|
Pengasuh Ribath Almurtadla Al-islami
Ustadz H. Luthfi Bashori |
|
 |
Ribath Almurtadla
Al-islami |
|
|
Pesantren Ilmu al-Quran (PIQ) |
|
|
|
|
|
Book Collection
(Klik: Karya Tulis Pejuang) |
Pengarang: H. Luthfi B dan Sy. Almaliki |
|
• |
Musuh Besar Umat Islam |
• |
Konsep NU dan Krisis Penegakan Syariat |
• |
Dialog Tokoh-tokoh Islam |
• |
Carut Marut Wajah Kota Santri |
• |
Tanggapan Ilmiah Liberalisme |
• |
Islam vs Syiah |
• |
Paham-paham Yang Harus Diluruskan |
• |
Doa Bersama, Bahayakah? |
|
|
|
WEB STATISTIK |
|
Hari ini: Senin, 22 September 2025 |
Pukul: |
Online Sekarang: 7 users |
Total Hari Ini: 198 users |
Total Pengunjung: 6224310 users |
|
|
|
|
|
|
|
Untitled Document
PEJUANG ISLAM - KARYA ILMIAH USTADZ LUTHFI BASHORI |
|
|
PIQ & RIBATH, DUA PESANTREN YANG BERBEDA |
Penulis: Pejuang Islam [ 21/6/2022 ] |
|
|
PIQ & RIBATH, DUA PESANTREN YANG BERBEDA
Luthfi Bashori
Mencermati dunia pesantren, tentu tiada habis-habisnya. Karena metode pendidikan kuno ini, ternyata masih banyak sekali diminati oleh masyarakat, bahkan banyak pula dari kalangan mereka yang tetap ingin memondokkan anaknya ke pesantren-pesantren, sekalipun gaya hidup di tengah masyarakat sudah semakin maju dan hedonis.
Sekedar ingin berbagi pengalaman bagaimana sih kronologi sebuah pesantran itu kok bisa berdiri, tentu saja banyak sekali faktornya.
Dulu sewaktu menjelang pulang dari pesantren Makkah (saya masuk Makkah th 1983, pulang th 1991), saya mendengar info, kalau Pesantren Ilmu Al-Quran (PIQ) yang dirintis oleh ayah saya (th 1976), sudah memiliki sekitar 250 santri.
Saya lupa, entah apa yang saat itu saya pikirkan, waktu itu umur saya masih 24 - 26 tahun, hampir setiap kali saya ada kesempatan pergi ke Multazam di Makkah, atau saat ke Raudhah di Madinah, atau saat berada di tempat-tempat yang berbarakah dan mustajab, seringkali saya melantunkan doa, "Ya Allah, jadikanlah saya kelak sebagai orang yang mempunyai pesantren sendiri, khususnya untuk anak-anak santri yang kurang mampu."
Tentu saja redaksi doanya tidak sekaku untaian di atas, namun subtansinya kurang lebih hampir sama seperti itu.
Di sisi lain, guru besar saya, Abuya Assayyid Muhammad bin Alwi Almaliki Makkah, pernah berpesan kepada saya secara pribadi saat menjelang pulang, "Bantu ayahmu mengelola PIQ, minimal dua tahun."
Sesampai di tanah air, saya langsung mengajar sekaligus oleh ayah dilibatkan dalam kepengurusan di PIQ. Hingga berjalan sekitar 5 tahunan, Alhamdulillah saya dapat rezeki dapat membeli sebidang tanah.
Semula saya berencana mendirikan rumah pribadi. Seperti pesan ayah saya, "Kalau sudah berumah tangga, kamu boleh membuat rumah sendiri asalkan tidak jauh dari PIQ."
Tanah yang saya beli itu, jika dijumlah luasnya 500 m2, dan jaraknya dari PIQ sekitar 600 meter, posisinya harus menyeberang jalan propensi Malang - Jakarta, namun masih bisa ditempuh dengan berjalan kaki.
Di awwal memulai pembangunan rumah, saya minta tolong kepada salah satu santri PIQ yang baru selesai kelas 6 Madrasah Diniyah PIQ, untuk menjaga tukang bangunan, termasuk menyediakan makan dan minum.
Setelah beberapa hari berjalan, ternyata santri tersebut mengadu, "Rasanya kurang enak kalau hanya menjaga tukang, tapi tidak ada mengajinya".
Pada hari berikutnya saya membawa kitab Sullamut Taufiq, dan saya ajak santri tersebut mengulangi pelajaran kitab Fiqih yang dikolaborasi dengan Aqidah itu.
Baru dua halaman mengkaji, ternyata ada santri lain seusianya yang semula akan pamitan boyong pulang kampung, minta ijin bergabung ikut mengaji kitab Sullam Taufiq.
Pada bulan berikutnya ada anak kampung di sekitar tanah saya yang ikut daftar mengaji, hingga akhirnya saya dan keluarga harus mengalah, karena semakin banyak anak santri yang minta mondok di rumah saya itu, dan saya beri identitas dengan nama Ribath Almurtadla Al-Islami.
Saya pribadi hanya mengambil lokasi 6 x 10 meter, untuk membuat rumah pribadi bersama istri dan anak-anak, sedangkan selebihnya saya peruntukkan demi kepentingan pesantren.
Bedanya PIQ & Ribath (begitu panggilan familiarnya), jika sejak awwal berdiri PIQ, Ayah saya menerima para pelajar yang sekolah formal untuk mengaji di PIQ (sekolah formal sambil mondok atau mondok sambil sekolah formal), maka saya sengaja tidak menerima santri yang merangkap sekolah formal, tapi hanya menerima santri yang mau mengaji kitab agama saja. Demikian juga pilihan kurikulumnya cukup berbeda.
Walaupun demikian, jadwal saya mengajar dan menjadi Ketua Umum kepengurusan di PIQ, oleh ayah saya tidak boleh ditinggalkan, maka saya harus merangkap jabatan, yaitu:
Pertama: Sebagai Ketua Umum PIQ. Kini jumlah santri semakin bekembang hingga kisaran 500 santri.
Kedua: Sebagai Pengasuh Ribath Almurtadla Al-Islami. Jumlah santri saya batasi hanya menerima sebanyak 25 anak saja, dan rata-rata dari kalangan keluarga yang kurang mampu dari segi finansial.
Pada akhirnya, Ribath pun saya daftarkan secara resmi di Kementrian Agama pada tahun 2000, sebagai tempat pendidikan non formal.
Pada tahun 2020 kemarin, ayah saya dipanggil menghadap Allah SWT, hingga akhirnya saya harus menambah kewajiban sebagai Pengasuh PIQ.
Saya selalu berusaha membuang jauh-jauh rasa capek & lelah, demi melanjutkan perjuangan orang tua dalam mendidik para santri PIQ, di samping ingin tetap dapat mengabdi kepada masyarakat, terutama yang sudah terlanjur menitipkan putra-putranya di Ribath Almurtadla Al-Islami.
Akhirnya, saya selalu mohon doa dari semua pihak, agar tetap dapat beristiqamah dalam mengemban amanat yang mulia ini. Wallahu a`lam.
|
|
|
Kembali Ke atas | Kembali Ke Index Karya Ilmiah
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|