MUDIK DALAM TINJAUAN KEAGAMAAN
DAN BUDAYA BANGSA
"Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. Dan di antara manusia ada yang membantah tentang (ke-Esaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa kitab yang memberi penerangan." (QS. Luqman [31]: 20)
Manusia berbeda dengan binatang karena mereka berbudaya atau berbudidaya. Ia memiliki budi yang merupakan paduan antara akal dan perasaan sehingga dapat menimbang antara yang baik dan buruk. Budi memiliki daya berupa kekuatan rasa, karsa (kemauan), dan cipta. Daya itulah yang memberikan kemampuan kepadanya untuk merubah alam kepada yang lebih baik sesuai dengan keinginanya. Ia mampu membudidayakan alam. Ia belajar, berfikir, berkreasi, dan mengembangkan dirinya. Inilah yang dinamakan budaya yang tidak hanya menyerah kepada alam, tetapi menaklukannya dengan menciptakan kreasi-kreasi baru demi kelangsungan hidupnya di muka bumi.
Manusia berbudaya karena kehendak Allah. Ia berkehendak karena kehendak Allah. Ia adalah khalifah Allah di bumi yang di beri mandat untuk mandayagunakan semua ciptaan Allah sesuai dengan kehendaknya.
Allah telah memberikan akal budi kepada manusia untuk membedakan antara baik dan buruk. Ia mempunyai pilihannya sendiri tanpa paksaan dari Allah dan dari siapapun. Tetapi setiap pilihan pasti mempunyai resiko. Bila salah pilih, ia akan celaka, tetapi bila pilihannya benar, maka ia akan selamat. Supaya tidak salah pilih, maka Allah menyuruh manusia untuk mengikuti tuntunan Allah seperti yang dia turunkan kepada Nabi dan Rasul-Nya.
Sebagai bangsa yang beragama dan berketuhanan, Indonesia akan senantiasa melestarikan nilai-nilai budaya yang tidak bertentangan dengan prinsip ketuhanan dan agama. Budaya yang dimiliki bangsa Indonesia juga merupakan warisan luhur nenek moyang. Budaya bangsa Indonesia adalah puncak dari ragam budaya masyarakat, baik yang berlatar kesukuan, ras, geografis, ataupun agama yang ada di seluruh penjuru nusantara.
Budaya bangsa yang rasional dan berdasarkan nilai-nilai agama yang luhur dapat disebut sebagai puncak kebudayaan bangsa Indonesia. Budaya ini memiliki pijakan yang kuat dalam menyongsong Indonesia baru yang lebih baik, adil, dan makmur. Dasar yang kuat tersebut adalah nilai-nilai luhur kemanusian dan ketuhanan yang berasal dari agama yang hanif, yang intinya adalah perpaduan antara pikiran yang cemerlang dan wahyu ilahi. Dua pijakan ini akan melestarikan budaya bangsa dan mencegah kehancuran peradaban. Peradaban yang maju lahir dari budaya yang maju, dan budaya yang maju lahir dari pikiran yang sehat dan wahyu yang benar.
Mudik
Mudik adalah sebuah tradisi yan sudah mengakar bagi masyarakat Indonesia. Hal ini bukan hanya kaum muslim, tapi kaum non muslim juga merasakan imbasnya. Mudik dalam istilah lain disebut pula “pulang kampung”. Namun istilah mudik mejadi spesifik karena tradisi ini lebih akrab dengan pulang kampung dalam rangka menjelang lebaran, hari raya Idul Fitri yang merupakan hari raya kemenangan umat Islam.
Sebagai mana istilahnya, mudik adalah tradisi pulang atau kembali ke kampung atau tanah kelahiran bagi masyarakat yang berada di perantauan. Tradisi ini tidak berarti hanya khusus bagi orang kampung (desa) yang merantau ke kota saja, tetapi juga berlaku bagi orang kota yang sedang merantau ke desa. Kondisi ini biasa terjadi di masyarakat.
Banyak istilah yang sepadan dengan kata-kata mudik, di antaranya adalah istilah gerakan kembali ke desa (GKD). Istilah ini merupakan pengertian unggulan pemerintah dalam rangka meningkatkan proses pemerataan pembanguan dan pemberdayaan potensi desa. Sasaran dari program ini adalah masyarakat pedesaan yang sedang tinggal di kota. Namun, walaupun secara praktis gerakan ini memiliki kesamaan dengan mudik, tetapi menjadi berbeda karena momennya bukan pada saat Idul Fitri. Sehingga gerakan ini tidak serta merta disebut mudik. Dan sebenarnya masih banyak istilah lain yang memiliki bentuk yang sama dengan mudik.
Mudik dilaksanakan oleh umat Islam—juga non muslim—menjelang lebaran sejak pekan-pekan terakhir bulan Ramadhan, nuansa mudik sudah mulai terasa. Arus mudik masyarakat tampak dari meningkatnya calon penumpang transportasi darat, laut, maupun udara. Pemesanan tiket kian waktu kian membludak menjelang Idul Fitri. Tak jarang terjadi antrian panjang para pemudik, baik di saat membeli tiket ataupun pada saat menunggu kendaraan yang akan di tumpangi para pemudik. Hal ini sudah menjadi pemandangn yang tidak asing kita saksikan.
Kepadatan arus lalu lintas darat yang terjadi menjelang lebaran merupakan indikasi lain dari di mulainya arus mudik. Pemudik berjejal-jejal memenuhi sarana transportasi yang ada seperti bus, kereta api, kapal laut, dan sebagainya. Dalam hal tersebut, pihak terkait selalu meningkatkan kinerjanya untuk dapat memberikan pelayanan yang optimal terhadap masyarakat.
Tidak ada data konkrit mengenai asal-muasal tradisi mudik. Namun, secara sepintas dapat dilihat bahwa tradisi mudik adalah cermin budaya bangsa. Karena tradisi mudik dibangun di atas nilai luhur jati diri bangsa dan nilai-nilai agama. Sehingga mudik tetap bertahan dan menjadi tradisi yang terus berlangsung dari waktu ke waktu dan turun temurun.
Dalam sudut pandang agama, mudik adalah cerminan dari pelaksanaan ajaran Islam. Ramadhan bagi umat Islam adalah momentum yang menjanjikan pengampunan dari Allah. Karena kaum muslimin sudah sebulan penuh menjalankan perintah Allah yaitu berupa puasa dan beberapa amal kebaikan lainnya. Namun pengampunan Allah tidak akan diperoleh secara optimal apabila seorang hamba masih menyimpan sisa-sisa dosa dan kesalahan sesama. Dengan demikian seorang hamba yang telah melakukan hubungan baik degan Allah, juga telah mampu menjalin hubungan baik dan memohon maaf kepada sesama. Sehingga ketika menjelang lebaran, seorang muslim betul-betul kembali suci ( Idul Fitri).
Keniscayaan untuk mudik menjadi suatu yang tidak terelakkan karena seorang muslim yang sedang di perantauan memiliki keyakinan yang cukup mantap bahwa manusia yang paling layak, yang pertama, dan utama dimohonkan maaf adalah kedua orang tua. Keduanya sebagai perantara keberadaan manusia di dunia. Maka meskipun menempuh perjalanan yang jauh dan sulit, para pemudik rela hanya demi memohon maaf kepada kedua orangtuanya.
Motivasi silaturrahim juga menjadi tolak ukur dari ritual mudik. Bagaimanapun juga, hidup diperantauan yang jauh dari sanak saudara kerapkali melahirkan kerinduan yang mendalam terhadap mereka yang ditinggalkan. Di samping itu, kemungkinan-kemungkian terputusnya hubungan kekeluargaan bisa saja terjadi karena lamanya tidak berkumpul. Oleh karena itu perlu adanya kunjungan-kunjungan dalam rangka menyambung kembali ikatan kekeluargaan yang hampir terputus karena dibatasi jarak dan waktu.
Spirit silaturrahmi dan saling memanfaatkan dengan sesama menjadi motivator utama dari tradisi mudik, sehingga tradisi ini kian waktu kian marak dan menjadi budaya bangsa. Maka tidak mengherankan apabila suasana seperti ini tidak akan dijumpai di negara-negara (muslim) lain dalam menyambut hari raya Idul Fitri. Tradisi ini kian mendapat tempat di bumi pertiwi kerena esensi dari mudik tidak bertentangan dengan jati diri bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan dan kesatuan.
Dampak lain yang dirasakan dari tradisi ini adalah meratanya tingkat perekonomian, utamanya masyarakat desa. Karena rata-rata para pemudik yang kembali ke tanah kelahirannya adalah putra-putra daerah yang sedang mendulang rizki di kampung orang. Di saat mudik, mereka pulang dengan membawa “oleh-oleh” dari hasil jerih payah mereka selama di perantauan. Dengan demikian, kedatangan para pemudik akan meningkatkan daya beli dan daya jual masyarakat. Hal ini karena adanya konstribusi finansial seiring dengan kedatangan para pemudik. Yang terjadi selanjutnya adalah kesejahteraan penduduk yang diakibatkan oleh stabilnya perekonomian masyarakat.
Selanjutnya, tradisi mudik yang merupakan tradisi bangsa adalah bentuk karya, karsa dan cipta masyarakat dalam mengekspresikan dan mengaplikasikan nilai-nilai agama yang sejalan dengan semangat jati diri bangsa Indonesia yang luhur. Oleh karena itu perlu adanya pelestarian dan pemberdayaan yang optimal. Upaya ini dapat dilakukan dengan pemberian pemahaman yang komprehensif dan intensif tentang esensi dari tradisi mudik. Di samping itu, perlu adanya penyediaan fasilitas yang memadai terkait dengan gelombang mudik masyarakat. Sebab, tidak jarang kita manyaksikan tragedi-tragedi yang bersifat pelayanan publik seiring dengan arus mudik.