HAKIM EMOSI
Luthfi Bashori
Menjadi seorang hakim harus bersikap sangat bijaksana. Tidak layak seorang yang bersifat pemarah dan emosi diangkat menjadi hakim dalam menangani sebuah berkara.
Sekalipun sifat emosi itu sangat manusiawi sekali, namun orang yang sedang emosi tidak akan dapat berbuat bijak dalam menentukan sebuah keputusan.
Karena itulah tidak patut menjadi seorang hakim yang bertugas menangani kasus-kasus yang terjadi di tengah masyarakat sedang sang hakim itu memiliki sifat pemarah dan emosi.
Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah seseorang memutuskan hukum di antara dua orang (yang bersengketa) sedangkan ia dalam keadaan marah (emosi).” (HR. Jamaah Ahli Hadits).
Maksudnya, seseorang yang dalam keadaan emosi tidak boleh memutuskan hukum di antara dua orang yang sedang bersangketa, karena emosi akan membuatnya tidak stabil dan akan mendorongnya untuk memihak kepada salah seorang di antara keduanya, atau bahkan dapat mencelakakan keduanya.
Jika ada di antara para hakim petugas pengadilan dalam kenegaraan, yang ternyata memiliki sifat pemarah dan emosi, maka hendaklah ia mengundurkan diri dari pekerjaannya, agar ia idak mendapat murka dari Allah jika salah dalam memutuskan suatu perkara yang ditanganinya.
Karena hakim yang tidak adil itu diancam neraka, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, "Hakim itu ada tiga macam, (hanya) satu yang masuk surga, sementara dua (macam) hakim lainnya masuk neraka. Adapun yang masuk surga adalah seorang hakim yang mengetahui al haq (kebenaran) dan memutuskan perkara dengan kebenaran itu. Sementara hakim yang mengetahui kebenaran lalu berbuat dzalim (tidak adil) dalam memutuskan perkara, maka ia akan masuk neraka, dan seorang lagi, hakim yang memutuskan perkara (menvonis) karena `buta` dan bodoh (terhadap hukum, termasuk akibat emosi), maka ia (juga) akan masuk neraka." (HR. Abu Dawud).