IMAM ABU HANIFAH DAN RASA CINTA
Luthfi Bashori
Suatu saat Imam Abu Hanifah diundang acara aqad nikah oleh sebuah rumah tangga yang memiliki dua orang putri dan dinikahkan secara bersamaan pada hari itu.
Pada saat pelaksanaan aqad, sang ayah yang sekaligus menjadi wali nikah dari kedua putri tersebut mewakilkan kepada pegawai pemerintahan setempat untuk mengaqadkan para calon penganten.
Pelaksanaan taukil wali dilaksanakan di depan para undangan yang hadir, termasuk juga Imam Abu Hanifah. Kemudian sang wali masuk ke dalam rumah, setelah menyerahkan urusan pelaksanaan aqad kepada pegawai pemerintah yang ditunjuk.
Maka dilaksanakanlah aqad nikah sebagaimana pada umumnya.
Prosesi aqad nikah berjalan lancar, meriah namun tetap khusyu`. Karena pegawai pemerintah harus menikahkan dua orang lelaki yang mendapatkan dua orang putri kakak beradik sekaligus, tentu saja membutuhkan ekstra pemikiran.
Setelah prosesi aqad nikah berlangsung, tibalah waktu penyerahan mahar.
Maka diantarlah kedua penganten lelaki itu untuk menemui istrinya masing-masing dengan membawa mahar dan berkas yang telah disiapkan oleh pegawai pemerintah.
Di saat penyerahan mahar dan pengesahan administrasi, terjadilah sedikit kekacauan, karena ternyata si pegawai pemerintah mengalami kesalahan dalam mengaqadkan dan menyiapkan berkas pasangan, yang ternyata terjadi keterbalikan. Kekeliruan ini baru diketahui tatkala sang wali asli, yaitu ayah dari kedua penganten putri ikut mendampingi penyerahan mahar bagi setiap pasangan.
Maka sang walipun keluar dari kamar penganten, untuk menyampaikan permasalahan yang tengah dihadapai itu kepada pegawai pemerintah yang mengaqadkan.
Sayang seribu kali sayang, pegawai pemerintah itu justru merasa gengsi dan tidak ingin repot, iapun mengatakan, karena sudah terlanjur sebaiknya ditetapkan saja sesuai dengan pasangan yang sudah diaqadkan resmi.
Sang wali menjadi jengkel, kemudian meminta fatwa kepada Imam Abu Hanifah tentang masalah yang dihadapinya agar kesalahan ini tidak terus berlanjut dan membawa dampak negatif dikemudian hari.
Imam Abu Hanifah minta ijin untuk memanggil kedua pasangan secara bersama-sama, lantas dengan disaksikan para hadirin, Imam Abu Hanifah menanyakan kepada kedua mempelai lelaki itu tentang wanita mana yang dicintainya.
Setelah kedua mempelai lelaki mengutarakan wanita pilihannya masing-masing, yang memang ada keterbalikan dalam prosesi aqad tadi, maka Imam Abu Hanifah meminta agar setiap mempelai lelaki mencerai istri resminya masing-masing, kemudian akan mengaqadkan ulang sesuai dengan pilihan masing-masing.
Karena kedua mempelai resmi belum pernah berkumpul suami istri, maka tidak ada `iddah dalam perceraian tersebut. Imam Abu Hanifah juga menganjurkan kepada mempelai putri untuk mengembalikan mahar yang telah diterimanya kepada mantan suami resmi masing-masing.
Setelah perceraian dilaksanakan di hadapan para undangan, maka sang wali meminta kepada Imam Abu Hanifah untuk mewakilinya dengan mengaqadkan pasangan kekasih yang sesuai dengan pilihan masing-masing yang menjadi calon yang dicintainya. Sedangkan untuk administrasinya akan diurus belakangan.