Hak Pemerintah Untuk Menetapkan Awal Bulan
Penerapan metode rukyah dan hisab kerapkali memicu perbedaan mendasar dalam penetapan awal bulan Qamariyah. Di kalangan ahli hisab, sedikitnya tercatat 20 metode yang dipakai untuk menentukan dan membantu rukyah. Begitupula di kalangan ahli rukyah, ada banyak perbedaan-perbedaan dalam penerapan rukyatul hilal, yaitu meliputi mathali’ul qashr, wilayatul hukmi, dan mathla’ global.
Tidak jarang, perbedaan ini menimbulkan polemik yang meluas dan tak kunjung reda di kalangan umat Islam. Ketidaksamaan penetapan awal bulan ini selain akibat dari perbedaan dua metode (hisab dan rukyah), juga dipengaruhi pula oleh faktor-faktor eksternal, semisal kebijakan politik, tendesi organisasi, dan paradigma madzhab.
Terkait dengan tema di atas, Mafahim berkesempatan untuk melakukan wawancara dengan beberapa tokoh agama. Di antaranya adalah Habib Thohir al-Kaff tokoh ulama dan habaib dari Tegal, dan Drs. Ustadz Murtadho Amin anggota Badan Hisab Rukyah Departemen Agama Jawa Timur. Berikut komentar mereka.
Prihatin Umat Terpecah di Hari Kemenangan“Sungguh memprihatinkan, ada satu daerah yang melaksanakan puasa, sementara kampung sebelahnya sudah mengumandangkan takbir. Bahkan ada masjid yang jadi rebutan untuk melaksanakan shalat Id. Mengapa di yaumul ja’izah (hari kemenangan), dimana kita saling bersilaturahmi, saling memaafkan, pada saat itu umat terpecah?” ungkap Habib Thohir.
Jika perbedaan penetapan awal Syawal dan Ramadahan ini dibiarkan terus, maka ibarat api dalam sekam. Hal ini akan membuat umat Islam terus menerus terpecah belah. Indikasi ini nampak dari sikap beberapa tokoh maupun ormas Islam yang berjalan sendiri-sendiri dalam melakukan rukyah.
“Mengirim tim rukyah sendiri, kemudian hasil rukyahnya diumumkan kepada kaum muslimin, inilah yang seringkali memicu perselisihan. Para tokoh, ulama, dan ormas hendaknya tidak asal mengeluarkan fatwa dan menyebarkan selebaran. Para pimpinan ormas itu tidak punya hak dalam penentuan awal bulan. Semua itu tanggung jawab pemerintah,” tegas ulama yang juga alumnus Ma’had Sayyid Muhammad al-Maliki Makkah ini.
Beliau sangat menyayangkan pernyataan seorang tokoh yang mengatakan di media pada tahun yang lalu, bahwa sebaiknya pemerintah tidak perlu ikut campur dalam urusan hari raya. “Kalau pemerintah lepas tangan, aturan agama akan rusak.”
Ketika disinggung soal Rukyah Internasional, Habib Thohir menjelaskan bahwa menentukan awal dan akhir bulan harus mengikuti teori ilmu pengetahuan dan logika perjalanan waktu. Waktu antara daerah satu dengan daerah yang lain berbeda, karena perbedaan jarak. Kalau beda mathla’, maka awal dan akhir bulannya berbeda. Selama wilayah itu dalam satu mathla’, hari raya di wilayah tersebut mestinya sama. Bagaimana dengan wilayah Indonesia?
“Negara Indonesia masih dalam satu mathla’, saya pernah ditanya oleh Habib Abdul Qadir al-Jailani dari Makkah mengenai perbedaan waktu antara Sabang sampai Merauke, saya jawab perbedaanya mungkin setengah jam atau satu jam kurang. Beliau kemudian menyatakan wilayah Sabang sampai Merauke masih dalam satu mathla’,” paparnya kepada Mafahim.
Sementara itu Drs. Murtadho Amin (anggota Badan Hisab Rukyah Depag JATIM) menyatakan bahwa penyamaan penetapan awal bulan Qamariyah melalui sisi penyatuan hisab dan rukyah itu sangat sulit dilakukan. Menyatukan antara bermacam metode yang ada di dalam metode rukyah sendiri dan hisab sendiri saja sulit. Oleh karena itu, sebenarnya hanya pemerintah yang dapat menyatukan perbedaan ini. Dalam hal ini ada sebuah kaidah fikih yang menyatakan,
“Keputusan hakim itu bisa meredam perbedaan dan kebiasaan.”
Jadi keputusan hakim (dalam hal ini pemerintah) memiliki kepastian dan mampu menghilangkan perbedaan.
“Negara harus tegas dalam menyikapi perbedaan. Misalnya dengan cara tidak memperkenankan perbedaan. Apabila berbeda maka hal itu melanggar hukum positif. Sekarang kalau pemerintah masih mengakomodasi perbedaan masalah penetapan awal Syawal maupun Ramadhan, dan menyerahkan penyatuannya pada komunitas atau organisasi tertentu, maka hal itu sangatlah sulit. Antara ulama Muhammadiyah dan NU berbeda, antara Hizbut Tahrir dan aliran-aliran keislaman lainnya juga berbeda,” komentar dosen falak di beberapa kampus ini.
“Para ulama memang telah sepakat, bahwa yang memiliki hak untuk menentukan penetapan awal Syawal dan Ramadhan adalah hak pemerintah satu-satunya. Ketegasan dan kebijakan pemerintah sangat diharapkan oleh umat Islam di Indonesia. Agar polemik awal bulan tidak terjadi di tahun-tahun mendatang. Harapannya ukhuwah Islamiyah pun akan semakin erat terjalin di bumi nusantara ini,” harapan ustadz Murtadlo. (Khalili, Ernaz)