukan jasad Habil, sebagaimana termaktub dalam surat Al-maidah ayat 31 yang artinya:
Maka Allah mengirim seekor burung gagak, yang menggaruk tanah, supaya DIA perlihatkan padanya (Qabil), bagaimana ia harus menyembunyikan jasad saudaranya (Habil). Berkata ia (Qabil): Celaka aku, tak sanggupkah aku berbuat seperti gagak ini sehingga dapat kusembunyikan jasad saudaraku? Kemudian iapun temasuk menjadi orang-orang yang merugi.
Konon bangsa Arab tidak segan-segan menamakan anaknya dengan nama hewan yang dianggap dapat menginspirasikan sifat positif pada anaknya.
Contoh nama-nama anak lelaki adalah Haidar, Fahad, Namir dan beberapa nama yang berarti macan/singa, dengan harapan agar si anak menjadi pemberani seperti sifat macan/singa.
Ada lagi nama Dihyah Alkalbi, artinya Dihyah yang mempunyai sifat anjing.
Aneh dan mengherankan barangkali di telinga kita, jika ada orang memberi nama anaknya, anjing. Karena anjing bisa dikatakan hewan yang paling `dimusuhi` oleh umat Islam karena kenajisannya setara dengan babi.
Bahkan kata-kata `anjing` ini bisa saja berkonotasi jorok jika diucapkan sebagai ejekan kepada orang lain, semisal ada orang yang memanggil temannya : Hai anjing, sini kamu ... !
Tapi dibalik itu semua, Allah menyembunyikan beberapa rahasia yang dapat dijadikan pelajaran bagi manusia, antara lain:
- Anjing sangat setia kepada tuannya.
- Anjing selalu berani berkorban demi keselamatan tuannya.
- Anjing tidak punya rasa takut kepada siapapun, sebesar apapun musuh yang dihadapinya pasti akan dilawan, minimal dengan suara gonggongannya.
- Anjing jika menerkam musuh, maka tidak akan dilepaskannya, hingga dirinya yang menang atau benar-benar kalah.
- dan sebagainya.
Nah, masyarakat bangsa Arab yang konon sering berperang antar suku, berharap anak-anak mereka menjadi pahlawan bagi sukunya masing-masing dengan memberi nama anaknay semisal Alkalbi = bersifat anjing yang seperti tersebut di atas, atau nama-nama sejumlah hewan yang mempunyai sitaf positif lainnya, sesuai kebutuhan mereka.
Coba tengok yang lain lagi, bagaimana persatuan dan kebersamaan lebah dalam membangun rumah sebagai daerah kekuasaannya, bagaimana mereka menjalankan sistem gotong royong dalam menghidupkan suasaana rumah dengan produksi madunya, bagaimana solidnya persatuan mereka saat menjaga rumah dari serangan musuh, bahkan kebersamaan para penghuni rumah lebah, saat harus menyerang musuh yang telah merusak tatanan rumah mereka. Ini adalah pelajaran yang sangat baik bagi kehidupan manusia jika ingin menerapkan sebuah persatuan secara totalitas.
Belum lagi jika menyimak tradisi masyarakat China atau tempat-tempat di mana dipelajarinya ilmu bela diri.
Tak jarang mereka memperagakan jurus-jurus dari perilaku sejumlah hewan yang kerap memberi inspirasi bagi pengembangan kemajuan tehnik bela diri yang mereka kembangkan.
Semua itulah yang dimaksud dengan ungkapan, adakalanya manusia juga perlu belajar dari dunia hewan.