Keluhuran Akhlak
Cermin Kekokohan Akidah
Muhammad Farid, S.Ag., M.Sos.
Suatu pagi, saya sedang membuka lembar harian pagi di sebuah terminal. Sekonyong-konyong seorang petugas kebersihan melintas di hadapan saya sembari membersihkan lantai. Pandangan saya tak lagi tertuju pada headline koran yang saya beli, melainkan pada petugas yang justru lebih menarik perhatian.
Sesekali dia menyiram air sabun dari botol mineral kecil. Lalu menyapu dengan kain pel. Tampak dari raut wajahnya tidak bersemangat, bahkan malas. Untuk mengayunkan tangan dan melangkahkan kakinya pun seperti tak sanggup. Sehingga, banyak sekali kotoran yang masih menempel di lantai, namun ia abaikan begitu saja. Sikapnya mencerminkan ketidakseriusan si petugas tadi pekerjaannya. Atau mungkin ia memang tidak enjoy dengan pekerjaannya.
Dalam perjalanan pulang. Saya tersentak dengan insiden “ugal-ugalan” pengendara motor yang hampir saja menyerempet saya saat hendak menyebrang jalan. Lebih mengagetkan hati saya lagi, ternyata si pengendara tadi mengenakkan baju shalat lengkap dengan peci.
Dua ilustrasi di atas memantik tanya, “Sepertinya ada yang salah dengan keberagamaan kita?”
Agama dan Keberagamaan
Mungkin yang perlu dipertegas adalah bahwa antara agama dan keberagamaan itu berbeda. Namun memiliki keterkaitan yang erat dan tak mungkin bisa dipisahkan. Agama merupakan kumpulan doktrin, yang tak mungkin “hidup” tanpa dipraktekkan oleh keberagamaan seseorang. Karenanya, salah besar jika menganggap dengan cukup beragama—tanpa dipraktekkan—maka semua sudah beres.
Sebagai contoh, ketika kita sudah melakukan shalat, maka ajaran shalat dianggap telah tertunaikan (finish). Tidak dipahami bagaimana makna dan fungsi shalat secara lebih mendalam. Jika demikian, berarti agama yang kita praktekkan selama ini sekedar simbol saja tanpa makna.
Ajaran serba simbol akan melahirkan kepribadian yang paradoks, sebagaimana dua kasus di atas. Mungkin ia rajin beribadah, namun karena dianggap sekedar ritualitas belaka, maka ada hal yang berlawanan dalam kehidupan sehari-harinya. Dia kurang amanah dengan pekerjaannya. Atau ketika berinteraksi dengan orang lain, tidak mampu menampilkan sikap yang baik kendati ibadahnya baik. Jauh antara ritual dengan aplikasinya.
Padahal, bukankah ’shalat untuk mencegah keburukan dan kemungkaran’? Lebih jauh lagi, bukankah agama seharusnya dapat melahirkan semangat (etos) kerja yang tinggi?
Paradoks lainnya adalah maraknya trend busana muslim. Marak para wanita berlomba-lomba mengenakkan jilbab. Sementara kaum pria mengenakkan baju kemeja-koko, peci yang beraneka warna dan modis, yang secara sederhana dapat disebut sebagai gairah baru keberagamaan masyarakat saat ini.
Hal ini patut disyukuri, karena menjadi modal penting yang sangat positif bagi umat Islam. Dengan menampilkan simbol-simbol Islam yang syar’i dan religius, akan terbangun bangunan elementer keberagamaan sebagai tumpuan. Ada tiang-tiang penyangga sekaligus penyelamat akidah Islamiyah.
Namun cukupkah simbol menjadi ukuran? Sebab, jangan terkejut jika suatu saat menemukan wanita berjilbab yang tengah asyik berpacaran. Atau wanita berjilbab tapi mengenakkan baju ketat yang mempertontonkan aurat. Sehingga ada istilah, “atas tutup bawah buka”. Atau dengan ilustrasi di atas, pengendara motor yang ugal-ugalan meski peci dan baju shalat masih melekat di badan.
Hubungan agama dan keberagamaan setali tiga uang dengan korelasi antara akidah dan akhlak. Hubungan keduanya merupakan paket yang tak terpisahkan. Namun fakta yang ditemukan di lapangan, lagi-lagi menampilkan beberapa paradoks.
Di satu sisi kita lebih mengutamakan tauhid sebagai inti agama (ushul), dengan berupaya menelaah dan mempelajarinya. Namun disisi lain, kita kurang memperhatikan masalah akhlak. Sehingga tak heran bila muncul ungkapan, “Wah sudah ngerti agama kok kurang ajar sama orang tua”. Atau, “Dia sih agamanya bagus, tapi sama tetangga, gak peduli”. Dan lain-lain.
Seharusnya ucapan-ucapan seperti ini menjadi cambuk bagi kita untuk mengoreksi diri (muhasabah) dan membenahi akhlak. Islam bukanlah agama yang mengabaikan akhlak. Bahkan akhlak berada pada posisi yang urgent. Sementara tauhid sebagai inti ajaran Islam memang seharusnya kita utamakan, namun tidak berarti mengabaikan perkara penyempurnaannya. Dan akhlak adalah penyempurna yang memiliki keterkaitan erat dengan akidah.
Tauhid sepatutnya dipahami sebagai realisasi akhlak seorang hamba terhadap Allah. Dan ini merupakan inti pokok dari akhlak seorang hamba. Seorang yang bertauhid dan baik akhlaknya berarti ia adalah sebaik-baik manusia. Semakin sempurna tauhid seseorang maka semakin baik akhlaknya. Dan sebaliknya, bila seorang muwahhid memiliki akhlak yang buruk berarti lemah tauhidnya.
Rasulullah Penyempurna Akhlak
Pujian tertinggi disematkan Allah SWT., kepada Rasulullah Muhammad Saw., karena ketinggian akhlaknya. Firman Allah yang artinya:
”Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (Qs. Al Qalam [ ]: 4)
Bahkan Rasulullah Saw. sendiri menegaskan bahwa kehadirannya adalah untuk menyempurnakan akhlak yang ada pada diri manusia. Rasulullah SAW bersabda yang artinya:
ِ
“Hanyalah aku diutus (oleh Allah) untuk menyempurnakan akhlak.” (HR.Ahmad).
Dalam hadis lain, sahabat Anas memuji Rasulullah dengan penuturannya, “Belum pernah saya menyentuh sutera yang tebal atau tipis lebih halus dari tangan Rasulullah. Saya juga belum pernah mencium bau yang lebih wangi dari bau Rasulullah. Selama sepuluh tahun saya melayani Rasulullah, belum pernah saya dibentak atau ditegur karena perbuatan saya, ’mengapa engkau berbuat ini? atau mengapa engkau tidak mengerjakan itu?’” (HR. Bukhari dan Muslim).
Akhlak merupakan tolak ukur kesempurnaan iman seorang hamba sebagaimana telah disabdakan oleh Rasulullah, “Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang terbaik akhlaknya.” (HR Tirmidzi).
Kekuatan Akhlak
Abu Hurairah meriwayatkan, bahwa suatu saat Rasulullah pernah ditanya tentang kriteria orang yang paling banyak masuk surga. Rasulullah menjawab, “Takwa kepada Allah dan akhlak yang baik.” (HR. Tirmidzi)
Tatkala Rasulullah menasehati sahabatnya, beliaupun mengiringi nasehat takwanya dengan nasehat untuk bergaul atau berakhlak yang baik kepada manusia.
Abi Dzar meriwayatkan, bahwa Rasulullah bersabda, “Bertakwalah kepada Allah di manapun engkau berada. Dan balaslah perbuatan buruk dengan perbuatan baik, niscaya kebaikan itu akan menutupi kejelekan dan bergaullah dengan manusia dengan akhlak yang baik.” (HR Tirmidzi).
Dalam timbangan (mizan) amal pada hari Kiamat, tidak ada yang lebih berat dari pada akhlak yang baik. Rasulullah bersabda,“ Sesuatu yang paling berat dalam mizan (timbangan seorang hamba) adalah akhlak yang baik.” (HR. Abu Daud).
Sahabat Jabir meriwayatkan, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya orang yang paling saya kasihi dan yang paling dekat majelisnya padaku di hari kiamat ialah yang terbaik budi pekertinya.” (HR. Tirmidzi).
Dari hadis-hadis di atas dapat dipahami bahwa pribadi yang berakhlak akan menggapai keutamaan yang melimpah. Karena itu sudah sepantasnya setiap muslim mengambil akhlak yang baik sebagai perhiasannya. Bukan hanya “terpana” oleh panjangnya gamis dan putihnya baju shalat yang seringkali hanya sekedar simbol semata. Akan tetapi, terpanalah pada panjangnya amaliah dan kebeningan hati untuk melahirkan kejujuran akhlak seorang.
Perlu diingat, ukuran baik atau buruk suatu akhlak bukan ditimbang menurut selera individu. Hitam-putihnya akhlak bukan menurut standar adat yang dibuat manusia. Sebab, adat kebiasaan suatu masyarakat memiliki relativitas kebenaran. Hal ini menegaskan kemustahilan adat (kebiasaan) untuk menjadi indikator akhlak seorang. Lebih absurd lagi jika akhlak didasari oleh “selera” penilaian individu, yang jika dilakukan, maka akan sama terjerumusnya kita ke dalam kesesatan yang lebih nyata.
Ukuran baik buruknya akhlak harus ditimbang berdasarkan syariat Islam. Allah sebagai Pembuat syari’at, dengan keluasan ilmu-Nya, Maha Tahu apa yang mendatangkan kemashlahatan atau kebaikan bagi hamba-hamba-Nya. Maka selayaknyalah segala perbuatan manusia disandarkan pada standar kebenaran Ilahi.