IKHTIAR MENURUT ASWAJA, QADARIYAH & JABARIYAH
Luthfi Bashori
Ikhtiar itu berasal dari bahasa Arab yang artinya memilih. Secara istilah, ikhtiar adalah usaha sungguh-sungguh dari seorang hamba untuk memperoleh apa yang ia kehendaki. Orang yang berikhtiar berarti memilih suatu pekerjaan lantas ia melakukan pekerjaan itu dengan sungguh-sungguh, agar mendapat hasil sesuai keinginan. Atau secara ringkas, ikhtiar adalah usaha seorang hamba untuk mencapai apa yang diinginkan, dan tidak tinggal diam atau berpangku tangan, apa lagi lari dari kenyataan.
Dalam Al-Quran telah disitir yang artinya: “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kalian di muka bumi; dan carilah (rezeki) karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya, supaya kamu beruntung.” (QS Al Jumu’ah, 10).
Lafadz dalam Al-Quran, Fantasyiruu fil ardl, yang artinya, "Maka bertebaranlan kalian di muka bumi", adalah perintah dari Allah untuk keluar dari tempat shalat atau kediaman untuk berikhtiar. Sedangkan lafadz, Wabtaghuu min fadlillah, yang artinya, "dan carilah karunia Allah," adalah perintah bekerja mencari rezeki. Sehingga orang yang bekerja mengais rezeki itu termasuk perintah Allah, namun seberapa pun nominal Allah memberi rezeki bagi sang hamba itu, adalah suatu yang sesuai dengan ketentuan Allah, maka seberapa pun seseorang itu mendapat rezeki, wajib untuk menerimanya dengan ikhlas.
Jadi orang yang meyakini bahwa usaha yang dia lakukan sebagai ikhtiar yang akan menghasilkan sesuatu sesuai keinginan, adalah pengamalan dari perintah syariat, demikian juga sikap menerima apa pun yang diberikan oleh Allah sebagai ketetapan, termasuk mengamalkan ajaran syariat.
Kedua bentuk amaliah jawarih (usaha fisik) dan qalbiyah (pasrah hati) ini, sangat kuat saling berhubungan, bukan saling menafikan. Rasulullah SAW dalam menguatkan masalah kewajiban berikhtiar, untuk mendapatkan hasil terbaik sesuai dengan keinginan sang hamba, sebagai berikut:
"Sesungguhnya sebaik-baik yang dimakan oleh seseorang adalah hasil usahanya sendiri dan anaknya termasuk usahanya juga." (HR. An Nasa`i dan Ibn Ḥibban).
Sedangkan tentang adanya campur tangan Allah dalam menentukan nasib seorang hamba melalui taqdir-Nya, maka sesuai dengan hadits berikut:
Kemudian Malaikat Jibril bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku tentang Iman “. Lalu Rasulullah SAW menjawab: “Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya dan hari akhir dan engkau beriman kepada takdir (ketentuan Allah) yang baik maupun yang buruk“ (HR. Muslim).
Keyakinan seperti di atas ini, tiada lain adalah ajaran aqidah Ahlus Sunnah wal Jama`ah. Hal ini sangat berbeda dengar ajaran Qadariyah dan Jabariyah. Dalam ajaran sekte Qadariah, mereka meyakini bahwa segala tindakan atau perbuatan manusia tidak diintervensi oleh ketentuan Allah, jadi murni sesuai dengan usaha manusia itu sendiri secara mandiri. Tentu ajaran ini telah menafikan adanya taqdir dari Allah dalam kehidupan manusia.
Sedangkan dalam ajaran sekte Jabariah adalah kebalikannya, mereka meyakini bahwa segala perbuatan manusia langsung ditentukan oleh Allah, tanpa ada kemampuan manusia untuk berikhtiar sedikit pun, karena itu menurut mereka, jika ada orang yang meyakini dirinya telah berikhtiar dan berusaha sedemikian rupa hingga dapat mencapai cita-citanya, bisa divonis musyrik kepada Allah.