URL: www.pejuangislam.com
Email: editor@pejuangislam.com
 
Halaman Depan >>
 
 
Pengasuh Ribath Almurtadla Al-islami
Ustadz H. Luthfi Bashori
 Lihat Biografi
 Profil Pejuang Kaya Ide
 Imam Abad 21
 Info Asshofwah
Karya Tulis Pejuang


 
Ribath Almurtadla
Al-islami
 Pengasuh Ribath
 Amunisi Dari Tumapel
 Aktifitas Pengasuh
 Perjuangan Pengasuh
 Kalender Ribath
Pesantren Ilmu al-Quran (PIQ)
 Sekilas Profil
 Program Pendidikan
 Pelayanan Masyarakat
 Struktur Organisasi
 Pengasuh PIQ
 
Navigasi Web
Karya Tulis Santri
MP3 Ceramah
Bingkai Aktifitas
Galeri Sastra
Curhat Pengunjung
Media Global
Link Website
TV ONLINE
Kontak Kami
 
 
 Arsip Teriakan Pejuang
 
SETAN BISU & SETAN BICARA 
  Penulis: Pejuang Islam  [7/8/2025]
   
AYOO SHALAT MALAM ! 
  Penulis: Pejuang Islam  [4/8/2025]
   
KOMUNIKASI DI MEJA MAKAN 
  Penulis: Pejuang Islam  [28/7/2025]
   
SUJUD SYUKUR 
  Penulis: Pejuang Islam  [27/7/2025]
   
MENGALAHKAN HAWA NAFSU 
  Penulis: Pejuang Islam  [20/7/2025]
   
 
 Book Collection
 (Klik: Karya Tulis Pejuang)
Pengarang: H. Luthfi B dan Sy. Almaliki
Musuh Besar Umat Islam
Konsep NU dan Krisis Penegakan Syariat
Dialog Tokoh-tokoh Islam
Carut Marut Wajah Kota Santri
Tanggapan Ilmiah Liberalisme
Islam vs Syiah
Paham-paham Yang Harus Diluruskan
Doa Bersama, Bahayakah?
 
 WEB STATISTIK
 
Hari ini: Senin, 22 September 2025
Pukul:  
Online Sekarang: 9 users
Total Hari Ini: 313 users
Total Pengunjung: 6224434 users
 
 
Untitled Document
 PEJUANG ISLAM - MEDIA GLOBAL
 
 
Jangan Main-Main Dengan Tuhan! 
Penulis: BANG OEMAR [13/11/2010]
 
Jangan Main-Main Dengan Tuhan!

 BANG OEMAR


Bencana yang melanda bangsa Indonesia akhir-akhir ini tak ubahnya dengan fenomena Piala Dunia, sulit diprediksi. Ketika para pegiat bola memprediksikan kemenangan Brazil atas Prancis, ternyata meleset. Begitu pula saat Jerman menjamu Italia, lagi-lagi kemenangan diluar perkiraan. Semua terjadi tanpa diduga.

Seperti itulah rentetan bencana yang melanda bangsa kita. Ketika gelombang Tsunami melanda tanah Rencong, masyarakat dekat pantai, utamanya pantai selatan dilanda kekhawatiran mendalam. Sebab titik gempa Tasunami berada dilepas pantai. Namun, ketakutan itu tidak mampu menghalang Kuasa Allah untuk menunjukklan kehendak-Nya yang Absolut. Bencana berikutnya justru terjadi di daerah pegunungan. Banjir dan longsor menerjang beberapa dataran tinggi, seperti Jember dan Situbondo yang disebabkan oleh penebangan dan pembalakan liar (illegal logging).

Episode berikutnya, bencana masih terus bermain di daerah pegunugan, yaitu di wilayah Trenggalek yang tidak ada keterkaitan sama sekali dengan “pantai" yang ditakutkan sebelumnya. Bencana di wilayah pegunungan pun semakin menjadi dengan kondisi Merapi yang menampakkan gejala akan memuntahkan “isi perut”nya. Semua warga dievakuasi untuk menghindari jatuhnya korban. Sebab Merapi sudah dalam kondisi yang mengkhawatirkan.

Namun, lagi-lagi prediksi itu meleset. Disaat warga Jogja dan sekitarnya dicekam ancaman Merapi, ternyata Yang Kuasa berkehendak lain. Jogja diguncang oleh gempa yang titik pusatnya justru berada di lepas pantai, tanpa ada kaitannya dengan gunung Merapi. Lagi-lagi kita manusia pasrah!

Ditengah ancaman gunung meletus dan goncangan gempa yang menghantui warga di wilayah bencana, tiba-tiba bangsa ini dikejutkan oleh banjir lumpur di Sidoarjo. Secara sepintas, bencana ini adalah kesalahan tehnis perusahaan terkait. Namun apabila diamati, sepertinya ada faktor lain yang mengitari bencana ini, yaitu kenyataan yang diluar prediksi yang memang hendak di"pertontonkan" oleh Yang Kuasa. Barangkali, tak pernah terpikirkan, Porong Sidorajo yang berada jauh dari perkiraan terjadinya bencana alam, seperti laut dan gunung, ternyata menyimpan potensi bencana, banjir lumpur!

Setiap bencana yang melanda, ada yang berkaitan dengan ulah manusia, ada yang memang murni Kehendak Yang Kuasa. Tinggal dari perspektif mana manusia menilai. Tetapi yang perlu ditegaskan bahwa Allah tidak pernah dzalim terhadap hamba-Nya. Inilah kata kunci yang harus dijadikan instrumen dalam menyikapi setiap fenomena alam.

Semua yang terjadi tidak lepas adanya sebab akibat (kausalitas) yang bisa saja terjadi karena ulah manusia terhadap alam, atau manusia dengan Tuhan. Membaca sebab dari akibat yang terjadi, jangan sampai gegabah dan terjebak dengan menyalahkan orang lain. Tetapi ada baiknya kita mulai dengan menilai diri kita sendiri. Sebab segala yang kita perbuat pasti memiliki dampak buat sekitar kita, kendati dalam skala individu.

Selama ini kita seringkali menyalahkan orang lain, baik secara perseorangan atau perseroan (kolektif) sebagai penyebab setiap bencana. Padahal, jangan-jangan kita sendiri penyebab utamanya.

Secara teologis, ada beberapa perbuatan (dosa) kecil yang dilakukan oleh individu namun menyimpan potensi dampak yang sangat besar yang melebihi perbuatan dosa kolektif, yaitu perbuatan dosa besar yang menyebabkan kemurkaan Tuhan. Apalagi perbuatan tersebut didemontsrasikan secara massal, bukankah akan menimbulkan dampak yang lebih besar pula? Perbuatan dosa kecil yang dipublikasikan, atau dosa besar yang dilakukan oleh seseorang dan menganggapnya suatu perbuatan baik, tanpa merasa bersalah, semua itulah pemicu kehancuran dunia akhirat.

Terkait dengan fenomena bencana negeri ini, ada kesalahan tehnis dalam menyikapi sebuah bencana. Maunya sih membantu saudara yang terkena bencana dengan dalih “amal” yang pada dasarnya bernilai ibadah. Namun “amal “ tersebut dikemas dalam nuansa yang keluar dari kriteria kebaikan secara syariat dan justru “memancing” bencana berikutnya. Yaitu dengan mencampur adukkan amal sholehnya dengan pernik-pernik kemaksiatan. Akibatnya, para simpatisan yang awalnya menjadi penonton dan penyumbang, selanjutnya mereka ditonton dan disumbang. Mulanya mereka ingin berkorban, sekarang mereka sendiri menjadi korban. Lagi-lagi karena kita “salah” dalam “menyikapi”.

Secara akal, menyumbang itu adalah wujud solidaritas kemanusiaan yang bernilai ibadah dan berpahala. Tetapi, apabila diikuti dengan perbuatan fasik dan kemaksiatan, maka kebaikan akan ternoda. Namun, kadang kita tetap memaksakan diri dengan barometer akal, bahwa perbuatan itu adalah baik. Hanya saja, Allah tidak dapat dipaksakan dengan akal kita. Buktinya, bencana yang Dia tumpahkan pun, sama sekali di luar jangkauan akal manusia. Lalu, mengapa kita mau menyerang ketentuan (syariat) Tuhan dengan akal kita yang serba terbatas, bahkan untuk ukuran bencana sekalipun?

Ironisnya, kemaksiatan tersebut justru didemonstrasikan dengan mengajak dan mengiklankan tanpa ada perasaan malu dan berdosa. Diperparah lagi dengan statemen, “yang penting kan niat!”. Lagi-lagi, ia mencoba "main-main" dengan ketentuan Tuhan yang Maha berkuasa atas segala bencana. Allahu Akbar! Termasuk dosa besar adalah menganggap remeh dosa kecil, apalagi dosa itu memang besar lalu dipublikasikan. Jangan salahkan Tuhan bila bola bencana menggelinding tanpa prediksi.

Disaat ada kelompok tertentu melakukan aksi amar makruf nahi mungkar, mereka disebut sebagai premanisme, teroreisme, radikalisme atas nama agama atau pahlawan berjubah. Padahal ada aksi yang justru menjadi pemicu bencana, yang lebih radikal, lebih preman, lebih ekstrim, lebih teroris, yaitu kemaksiatan atas nama kemanusiaan dan kefasikan atas nama agama.

Mereka layak disebut pecundang berlagak kiai. Ini sebenarnya pemicu bencana yang tidak hanya melanda infrastruktur suatu bangsa, tetapi moralitas sebuah generasi. Mereka telah melakukan teror akidah, premanisme moral, dan radikalisme serta kemaksiatan demonstratif berlabel agama. Maka jangan disalahkan kalau aksi mereka mengundang keprihatinan pengusung amar makruf nahi mungkar untuk kemudian melakukan aksi penyeimbang.

Bencana yang selama ini melanda, masih dalam tataran fisik dan infra sutruktur sebuah negeri atau wilayah. Bukankah ada potensi bencana yang lebih dahsyat dari itu, yang meluluhlantakkan secara perlahan namun pasti, yaitu kegoncangan jiwa dan ambruknya pertahanan moralitas serta spritualitas sebuah bangsa. Semua ini bukan kesalahan tehnis manajerial ataupun pemberdayaan alam, tetapi akibat dari perbuatan maksiat yang kemudian didemonstrasikan. Apalagi berdalih “kebaikan”.

Saatnya kita instropeksi. Jika hanya kesalahan tehnis, baik berupa pemberdayaan alam, atau manajemen perusahaan yang error, bisa dimusyawarahkan dan disikapai dengan manajemen operasioanl dan hubungannya dengan sesama kita manusia. Tetapi, bila keteledoran menyangkut hak-hak Allah, selayaknyalah kita taubat. Jika tidak, kemurkaan berupa bencana akan datang lagi tanpa perkiraan akal

Sebelum bencana babak berikutnya muncul lagi, ada baiknya kita tata kembali gerakan “amal” kita; apakah aksi kita sesuai tuntutan syariat dan menarik simpati (ridlo) Tuhan, atau justru mengundang amarah-Nya? Apakah aksi kita tak lebih dari ekspresi kemaksiatan atas nama kemanusiaan, atau kefasikan atas nama agama yang justru mengundang bencana?

Sanggupkah kita mempertanggung-jawabkannya, baik kepada sesama manusia, lebih-lebih kepada Allah kelak di hari perjumpaan dengan-Nya? Boro-boro kita memikul dosa orang lain, dosa kita sendiri belum tentu mampu, betul kan? Kecuali kalau kita sudah punya warisan pahala dan kaplingan surga, maka silahkan mengajak orang lain bermaksiat!

Semoga usainya piala dunia yang penuh teka-teki turut mengiringi usainya rentetan bencana yang melanda negeri ini. Amin.





   
 Isikan Komentar Anda
   
Nama 
Email 
Kota 
Pesan/Komentar 
 
 
 
 
Kembali Ke Index Berita
 
 
  Situs © 2009-2025 Oleh Pejuang Islam