Jangan Main-Main Dengan Tuhan!
BANG OEMAR
Bencana yang melanda bangsa Indonesia akhir-akhir ini tak ubahnya dengan fenomena Piala Dunia, sulit diprediksi. Ketika para pegiat bola memprediksikan kemenangan Brazil atas Prancis, ternyata meleset. Begitu pula saat Jerman menjamu Italia, lagi-lagi kemenangan diluar perkiraan. Semua terjadi tanpa diduga.
Seperti itulah rentetan bencana yang melanda bangsa kita. Ketika gelombang Tsunami melanda tanah Rencong, masyarakat dekat pantai, utamanya pantai selatan dilanda kekhawatiran mendalam. Sebab titik gempa Tasunami berada dilepas pantai. Namun, ketakutan itu tidak mampu menghalang Kuasa Allah untuk menunjukklan kehendak-Nya yang Absolut. Bencana berikutnya justru terjadi di daerah pegunungan. Banjir dan longsor menerjang beberapa dataran tinggi, seperti Jember dan Situbondo yang disebabkan oleh penebangan dan pembalakan liar (illegal logging).
Episode berikutnya, bencana masih terus bermain di daerah pegunugan, yaitu di wilayah Trenggalek yang tidak ada keterkaitan sama sekali dengan “pantai" yang ditakutkan sebelumnya. Bencana di wilayah pegunungan pun semakin menjadi dengan kondisi Merapi yang menampakkan gejala akan memuntahkan “isi perut”nya. Semua warga dievakuasi untuk menghindari jatuhnya korban. Sebab Merapi sudah dalam kondisi yang mengkhawatirkan.
Namun, lagi-lagi prediksi itu meleset. Disaat warga Jogja dan sekitarnya dicekam ancaman Merapi, ternyata Yang Kuasa berkehendak lain. Jogja diguncang oleh gempa yang titik pusatnya justru berada di lepas pantai, tanpa ada kaitannya dengan gunung Merapi. Lagi-lagi kita manusia pasrah!
Ditengah ancaman gunung meletus dan goncangan gempa yang menghantui warga di wilayah bencana, tiba-tiba bangsa ini dikejutkan oleh banjir lumpur di Sidoarjo. Secara sepintas, bencana ini adalah kesalahan tehnis perusahaan terkait. Namun apabila diamati, sepertinya ada faktor lain yang mengitari bencana ini, yaitu kenyataan yang diluar prediksi yang memang hendak di"pertontonkan" oleh Yang Kuasa. Barangkali, tak pernah terpikirkan, Porong Sidorajo yang berada jauh dari perkiraan terjadinya bencana alam, seperti laut dan gunung, ternyata menyimpan potensi bencana, banjir lumpur!
Setiap bencana yang melanda, ada yang berkaitan dengan ulah manusia, ada yang memang murni Kehendak Yang Kuasa. Tinggal dari perspektif mana manusia menilai. Tetapi yang perlu ditegaskan bahwa Allah tidak pernah dzalim terhadap hamba-Nya. Inilah kata kunci yang harus dijadikan instrumen dalam menyikapi setiap fenomena alam.
Semua yang terjadi tidak lepas adanya sebab akibat (kausalitas) yang bisa saja terjadi karena ulah manusia terhadap alam, atau manusia dengan Tuhan. Membaca sebab dari akibat yang terjadi, jangan sampai gegabah dan terjebak dengan menyalahkan orang lain. Tetapi ada baiknya kita mulai dengan menilai diri kita sendiri. Sebab segala yang kita perbuat pasti memiliki dampak buat sekitar kita, kendati dalam skala individu.
Selama ini kita seringkali menyalahkan orang lain, baik secara perseorangan atau perseroan (kolektif) sebagai penyebab setiap bencana. Padahal, jangan-jangan kita sendiri penyebab utamanya.
Secara teologis, ada beberapa perbuatan (dosa) kecil yang dilakukan oleh individu namun menyimpan potensi dampak yang sangat besar yang melebihi perbuatan dosa kolektif, yaitu perbuatan dosa besar yang menyebabkan kemurkaan Tuhan. Apalagi perbuatan tersebut didemontsrasikan secara massal, bukankah akan menimbulkan dampak yang lebih besar pula? Perbuatan dosa kecil yang dipublikasikan, atau dosa besar yang dilakukan oleh seseorang dan menganggapnya suatu perbuatan baik, tanpa merasa bersalah, semua itulah pemicu kehancuran dunia akhirat.
Terkait dengan fenomena bencana negeri ini, ada kesalahan tehnis dalam menyikapi sebuah bencana. Maunya sih membantu saudara yang terkena bencana dengan dalih “amal” yang pada dasarnya bernilai ibadah. Namun “amal “ tersebut dikemas dalam nuansa yang keluar dari kriteria kebaikan secara syariat dan justru “memancing” bencana berikutnya. Yaitu dengan mencampur adukkan amal sholehnya dengan pernik-pernik kemaksiatan. Akibatnya, para simpatisan yang awalnya menjadi penonton dan penyumbang, selanjutnya mereka ditonton dan disumbang. Mulanya mereka ingin berkorban, sekarang mereka sendiri menjadi korban. Lagi-lagi karena kita “salah” dalam “menyikapi”.
Secara akal, menyumbang itu adalah wujud solidaritas kemanusiaan yang bernilai ibadah dan berpahala. Tetapi, apabila diikuti dengan perbuatan fasik dan kemaksiatan, maka kebaikan akan ternoda. Namun, kadang kita tetap memaksakan diri dengan barometer akal, bahwa perbuatan itu adalah baik. Hanya saja, Allah tidak dapat dipaksakan dengan akal kita. Buktinya, bencana yang Dia tumpahkan pun, sama sekali di luar jangkauan akal manusia. Lalu, mengapa kita mau menyerang ketentuan (syariat) Tuhan dengan akal kita yang serba terbatas, bahkan untuk ukuran bencana sekalipun?
Ironisnya, kemaksiatan tersebut justru didemonstrasikan dengan mengajak dan mengiklankan tanpa ada perasaan malu dan berdosa. Diperparah lagi dengan statemen, “yang penting kan niat!”. Lagi-lagi, ia mencoba "main-main" dengan ketentuan Tuhan yang Maha berkuasa atas segala bencana. Allahu Akbar! Termasuk dosa besar adalah menganggap remeh dosa kecil, apalagi dosa itu memang besar lalu dipublikasikan. Jangan salahkan Tuhan bila bola bencana menggelinding tanpa prediksi.
Disaat ada kelompok tertentu melakukan aksi amar makruf nahi mungkar, mereka disebut sebagai premanisme, teroreisme, radikalisme atas nama agama atau pahlawan berjubah. Padahal ada aksi yang justru menjadi pemicu bencana, yang lebih radikal, lebih preman, lebih ekstrim, lebih teroris, yaitu kemaksiatan atas nama kemanusiaan dan kefasikan atas nama agama.
Mereka layak disebut pecundang berlagak kiai. Ini sebenarnya pemicu bencana yang tidak hanya melanda infrastruktur suatu bangsa, tetapi moralitas sebuah generasi. Mereka telah melakukan teror akidah, premanisme moral, dan radikalisme serta kemaksiatan demonstratif berlabel agama. Maka jangan disalahkan kalau aksi mereka mengundang keprihatinan pengusung amar makruf nahi mungkar untuk kemudian melakukan aksi penyeimbang.
Bencana yang selama ini melanda, masih dalam tataran fisik dan infra sutruktur sebuah negeri atau wilayah. Bukankah ada potensi bencana yang lebih dahsyat dari itu, yang meluluhlantakkan secara perlahan namun pasti, yaitu kegoncangan jiwa dan ambruknya pertahanan moralitas serta spritualitas sebuah bangsa. Semua ini bukan kesalahan tehnis manajerial ataupun pemberdayaan alam, tetapi akibat dari perbuatan maksiat yang kemudian didemonstrasikan. Apalagi berdalih “kebaikan”.
Saatnya kita instropeksi. Jika hanya kesalahan tehnis, baik berupa pemberdayaan alam, atau manajemen perusahaan yang error, bisa dimusyawarahkan dan disikapai dengan manajemen operasioanl dan hubungannya dengan sesama kita manusia. Tetapi, bila keteledoran menyangkut hak-hak Allah, selayaknyalah kita taubat. Jika tidak, kemurkaan berupa bencana akan datang lagi tanpa perkiraan akal
Sebelum bencana babak berikutnya muncul lagi, ada baiknya kita tata kembali gerakan “amal” kita; apakah aksi kita sesuai tuntutan syariat dan menarik simpati (ridlo) Tuhan, atau justru mengundang amarah-Nya? Apakah aksi kita tak lebih dari ekspresi kemaksiatan atas nama kemanusiaan, atau kefasikan atas nama agama yang justru mengundang bencana?
Sanggupkah kita mempertanggung-jawabkannya, baik kepada sesama manusia, lebih-lebih kepada Allah kelak di hari perjumpaan dengan-Nya? Boro-boro kita memikul dosa orang lain, dosa kita sendiri belum tentu mampu, betul kan? Kecuali kalau kita sudah punya warisan pahala dan kaplingan surga, maka silahkan mengajak orang lain bermaksiat!
Semoga usainya piala dunia yang penuh teka-teki turut mengiringi usainya rentetan bencana yang melanda negeri ini. Amin.