Jujur saja, kita sangat prihatin menyaksikan keterpurukan moral generasi muda di tanah air ini. Carut marut wajah pendidikan nasional yang kini dikuasai kaum sekuler, dapat dilihat dari kualitas hasil produknya. Keterpurukan akhlaq dan moral, tidak lagi menjadi prioritas penanganannya. Padahal, mengatasi degradasi moral inilah yang seharusnya diutamakan oleh kalangan pendidikan formal.
Namun, orientasi mereka saat ini, justru hanya pada pendapatan nilai-lah yang ternyata terus dipacu dan ditekankan bagi para siswa. Jadinya, sifat matrealistis semakin mempengaruhi kejiwaan generasi muda, bahkan hal ini sudah sangat menonjol.
Banyak perilaku tidak terpuji dan kebobrokan moral, yang kini rii terjadi di kalangan generasi muda usia pelajar. Sebut saja merajalelanya perilaku free seks di kalangan mahasiswa yang kian marak. Saat ini sudah banyak terjadi perilaku seks suka sama suka, yang kerap kali berlanjut kepada tindak aborsi.
Bahkan tak jarang berita tak sedap tentang maraknya cukong-cukong dan om-om hidung belang, yang dengan mudahnya mendapatkan servis dari para gadis belia setingkat pelajar SLTA. Sebagaimana yang telah dilansir oleh beberapa media cetak seperti Jawa Pos, Surya, Republika serta berita pertelevisian.
Ada juga koran dan majalah yang sengaja merilis berita ini secara berkala. Jadi, berita remang-remang dunia malam yang dilakoni oleh para remaja usia sekolah, sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat.
Belum lagi, mode pakaian dan penampilan bergaya punk dan yang semisalnya, juga ikut mewarnai kehidupan remaja masa kini, mulai dari pelajar usia SLTP hingga perguruan tinggi> Hal semacam ini kerap kali kita saksikan dengan mata kepala sendiri.
Tentunya adat istiadat tersebut bukanlah produk asli Indonesia, apalagi produk agama Islam. Sama sekali tidak. Namun adat ini adalah budaya kaum kapitalis yang berorientasi kepada kehidupan matrealistis, serta budaya westernisasi yang telah menjamur di kalang generasi muda negeri ini, akibat jauhnya mereka dari sentuhan pendidikan rohani. Tak ayal keterpurukan moral ini susah untuk ditangkal, terlebih dunia pendidikan nasional kurang berpihak kepada kultur agama dan budaya ketimuran.
UAN yang antara lain menjadi tolak ukur pendidikan saat ini, tidak memberi ruang gerak bagi para agamawan untuk masuk di dalamnya. Terlebih lagi, para ulama yang seharusnya diberi porsi terbesar dalam membimbing moral generasi muda Islam, malahan dijauhkan dari rana pendidikan formal.
Sebagai bukti kongkrit, dunia pendidikan pesantren, sekalipun sebagai pendidikan tertua di Indonesia, yang telah menelorkan jutaan manusia berpotensi dan beradab dalam menjalani roda perputaran kehidupan bangsa dan negara, sejak sebelum jaman penjajahan hingga saat ini, baik yang bersifat resmi maupun non pemerintahan, sayangnya keberadaan pendidikan sistem pesantren masih dimarginalkan hingga saat ini. Dunia pendidikan formal hanya setengah hati dalam merespon pendidikan pesantren. Padahal dalam data statistik kependudukan nasional, jumlah masyarakat Indonesia yang beragama Islam, sampai detik ini masih menunjukkan data mayoritas, berkat tangan-tangan terampil dari tokoh-tokoh pesantren, dalam melestarikan keislaman masyarakat Indonesia.
Lantas apa kira-kira yang diinginkan oleh pengelola negeri ini, dengan mengedepankan sistem pendidikan kapitalis matrealistis, yang sangat jauh dari nilai-nilai keislaman ?
Sebenarnya, untuk merubah keadaan ke arah yang lebih baik dalam membangun Indonesia Baru, ada solusi yang dapat dilakukan oleh semua pihak.
Bilamana setiap muslim, baik dari kalangan awam maupun yang memiliki jabatan strategis di pemerintahan, lantas bersama-sama melakukan revolusi pendidikan nasional, menuju penggabungan, dengan porsi fifty-fifty antara sistem pendidikan berbasis agama dengan pendidikan basis saint terarah. Adapun yang dimaksudkan adalah terklasifikasinya sistem pendidikan sesuai dengan bidangnya masing-masing namun diimbangi pelajaran berbasis akhlaq keislaman. Jika hal ini dapat dilakukan secara bersama-sama maka keterpurukan moral bangsa ini akan terobati.
Revolusi pendidikan ini sudah harus segera dimulai. Bagi masyarakat muslim kalangan awam, dapat memulainya dengan berkomitmen tidak akan menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah formal yang tidak menyediakan porsi 50 % untuk pelajaran agama. Karena sekokah alternatif dengan penerapan sistem fifty-fifty kini mulai bermunculan.
Sedangkan bagi mereka yang mempunyai kedudukan di pemerintahan, dapat mengambil langkah-langkah strategis secara langsung, untuk menuju sebuah revolusi pendidikan secara menyeluruh. Adapun bagi kalangan pengelola pendidikan formal, hendaklah segera berbenah diri untuk menciptakan lingkungan pendidikan berbasis agama dengan standar saint modern.
Jika semua umat Islam bersepakat dalam hal ini, maka akan terwujudlah Indonesia dengan wajah baru yang modern namun tetap santun dan beradab. Insyaallah.