JANGAN BERTENGKAR HANYA KARENA KHILAFIYAH FURU`IYAH
Luthfi Bashori
Sebuah kisah yang dapat diambil hikmahnya adalah, saat terjadi perbedaan pendapat pada pelaksanaan shalat Idul Fitri beberapa tahun silam
Konon, ada sebuah rumah tangga yang terdiri dari suami, istri dan seorang anak lelaki.
Sang suami adalah pengurus MUI, sedangkan istrinya adalah sebagai ibu rumah tangga seperti pada umumnya, dan si anak termasuk salah satu santri dari sebuah pondok pesantren yang cukup terkenal, karena Kiainya adalah pengurus salah satu ormas Islam ternama.
Dalam keseharian, keluarga mereka sangatlah harmonis. Jika sang suami libur kerja, seringkali meluangkan waktunya bersama sang istri untuk menengok anaknya di pesantren, sekaligus sowan dan silaturrahmi kepada Pak Kiai.
Nah, tatkala terjadi perbedaan pelaksanaan Lebaran Idul Fitri, ternyata keluarga ini melaksanakan hari raya selama tiga hari berturut-turut. Sang istri `lebaran` pada hari Ahad, sedangkan si anak lebaran pada hari Senin, dan sang suami lebaran pada hari Selasa.
Tentu saja para tetangganya terheran-heran hingga mereka banyak yang bertanya tentang hal itu. Sebagai kepala keluarga, sang suami yang bertidak sebagai juru bicara pun menerangkan :
Sahabat-sahabat yang dirahmati oleh Allah.
Ketahuilah, tepat pada hari Ahadnya, ternyatan istri saya itu KEDATANGAN BULAN (haid), jadi ia tidak berpuasa atau `lebaran` terlebih dahulu. Sedang anak saya, melaksanakan shalat Idul Fitri pada hari Senin, ikut Pak Kiainya, karena organisasi yang diikuti mengumumkan telah berhasil MELIHAT BULAN (rukyah).
Adapun saya sendiri sebagai pengurus MUI, memilih ikut pengumuman pemerintah yang telah menentukan Hari Raya jatuh pada hari Selasa, sesuai dengan keahlian MENGHITUNG BULAN (hisab),
Jadi perbedaan di antara kami sekelurga hanyalah berkisar pada masalah : KEDATANGAN, MELIHAT dan MENGHITUNG.
Karena itu kami bersepakat untuk tidak mempermasalahkan perbedaan non prinsip itu, apalagi ini hanyalah masalah Khilafiyah Furu`iyah (perbedaan pada cabang-cabang agama), bukan masalah Ushuluddin (keyakinan prinsip atau dasar agama alias aqidah dan ketauhidan).
Alhamdulillah, kami se keluarga merasa berbahagia karena di antara kami, sudah semakin dewasa dalam menyikapi perbedaan non prinsip semacam ini.