A`THI DZA HAQQIN HAQQAH
Luthfi Bashori
Arti judul di atas adalah : Berikanlah sesuatu itu kepada pemiliknya yang berhak.
Maksudnya, hendaklah segala sesuatu itu ditempatkan pada posisi yang sebenarnya. Karena jika tidak pandai-pandai menempatkannya maka seseorang itu dapat terjerumus ke dalam kedhaliman, dan definisi dhalim itu sendiri adalah Wadh`us syai- fi ghairi mahallihi (meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya).
Keharusan meletakkan sesuatu pada tempatnya ini bukan hanya dalam urusan dunia saja, bahkan dalam urusan agama pun harus konsisten menjaga waktu dan tempat yang telah ditentukan oleh syariat.
Mana-mana ibadah yang ada ketentuan waktu khusus, maka harus dilakukan pada waktu khusus itu, contoh ibadah shalat Idul Fitri, harus dilaksanakan pada tanggal 1 Syawwal, dan sebagainya. Sedangkan pada ibadah yang diberi kelonggaran waktu, hendaklah dilakukan sesuai kemampuan dan kelowongan waktunya, contoh ibadah shadaqah dan dzikir kepada Allah, demikian dan seterusnya.
Konon, Imam Al-a`masy ikut shalat berjama`ah dhuhur di masjid di sebuah perkampungan.
Pada pelaksanaan shalat, ternyata sang imam terlalu memperpanjang shalatnya. Maka setelah selesai shalat, Imam Al-a`masy menegur sang imam dengan menyitir makna sebuah hadits Nabi SAW :
Pak, janganlah anda terlalu memperpanjang shalat anda, karena di antara jamaah yang bermakmum kepada anda itu, ada orang-orang yang mempunyai hajat lain, ada orang yang lanjut usia, dan ada yang badannya lemah !
Sang imam yang merasa sudah benar itu menjawab dengan sindiran : Wa innahaa lakabiiratun illa `alal khasyi`in (sesungguhnya shalat itu terasa berat kecuali bagi orang-orang yang khusu`).
Imam Al-a`masy pun menjawab dengan suara lantang : Saya ini adalah utusan orang-orang yang khusyu` itu untuk memberi tahu anda, sesungguhnya mereka tidak membutuhkan ajaran khusyu` itu dari anda.
Sekalipun berjamah shalat adalah ibadah yang sangat diperintahkan oleh Nabi SAW, namun jika Nabi SAW menjadi imam di tempat umum, Beliau SAW tidak terlalu memperpanjang shalat, agar tidak memberatkan para jamaah, namun jika Beliau SAW shalat sunnah sendirian, maka seperti yang diriwayatkan, pada rakaat pertama Beliau SAW membaca surat Albaqarah, Ali Imran dan Annisa.
Sedangkan lama ruku` dan sujudnya sepadan dengan bacaan surat pada rakaat pertamanya itu, demikianlah pada rakaat-rakaat berikutnya.
Jadi waktu pelaksanaan shalat sunnah Beliau SAW sangatlah panjang. Jika tiga surat tadi yang jumlahnya sekitar lima juz itu dibaca tartil seperti kebiasaan Nabi SAW waktu membaca Alquran, maka diperkirakan membutuhkan waktu satu jam untuk menyelesaikannya, bisa dibayangkan betapa lamanya shalat sunnah yang dilakukan Beliau SAW itu.
Jadi, menempatkan kondisi sesuatu pada tempatnya, sesuai kebiasaan yang menjadi pemahaman umum adalah sangat perlu untuk diterapkan dalam segala hal.