URL: www.pejuangislam.com
Email: editor@pejuangislam.com
 
Halaman Depan >>
 
 
Pengasuh Ribath Almurtadla Al-islami
Ustadz H. Luthfi Bashori
 Lihat Biografi
 Profil Pejuang Kaya Ide
 Imam Abad 21
 Info Asshofwah
Karya Tulis Pejuang


 
Ribath Almurtadla
Al-islami
 Pengasuh Ribath
 Amunisi Dari Tumapel
 Aktifitas Pengasuh
 Perjuangan Pengasuh
 Kalender Ribath
Pesantren Ilmu al-Quran (PIQ)
 Sekilas Profil
 Program Pendidikan
 Pelayanan Masyarakat
 Struktur Organisasi
 Pengasuh PIQ
 
Navigasi Web
Karya Tulis Santri
MP3 Ceramah
Bingkai Aktifitas
Galeri Sastra
Curhat Pengunjung
Media Global
Link Website
TV ONLINE
Kontak Kami
 
 
 Arsip Teriakan Pejuang
 
SETAN BISU & SETAN BICARA 
  Penulis: Pejuang Islam  [7/8/2025]
   
AYOO SHALAT MALAM ! 
  Penulis: Pejuang Islam  [4/8/2025]
   
KOMUNIKASI DI MEJA MAKAN 
  Penulis: Pejuang Islam  [28/7/2025]
   
SUJUD SYUKUR 
  Penulis: Pejuang Islam  [27/7/2025]
   
MENGALAHKAN HAWA NAFSU 
  Penulis: Pejuang Islam  [20/7/2025]
   
 
 Book Collection
 (Klik: Karya Tulis Pejuang)
Pengarang: H. Luthfi B dan Sy. Almaliki
Musuh Besar Umat Islam
Konsep NU dan Krisis Penegakan Syariat
Dialog Tokoh-tokoh Islam
Carut Marut Wajah Kota Santri
Tanggapan Ilmiah Liberalisme
Islam vs Syiah
Paham-paham Yang Harus Diluruskan
Doa Bersama, Bahayakah?
 
 WEB STATISTIK
 
Hari ini: Senin, 22 September 2025
Pukul:  
Online Sekarang: 5 users
Total Hari Ini: 208 users
Total Pengunjung: 6224320 users
 
 
Untitled Document
 PEJUANG ISLAM - MEDIA GLOBAL
 
 
Mengagungkan Bukan Berarti Menuhankan 
Penulis: Mafahim [6/12/2010]
 
Mengagungkan
Bukan Berarti Menuhankan

Mafahim

Mengagungkan sesuatu bukan berarti menuhankannya. Itu yang perlu dipahami. Sebab banyak orang yang keliru memahami hal ini. Dengan gegabah dia beranggapan bahwa setiap perbuatan yang sifatnya mengagungkan sesuatu, maka pada saat yang sama dia telah menuhankan sesuatu tersebut. Masalah ini perlu didudukkan secara proporsional. Agar tidak terjadi kerancuan pemahaman.

Dalam tradisi keberagamaan masyarakat kita, banyak sekali dijumpai ekspresi-ekspresi yang berpijak pada masalah etika atau sopan santun. Misalnya, berdiri ketika ada orang yang datang, mencium tangan para ulama, mengagungkan Rasulullah SAW. Ekspresi pengagungan atau ta’dzim kepada Rasulullah juga beragam. Ada yang menyebut nama beliau dengan sebutan sayyidina, maulana, habibuna, dan sebagainya. Adapula yang berdiri di hadapan makam beliau saat berziarah. Hal ini dilakukan dalam ranah etika atau sopan santun (adab).

Akan tetapi, ekspresi semacam ini dianggap berlebihan oleh sebagian kelompok, karena akan menyeret pada penyembahan terhadap sesuatu yang selain Allah (syirik). Sehingga ketika dia berdiri di hadapan makam Rasulullah, diklaim bahwa pada saat itu dia menyembah Rasulullah SAW. Begitupula ketika berdiri karena ada orang yang datang, dianggap telah mengkultuskan orang tersebut. Na’udzubillah.

Pemahaman gegabah ini adalah pemahaman yang kerdil. Ini adalah pola paradigma membingungkan yang tidak diridhai Allah dan Rasulullah SAW. Sungguh hal ini sangat menyusahkan diri sendiri dan jauh dari nilai-nilai spirit syariat Islam, yang kaya akan etika dan moralitas.

Untuk menjlentrehkan masalah ini, baiklah berikut akan dipaparkan beberapa ilustrasi dapat mendudukkan masalah ini pada porsinya.

Nabi Adam adalah manusia pertama dan hamba Allah yang shalih. Nabi Adam bukanlah tuhan, bukan pula malaikat. Akan tetapi atas kehendak Allah  jua, para malaikat diperintahkan untuk bersujud kepadanya sebagai bentuk penghargaan dan pengagungan atas ilmu pengetahuan yang diberikan Allah kepada Nabi Adam AS. Hal ini sekaligus sebagai proklamasi dari Allah kepada para malaikat atas dipilihnya Nabi Adam bukan dari jenis makhluk Allah yang lain. Allah berfirman,

“Dan (ingatlah), tatkala Kami berfirman kepada para malaikat, ’Sujudlah kamu semua kepada Adam!’ Lalu mereka bersujud kecuali iblis. Iblis berkata, ’Apakah aku akan sujud kepada orang yang Engkau ciptakan dari tanah?’” (Qs. Al-Isra’ [ ]: 61)
Dalam ayat lain Allah berfirman :

“Iblis menjawab, \"Saya lebih baik daripadanya. Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.’” (Qs. Al-A’raf [ ]: 12)

Para malaikat mengagungkan makhluk yang diagungkan Allah akan tetapi iblis menolak untuk sujud. Karena Adam tercipta dari tanah. Sementara iblis terbuat dari api. Iblis merasa bahwa api lebih mulia darti tanah. Iblis adalah yang pertama kali menggunakan analogi akalnya dalam memahami perintah Allah Azza wa Jalla.

Pada saat itu iblis berkata, “Saya lebih baik dari Adam.” Alasannya, ia tercipta dari api sedang Adam dari tanah. Ia enggan menghormati Nabi Adam dan menolak bersujud kepadanya. Iblis adalah makhluk angkuh pertama dan menolak mengagungkan makhluk yang diagungkan Allah. Akibatnya ia dijauhkan dari rahmat Allah karena keangkuhannya.

Sikap iblis pada dasarnya adalah wujud kecongkakannya kepada Allah SWT. Sujud kepada Adam hanyalah sebagai bentuk penghormatan kepadanya. Iblis adalah makhluk yang meng-esa-kan Allah, namun ketauhidannya tidak berguna sama sekali akibat menolak bersujud kepada Adam.

Pada ayat yang lain, Allah juga menjelaskan pengagungan terhadap orang-orang shalih. Sebagaimana ayat yang terkait dengan Nabi Yusuf AS.

Dan ia menaikkan kedua orangtuanya ke atas singgasana. Dan mereka (semuanya) merebahkan diri seraya sujud. (Qs. Yusuf [ ]: 100)

Sujud dalam konteks ini adalah sebagai ungkapan penghargaan dan pemuliaan terhadap Nabi Yusuf AS  atas saudara-saudaranya. Sujud dengan menyentuh tanah yang dilakukan saudara-saudara Nabi Yusuf ditunjukkan oleh kalimat وخروا . Barangkali dalam syariat saudara-saudara Yusuf, ekspresi sujud dengan cara seperti itu diperbolehkan dan tidak termasuk menuhankan.

Selanjutnya, jika kepada para hamba yang shalih, Allah berkehendak untuk menyuruhnya bersujud sebagai rasa takdzim dan penghormatan, tentu hal ini lebih layak dan pantas jika ekspresi itu dilakukan kepada hamba pilihan sekaligus kekasih Allah, yaitu Baginda Rasulullah. Di mana Allah memuji beliau di beberapa ayat.
 
“Sesungguhnya Kami mengutus kamu sebagai saksi, pembawa berita gembira, dan pemberi peringatan. Supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan (agama)Nya dan mengagungkan-Nya serta bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang.” (Qs. Al-Ahzab [ ]: 8-9).


“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului Allah dan Rasul-Nya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. Al-Hujarat [ ]: 1)

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian meninggikan suaramu melebihi suara Nabi. Dan janganlah kalian berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain. Supaya tidak terhapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari. Sesungguhnya orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah, mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa. Bagi mereka ampunan dan pahala yang besar. Sesungguhnya orang-orang yang memanggil kamu (Muhammad) dari luar kamarmu, kebanyakan mereka tidak mengerti.” (Qs. Al-Hujarat [ ]: 2-4)

“Janganlah kalian jadikan panggilan Rasul di antara kalian seperti panggilan sebagian kalian kepada sebagian (yang lain). Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang yang berangsur-angsur pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya). Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (Qs. An-Nur [ ]: 23)

Allah juga mengajarkan agar apabila berhadapan dengan Rasulullah, dilarang berbicara mendahului beliau. Ini tidak sopan dan menyalahi etika. Sahl bin Abdillah berkata,” Janganlah kamu berkata sebelum Rasulullah berbicara. Dan jika beliau berbicara maka dengarkanlah dan perhatikanlah.”

Para sahabat dilarang untuk mendahului dan mengutamakan kepentingan mereka sendiri sebelum kepentingan Rasulullah terpenuhi. Juga dilarang mengeluarkan fatwa apapun baik perang atau urusan lain yang menyangkut agama tanpa perintah Rasulullah SAW. Allah memperingatkan mereka untuk tidak melanggar larangan di atas.

Selanjutnya Allah juga melarang melantangkan suara melebihi suara Rasulullah. Dilarang pula berbicara keras dengan Rasulullah sebagaimana mereka berbicara kepada sesamanya. Menurut versi lain, dilarang memanggil nama Rasulullah dengan nama atau panggilan yang seringkali diucapkan di antara para sahabat. Atau memanggil Rasulullah langsung dengan nama beliau, seperti, “hai, Muhammad”. Ini adalah jambal.

Abu Muhammad Makki mengatakan, “Janganlah kalian berkata sebelum beliau. Jangan pula mengeraskan ucapan dan memanggi beliau dengan namanya sebagaimana panggilan kalian dengan yang lain. Tapi agungkanlah, hormatilah, dan panggillah beliau dengan panggilan paling mulia yang beliau senang dengan panggilan tersebut yaitu, ‘Wahai Rasulullah’ dan ‘wahai Nabiyyallah’.

Selanjutnya Allah memperingatkan bahwa amal perbuatan mereka akan hangus jika melanggar larangan di muka. Lalu Allah pun mengecam tindakan mereka sebagai kebodohan dan menggambarkan bahwa kebanyakan mereka tidak berakal.

‘Amr ibn ‘Ash berkata, “Tidak ada orang yang lebih kucintai melebihi Rasulullah dan di mataku tidak ada yang lebih agung melebihi beliau. Saya tidak mampu memandang beliau dengan memandang langsung, karena semata-mata saya sangat menghormati beliau. Jika saya ditanya untuk menyifati beliau, saya tidak akan mampu menjawab. Sebab saya tak sanggup memandang beliau dengan pandangan langsung.” (HR Muslim dalam Kitabul Iman, bab Kaunul Islam Yahdimu Maa Qablahu.)

Imam at-Turmudzi meriwayatkan dari Sayyidina Anas ra., bahwa Rasulullah keluar menemui sahabat Muhajirin dan Anshar yang sedang duduk. Di antara mereka terdapat Abu Bakar dan Umar. Tidak ada yang berani memandang beliau dengan wajah terangkat kecuali Abu Bakar dan Umar. Keduanya memandang beliau dan beliau memandang keduanya. Mereka berdua tersenyum kepada beliau dan beliau juga tersenyum kepada mereka.

Usamah ibn Syuraik meriwayatkan, ” Saya mendatangi Rasulullah yang sedang dikelilingi para sahabat. Seolah-olah di atas kepala mereka dihinggapi burung.” Begitulah ilustrasi interaksi Rasulullah di tengah-tengah para sahabatnya. ”Jika beliau berbicara para pendengar yang duduk di sekeliling beliau, menundukkan kepala, seolah-olah di atas kepala mereka dihinggapi burung.”

Saat Urwah ibn Mas’ud menjadi duta Qurays waktu mengadakan perjanjian, dia mendatangi Rasulullah dan melihat penghormatan para sahabat kepada beliau. Ia melihat jika Rasulullah berwudlu, maka para sahabat akan segera berebutan mengambil air wudlu beliau. Bila beliau meludah atau membuang dahak, mereka akan meraihnya dengan telapak tangan mereka. Lalu digosokkan pada wajah dan badan mereka. Kalau ada sehelai rambut beliau yang jatuh mereka segera mengambilnya. Jika Beliau memberi instruksi mereka segera mengerjakanya. Bila Beliau berbicara mereka merendahkan suara mereka. Mereka tidak berani memandang tajam Beliau, karena sangat menghormatinya.

Ketika Usamah bin Syuraik kembali kepada kaum Quraisy, ia berkata, “Wahai orang-orang Quraisy saya pernah mendatangi Kisro di Persia, mendatangi Kaisar Romawi, dan Raja Negus di Habasyah. Demi Allah, saya belum pernah sekalipun melihat raja bersama kaumnya sebagaimana Muhammad bersama para sahabatnya.”

Dalam riwayat lain disebutkan, ”Saya belum pernah sekalipun melihat raja yang dihormati pengikutnya sebagaimana para sahabat menghormati Nabi. Sungguh saya telah melihat kaum yang tidak akan membiarkan Beliau dalam bahaya selamanya.”

Usamah bin Syuraik bercerita, “Kami sedang duduk-duduk disamping Nabi seolah-seolah diatas kepala kami hinggap burung. Tidak ada seorangpun diantara kami yang berbicara. Tiba-tiba datang beberapa orang pada Nabi lalu mereka bertanya, ’ Siapakah hamba Allah yang paling dicintainya?’ Nabi menjawab, ’Yang paling baik budi pekertinya.’”

Abu Ya’la meriwayatkan dari Al-Barra’ ibn ‘Azib, “Sungguh aku ingin sekali menanyakan sesuatu kepada Rasulullah. Namun aku menundanya selama dua tahun semata-mata karena segan.”

Al-Baihaqi meriwayatkan dari Al-Zuhri, “Seorang Anshar yang tidak saya ragukan bercerita kepada saya, bahwa Rasulullah SAW jika berwudhu’ atau mengeluarkan dahak, serta merta para sahabat berebutan mengambil dahak beliau. Kemudian diusapkan pada wajah dan kulit mereka.’ Rasulullah bertanya, ’Mengapa kalian berbuat demikian?’ Mereka menjawab, ’Kami mencari berkah darinya’. Lalu Rasulullah bersabda, ’Barangsiapa yang ingin dicintai Allah dan Rasul-Nya, maka berkatalah yang jujur, sampaikanlah amanah, dan jangan mengganggu tetangganya.”

Syahdan. Ada dua poin penting yang harus dipahami secara cermat. Pertama; kewajiban menghargai dan meninggaikan derajat Rasulullah di atas semua makhluk. Kedua; pengesaan Allah disertai keyakinan yang mantap bahwa Allah berbeda dengan makhluk, baik dari sisi dzat, sifat, maupun af’al (perbuatan).

Barangsiapa meyakini adanya kesamaan makhluk dengan Allah dalam aspek, ini maka ia telah menyekutukan Allah sebagaimana orang-orang musyrik yang meyakini ketuhanan dan penyembahan terhadap berhala. Dan siapapun yang merendahkan Rasulullah dari kedudukan semestinya maka ia berdosa atau kafir.

Penghormatan terhadap Rasulullah, dengan berbagai bentuk ekspresinya yang berlebihan tidak akan menodai eksistensi Tuhan. Selama dalam penghormatan tersebut tidak dicampuradukkan dengan keyakinan bahwa Rasulullah memiliki unsur-unsur ketuhanan, dalam sifat, dzat, dan perbuatan, maka penghormatan tersebut berada pada jalur yang benar. Pada saat yang sama, si pemuji telah menjaga aspek ketuhanan dengan porsi kerasulan yang pas. Ini adalah sikap yang ideal.

Bila ada sebagian orang mukmin yang menyandarkan sesuatu kepada selain Allah, maka hendaklah dipahami bahwa penyandaran itu tak lebih dari sekedar penggunaan majaz ’aqli, majaz hiperbolis. Dan model majaz seperti ini juga kerapkali digunakan dalam al-Qur’an. Sehingga tidak ada ruang bagi siapaun untuk mengkafirkan orang yang menggunakan majaz ‘aqli, selama tidak secara nyata dia menuhankan sesuatu selain Allah.

Maka, pujilah Rasulullah setinggi engkau memuji. Karena hal itu takkan takkan menyeret sang pemuji pada kesyirikan dan kekafiran.

   
 Isikan Komentar Anda
   
Nama 
Email 
Kota 
Pesan/Komentar 
 
 
 
 
Kembali Ke Index Berita
 
 
  Situs © 2009-2025 Oleh Pejuang Islam