MEMBANGUN RELASI DAN KEHARMONISAN SOSIAL
Mafahim
Manusia dicipta sebagai mahluk sosial yang meniscayakan adanya interaksi dengan lingkungan sekitarnya. Ia dituntut mampu menciptakan keharmonisan kolektif, di mana dan dengan siapa ia hidup berdampingan. Sebagai mahluk sosial, ia tidak mengedepankan kepentingan pribadi dan tidak mengunggulkan egonya. Tetapi justru ia memiliki kepekaan sosial yang tinggi dalam rangka menciptakan keharmonisan hidup dalam skala kolektif. Hal itu ditunjukkan dalam bentuk prilaku peduli terhadap sesamanya.
Bagi seorang muslim, upaya menjalin keharmonisan kolektif menjadi bagian dari ibadah-mu’amalah yang bernilai pahala. Muslim paripurna akan selalu mengisi hari-harinya dengan hidmat kepada umat (public service). Raut wajahnya mencerminkan kemudahan bagi siapa saja. Prilakunya menampilkan pribadi yang senantiasa menyenangkan orang lain. Tak pernah ia menampilkan sikap yang membuat orang lain risih, berat, atau terbebani, kendati ia sendiri dirundung masalah. Pantang baginya menampakkan kesusahan kepada orang lain. Itulah karakter muslim paripurna (the Moslems perfect).
Sebenarnya motivasi terbesar dalam mengekspresikan sikap ramah dan harmonis bagi seorang muslim adalah tauladan agung Rasulullah yang penuh dengan kecemerlangan hidup. Hal ini tervisualisasikan dalam beberapa sunah beliau. Dalam kerangka tersebut, Prof. DR. Abuya Sayydi Muhammad bin Alawi al-Maliki membuat karya yang bertemakan motivasi-motivasi hidup bagi seorang muslim dalam membangun keharmonisan sosial dan relasi publik sebagai bagian yang tak terpisahkan dari aktifitas ibadah dan dakwah islamiyah. Kitab yang berjudul, “Kasyful Ghummah fi Ishthina’il Ma’rufi wa Rahmatil Ummah; Menyingkap Mendung Kekalutan dalam Menciptakan Kasih Sayang dan Keharmonisan Sosial” tersebut memuat hadis-hadis Nabi yang mengandung motivasi sosial.
Dalam prolognya (hlm.: 5), Abuya menegaskan bahwa masyarakat muslim tidak terlepas dari kebutuhan yang urgen terhadap unsur-unsur pembangun dan penyambung emosi antar individu masyarakat. Dengan menciptakan keharmonisan sosial, memenuhi kebutuhan, menghilangkan kesusahan, dan membantu dengan kebaikan, maka kian bersemailah rasa cinta (mahabbah) dan kasih sayang (sent of love). Sementara cinta adalah jalan lurus menuju surga. Rasulullah SAW bersabda tang artinya:
“Kalian tidak akan masuk surga sehingga kalian beriman. Kalian tidak akan beriman sehingga kalian saling mencintai. Tidakkah akan aku tunjukkan kepada kalian sesuatu yang apabila kalian kerjakan maka kalian akan saling mencintai? Yaitu sebarkanlah salam di antara kalian.” (HR. Muslim)
Dapat dipahami bahwa keimanan menjadi sebab masuknya surga. Dan memupuk benih-benih cinta akan menjadi penyebab sempurnanya imam. Sementara faktor terbesar yang akan mampu menyemaikan benih cinta adalah menciptakan keharmonisan antar sesama. Dengan demikian, benih-benih cinta akan bersemi. Sehingga antara pribadi muslim yang satu dengan yang lain akan semakin akrab dan dekat dalam bingkai ghirah ukhuwah, (hlm.:5-6).
Kitab Kasyful Ghummah, terdiri dari 25 bab motivasi sosial. Di antara tema-tema yang diangkat adalah tentang macam-macam kebaikan (ma’ruf), upaya melayani kebutuhan orang lain (public service), memberikan solusi yang tepat, menutup aib, menyajikan makanan, upaya mendamaikan pertikaian, penyambutan yang baik, penyatuan emosional sesama muslim, keutamaan sedekah, berbakti kepada orang tua, silaturrahim, menjenguk orang sakit, ber-takziah (melayat), waspada dari menunda perbuatan kebaikan, kewajiban mensyukuri karunia kebaikan, dan sebagainya.
Krisis ukhuwah dirasakan oleh umat Islam dewasa ini. Masing kelompok masih ngotot dengan klaim “kebenarannya” yang primordial. Kondisi ini dimanfaatkan oleh umat non muslim dalam upaya memecah belah umat Muhammad. Menyikapi fenomena ini, perlu adanya penyatuan emosi dan rasa kebersamaan (wihdah as-syu’ur wa al-ihsas bainal muslimin) serta jalinan persatuan yang kuat sesama muslim.
Dalam kitab ini, Abuya Sayyid Muhammad al-Maliki menampilkan empat teks hadis Nabi sebagai motivasi dalam menjalin kebersamaan sesama muslim (hlm.: 55). Satu di antaranya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari sahabat Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu, yang artinya:
“Seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin yang lain. Seorang mukmin adalah saudara mukmin yang lain. Dia akan memberi solusi atas kesulitan saudaranya, dan menjadi pelindung di belakangnya.”
Dalam catatan kaki, Abuya menjelaskan bahwa yang dimaksud ‘cermin’ adalah seorang mukmin akan menjadi gambaran dari keadaan sauadaranya yang lain. Jika satu orang mukmin sakit, maka yang lain ikut merasa sakit. Yah, tak ubahnya cermin yang menampilkan secara utuh orang yang bercermin. Sedangkan arti dari ‘memberi solusi’ adalah memenuhi kebutuhan saudaranya baik yang bersifat materi atau non materi. Kesulitan terbesar dalam hidup adalah kebutuhan materi, maka selayaknya seorang mukmin dapat memahami dan memenuhi kebutuhan material saudaranya. Sementara arti dari kalimat ‘jadi pelindung di belakangnya’ adalah melindungi, mengayomi, dan menyantuni sesuai dengan kadar kemampuannya. Bisa jadi dengan nasehat yang menyejukkan tatkala saudaranya ditimpa kesusahan hidup, atau dengan cara yang lain (hlm.: 56).
Andai, masing-masing muslim memiliki karakteristik yang prima sebagaimana tauladan agung Rasulullah dalam menjalin keharmonisan dan membangun kepedulian sosial, tentu Islam akan jaya dan kokoh di atas pondasi ukhuwah. Namun sayang, masih seringkali dijumpai kelompok-kelompok umat Islam yang lebih mengutamakan ego pribadi, kepentingan organisasi, kebenaran golongan, dan mengabaikan nilai-nilai kebersamaan. Antara yang satu dengan yang lain tertanam benih-benih kebencian dan saling curiga. Maka orang non muslim pun merasa mendapat angin segar untuk meruntuhkan akidah umat, karena persatuan Isalm telah rapuh. Maka bersatulah, sebab kekuatan hanya dapat diraih dengan solidnya jamaah.