URL: www.pejuangislam.com
Email: editor@pejuangislam.com
 
Halaman Depan >>
 
 
Pengasuh Ribath Almurtadla Al-islami
Ustadz H. Luthfi Bashori
 Lihat Biografi
 Profil Pejuang Kaya Ide
 Imam Abad 21
 Info Asshofwah
Karya Tulis Pejuang


 
Ribath Almurtadla
Al-islami
 Pengasuh Ribath
 Amunisi Dari Tumapel
 Aktifitas Pengasuh
 Perjuangan Pengasuh
 Kalender Ribath
Pesantren Ilmu al-Quran (PIQ)
 Sekilas Profil
 Program Pendidikan
 Pelayanan Masyarakat
 Struktur Organisasi
 Pengasuh PIQ
 
Navigasi Web
Karya Tulis Santri
MP3 Ceramah
Bingkai Aktifitas
Galeri Sastra
Curhat Pengunjung
Media Global
Link Website
TV ONLINE
Kontak Kami
 
 
 Arsip Teriakan Pejuang
 
SETAN BISU & SETAN BICARA 
  Penulis: Pejuang Islam  [7/8/2025]
   
AYOO SHALAT MALAM ! 
  Penulis: Pejuang Islam  [4/8/2025]
   
KOMUNIKASI DI MEJA MAKAN 
  Penulis: Pejuang Islam  [28/7/2025]
   
SUJUD SYUKUR 
  Penulis: Pejuang Islam  [27/7/2025]
   
MENGALAHKAN HAWA NAFSU 
  Penulis: Pejuang Islam  [20/7/2025]
   
 
 Book Collection
 (Klik: Karya Tulis Pejuang)
Pengarang: H. Luthfi B dan Sy. Almaliki
Musuh Besar Umat Islam
Konsep NU dan Krisis Penegakan Syariat
Dialog Tokoh-tokoh Islam
Carut Marut Wajah Kota Santri
Tanggapan Ilmiah Liberalisme
Islam vs Syiah
Paham-paham Yang Harus Diluruskan
Doa Bersama, Bahayakah?
 
 WEB STATISTIK
 
Hari ini: Senin, 22 September 2025
Pukul:  
Online Sekarang: 7 users
Total Hari Ini: 198 users
Total Pengunjung: 6224310 users
 
 
Untitled Document
 PEJUANG ISLAM - KARYA ILMIAH USTADZ LUTHFI BASHORI
 
 
PIQ & RIBATH, DUA PESANTREN YANG BERBEDA 
Penulis: Pejuang Islam [ 21/6/2022 ]
 
PIQ & RIBATH, DUA PESANTREN YANG BERBEDA

Luthfi Bashori

Mencermati dunia pesantren, tentu tiada habis-habisnya. Karena metode pendidikan kuno ini, ternyata masih banyak sekali diminati oleh masyarakat, bahkan banyak pula dari kalangan mereka yang tetap ingin memondokkan anaknya ke pesantren-pesantren, sekalipun gaya hidup di tengah masyarakat sudah semakin maju dan hedonis.

Sekedar ingin berbagi pengalaman bagaimana sih kronologi sebuah pesantran itu kok bisa berdiri, tentu saja banyak sekali faktornya.

Dulu sewaktu menjelang pulang dari pesantren Makkah (saya masuk Makkah th 1983, pulang th 1991), saya mendengar info, kalau Pesantren Ilmu Al-Quran (PIQ) yang dirintis oleh ayah saya (th 1976), sudah memiliki sekitar 250 santri.

Saya lupa, entah apa yang saat itu saya pikirkan, waktu itu umur saya masih 24 - 26 tahun, hampir setiap kali saya ada kesempatan pergi ke Multazam di Makkah, atau saat ke Raudhah di Madinah, atau saat berada di tempat-tempat yang berbarakah dan mustajab, seringkali saya melantunkan doa, "Ya Allah, jadikanlah saya kelak sebagai orang yang mempunyai pesantren sendiri, khususnya untuk anak-anak santri yang kurang mampu."

Tentu saja redaksi doanya tidak sekaku untaian di atas, namun subtansinya kurang lebih hampir sama seperti itu.

Di sisi lain, guru besar saya, Abuya Assayyid Muhammad bin Alwi Almaliki Makkah, pernah berpesan kepada saya secara pribadi saat menjelang pulang, "Bantu ayahmu mengelola PIQ, minimal dua tahun."

Sesampai di tanah air, saya langsung mengajar sekaligus oleh ayah dilibatkan dalam kepengurusan di PIQ. Hingga berjalan sekitar 5 tahunan, Alhamdulillah saya dapat rezeki dapat membeli sebidang tanah.

Semula saya berencana mendirikan rumah pribadi. Seperti pesan ayah saya, "Kalau sudah berumah tangga, kamu boleh membuat rumah sendiri asalkan tidak jauh dari PIQ."

Tanah yang saya beli itu, jika dijumlah luasnya 500 m2, dan jaraknya dari PIQ sekitar 600 meter, posisinya harus menyeberang jalan propensi Malang - Jakarta, namun masih bisa ditempuh dengan berjalan kaki.

Di awwal memulai pembangunan rumah, saya minta tolong kepada salah satu santri PIQ yang baru selesai kelas 6 Madrasah Diniyah PIQ, untuk menjaga tukang bangunan, termasuk menyediakan makan dan minum.

Setelah beberapa hari berjalan, ternyata santri tersebut mengadu, "Rasanya kurang enak kalau hanya menjaga tukang, tapi tidak ada mengajinya".

Pada hari berikutnya saya membawa kitab Sullamut Taufiq, dan saya ajak santri tersebut mengulangi pelajaran kitab Fiqih yang dikolaborasi dengan Aqidah itu.

Baru dua halaman mengkaji, ternyata ada santri lain seusianya yang semula akan pamitan boyong pulang kampung, minta ijin bergabung ikut mengaji kitab Sullam Taufiq.

Pada bulan berikutnya ada anak kampung di sekitar tanah saya yang ikut daftar mengaji, hingga akhirnya saya dan keluarga harus mengalah, karena semakin banyak anak santri yang minta mondok di rumah saya itu, dan saya beri identitas dengan nama Ribath Almurtadla Al-Islami.

Saya pribadi hanya mengambil lokasi 6 x 10 meter, untuk membuat rumah pribadi bersama istri dan anak-anak, sedangkan selebihnya saya peruntukkan demi kepentingan pesantren.

Bedanya PIQ & Ribath (begitu panggilan familiarnya), jika sejak awwal berdiri PIQ, Ayah saya menerima para pelajar yang sekolah formal untuk mengaji di PIQ (sekolah formal sambil mondok atau mondok sambil sekolah formal), maka saya sengaja tidak menerima santri yang merangkap sekolah formal, tapi hanya menerima santri yang mau mengaji kitab agama saja. Demikian juga pilihan kurikulumnya cukup berbeda.

Walaupun demikian, jadwal saya mengajar dan menjadi Ketua Umum kepengurusan di PIQ, oleh ayah saya tidak boleh ditinggalkan, maka saya harus merangkap jabatan, yaitu:

Pertama: Sebagai Ketua Umum PIQ. Kini jumlah santri semakin bekembang hingga kisaran 500 santri.

Kedua: Sebagai Pengasuh Ribath Almurtadla Al-Islami. Jumlah santri saya batasi hanya menerima sebanyak 25 anak saja, dan rata-rata dari kalangan keluarga yang kurang mampu dari segi finansial.

Pada akhirnya, Ribath pun saya daftarkan secara resmi di Kementrian Agama pada tahun 2000, sebagai tempat pendidikan non formal.

Pada tahun 2020 kemarin, ayah saya dipanggil menghadap Allah SWT, hingga akhirnya saya harus menambah kewajiban sebagai Pengasuh PIQ.

Saya selalu berusaha membuang jauh-jauh rasa capek & lelah, demi melanjutkan perjuangan orang tua dalam mendidik para santri PIQ, di samping ingin tetap dapat mengabdi kepada masyarakat, terutama yang sudah terlanjur menitipkan putra-putranya di Ribath Almurtadla Al-Islami.

Akhirnya, saya selalu mohon doa dari semua pihak, agar tetap dapat beristiqamah dalam mengemban amanat yang mulia ini. Wallahu a`lam.
   
 Isikan Komentar Anda
   
Nama 
Email 
Kota 
Pesan/Komentar 
 
 
 
 
 
Kembali Ke atas | Kembali Ke Index Karya Ilmiah
 
 
 
  Situs © 2009-2025 Oleh Pejuang Islam