ALIM, BERHATI BERSIH VS BERHATI KOTOR
Luthfi Bashori
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “(Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih,” (QS. Asy-Syu’ara, 88).
Para ulama berselisih pendapat dalam mengungkapkan makna hati yang bersih (selamat). Definisi yang menyeluruh dalam memahami hal ini, hati yang bersih adalah hati yang selamat dari segala macam bentuk hawa nafsu yang menyalahi perintah Allah atau menerjang larangan-Nya. Tentu sebaliknya, hati kotor adalah hati yang terpengaruh hawa nafsu yang sering menyalahi perintah Allah atau menerjang larangan-Nya.
Sayyidina Ali bin Abi Thalib RA berkata, “Jika hati seorang alim itu bersih, maka segala nasihatnya akan berpengaruh di hati setiap orang, dan sebaliknya jika hatinya keras, maka segala nasihatnya akan hilang dari setiap orang yang mendengarnya seperti terpelesetnya air hujan dari kulit telur burung unta.”
Diterima atau ditolaknya nasihat pada hati setiap manusia tergantung kesucian hati orang yang memberi nasihat. Rasulullah SAW adalah contoh yang paling utama. Beliau SAW tidak pernah berceramah panjang lebar, akan tetapi mendapat tanggapan positif dari umat, dan umat berubah kehidupannya menjadi semakin baik. Banyak orang yang berceramah panjang lebar namun moral umat tetap rusak. Allah SWT pernah menegur di dalam Al-Qur’an bagi orang-orang yang hanya bisa berbicara tapi tidak bisa melakukannya.
Saat ini yang paling diperlukan oleh umat Islam adalah, nasihat-nasihat dari para ulama berhati bersih, hingga diharapkan dapat memperbaiki kondisi umat Islam terutama di kalangan awwam.
Adapun pengaruh buruk dari ucapan seorang alim namun berhati kotor, tentu dapat menyebabkan ketidakkompakan umat, bahkan dapat menjadikan rusaknya aqidah, syariat serta akhlaq umat, dengan maraknya bermekaran aliran sesat dan pemahaman yang melenceng.