URL: www.pejuangislam.com
Email: editor@pejuangislam.com
 
Halaman Depan >>
 
 
Pengasuh Ribath Almurtadla Al-islami
Ustadz H. Luthfi Bashori
 Lihat Biografi
 Profil Pejuang Kaya Ide
 Imam Abad 21
 Info Asshofwah
Karya Tulis Pejuang


 
Ribath Almurtadla
Al-islami
 Pengasuh Ribath
 Amunisi Dari Tumapel
 Aktifitas Pengasuh
 Perjuangan Pengasuh
 Kalender Ribath
Pesantren Ilmu al-Quran (PIQ)
 Sekilas Profil
 Program Pendidikan
 Pelayanan Masyarakat
 Struktur Organisasi
 Pengasuh PIQ
 
Navigasi Web
Karya Tulis Santri
MP3 Ceramah
Bingkai Aktifitas
Galeri Sastra
Curhat Pengunjung
Media Global
Link Website
TV ONLINE
Kontak Kami
 
 
 Arsip Teriakan Pejuang
 
SETAN BISU & SETAN BICARA 
  Penulis: Pejuang Islam  [7/8/2025]
   
AYOO SHALAT MALAM ! 
  Penulis: Pejuang Islam  [4/8/2025]
   
KOMUNIKASI DI MEJA MAKAN 
  Penulis: Pejuang Islam  [28/7/2025]
   
SUJUD SYUKUR 
  Penulis: Pejuang Islam  [27/7/2025]
   
MENGALAHKAN HAWA NAFSU 
  Penulis: Pejuang Islam  [20/7/2025]
   
 
 Book Collection
 (Klik: Karya Tulis Pejuang)
Pengarang: H. Luthfi B dan Sy. Almaliki
Musuh Besar Umat Islam
Konsep NU dan Krisis Penegakan Syariat
Dialog Tokoh-tokoh Islam
Carut Marut Wajah Kota Santri
Tanggapan Ilmiah Liberalisme
Islam vs Syiah
Paham-paham Yang Harus Diluruskan
Doa Bersama, Bahayakah?
 
 WEB STATISTIK
 
Hari ini: Senin, 22 September 2025
Pukul:  
Online Sekarang: 8 users
Total Hari Ini: 60 users
Total Pengunjung: 6224161 users
 
 
Untitled Document
 PEJUANG ISLAM - KARYA ILMIAH USTADZ LUTHFI BASHORI
 
 
ESTAFET DAKWAH DUA GENERASI 
Penulis: Pejuang Islam [ 21/9/2020 ]
 
ESTAFET DAKWAH DUA GENERASI

KHM. BASORI ALWI

Kiai ‘Tradisionalis’ Berjiwa Modernis

Nama lengkapnya adalah Muchammad Basori Alwi Murtadla, dilahirkan di Singosari, hari Jum’at, tanggal 15 April 1927 / 12 Syawwal 1345 dari pasangan bahagia KH. Alwi Murtadla dan Nyai Hj. Afiati. Dari perkawinan pertama dengan Ibu Hj. Siti Asiah, beliau dikaruniai 2 orang putra dan 1 putri, yaitu:

1.    H. A. Faried Basori
2.    Hj. Ratna Saidah Basori
3.    H. M. Anis Basori (alm.)

Dan dari perkawinan kedua dengan Nyai Hj. Qomariyah Abdul Hamid, beliau dikaruniai 5 putra dan 3 putri, yaitu :

1.    H. M. Anas Basori
2.    Hj. Hanik Lutfiati Basori (alm)
3.    Hj. Ummu Salamah Basori
4.    H. M. Rif’at Basori
5.    H. M. Nu’man Basori
6.    H. Luthfi Bashori
7.    H. Ahmad Faiz Basori
8.    Hj. Kholidah Basori

Masa Belajar

KH. Basori di masa kecil bukanlah tipe anak yang mempunyai kemampuan IQ tinggi. Bahkan dia jauh tertinggal dengan teman-teman sebayanya. Hal ini juga diakui oleh guru-guru sekolahnya saat itu. Namun, dia selalu didorong oleh tekad yang kuat untuk terus belajar. Bahkan ayahnya, Kiai Alwi pun tidak pernah berhenti untuk menyuruhnya agar tidak menyia-nyiakan waktu tanpa belajar.

Suatu ketika, KH. Basori saat kecil, merengek kepada ayahnya agar dibelikan sepeda pancal (sepeda angin) seperti temannya yang lain. Namun Kiai Alwi tidak membelikannya. Karena merasa tidak dipedulikan oleh ayahnya, dia lantas nekat memakai sepeda orang lain yang saat itu sedang diparkir di depan rumahnya. Sedangkan pemilik sepeda saat itu sedang mengaji kepada ayahnya. Kiai Alwi adalah seorang guru agama. Apalagi Kiai alwi saat itu termasuk salah seorang agen sepeda BATAVUS dan pedagang rotan.

    Ketika pengajian selesai, pemilik sepeda itu bingung mencari sepedanya. Setelah lama menunggu, datanglah KH. Basori yang masih kecil dengan mengendarai sepeda tersebut. Rupanya sang ayah telah siap untuk memarahinya.

Di lain waktu, Kiai alwi juga menasehatinya, “Basori, aku bisa membelikan sepuluh sepeda untuk kamu kendarai dengan sepuas-puasnya. Tapi aku khawatir, kalau kamu bersepeda terus, kamu tidak akan bisa belajar. Nanti kalau kamu sudah pandai, kamu akan bisa beli sendiri.”

Nasehat itu masih membekas pada dirinya, dan ternyata menjadi kenyataan. Setelah dia besar dan pandai, dia termasuk satu-satunya orang di Singosari yang punya sepeda motor merk AFROS tahun 1952 pertama kali. Bahkan pada akhirnya, dia mampu membeli sebuah mobil sedan.

    Selain tekun dalam belajar, KH. Basori di saat muda, sangat menyukai seni terbang hadrah. Beberapa pegelaran acara hadrah telah diikutinya. Bahkan dikenal sebagai “Hadi” yang baik di lingkungan Singosari. Kemahiran dalam memukul terbang diperolehnya dari salah seorang gurunya, yaitu Bpk. H. Dimyati (Singosari), dan dia juga belajar di jalan Jawa Pasuruan (belakang kediaman KH. Abdul Hamid).

Barangkali bakat ‘terbangan’ yang dimilikinya itu merupakan warisan dari sang ayah. Karena Kiai Alwi pun mempunyai hobi membaca maulid Diba’ dan Barzanji sekaligus pemukul terbang pengiringnya (hadrah).

    Sekelumit cerita di atas, menandakan bahwa sejak kecil KH. Basori telah terbiasa untuk belajar. Pelajaran Al-Qur’an diterima dari ayahnya, lantas dari kakak seibunya, yaitu Kiai abdus Salam bin Abdillah. Kemudian beliau juga belajar dari guru yang lain, di antaranya Kiai Muhith (seorang hafidz Al-Qur’an dari pesantren sidogiri, Pasuruan), Kiai Yasin Thayyib (singosari), Kiai Dasuqi (Singosari) dan Kiai Abdul Rasyid (Palembang) sewaktu beliau ada di Solo (studi di Madrasah Aliyah dan mondok di Ponpes Salafiyah Solo antara tahun 1946-1949).

Namun sebelum belajar di Ponpes Salafiyah, KH. Basori di saat muda pernah mondok di Ponpes Sidogiri dan Ponpes Legi, Pasuruan antara rentang waktu 1940-1943. Bahkan ketika sudah berkeluarga dan tinggal di Gresik, beliau masih menyempatkan untuk mengaji kepada Kiai abdul Karim. Adapun lagu-lagu Al Qur’an diperoleh dari Kiai Raden Salimin (Yogya). Selanjutnya diperdalam melalui kaset rekaman para qari’ Mesir, khususnya Syekh Shiddiq Al-Minsyawi.

    Selain belajar Al Qur’an dan mengkaji khazanah kitab klasik, beliau juga banyak meluangkan waktu untuk menyerap ilmu bahasa Arab, antara lain kepada Syaikh Mahmud Al-Ayyubi dari Iraq, Sayyid Abdurrahman bin Syihab Al-Habsyi (sewaktu di Solo), Syaikh Ismail dari Banda Aceh, Ustadz Abdullah bin Nuh dari Bogor (sewaktu di Yogyakarta). Guru beliau yang disebut paling akhir (Abdullah bin Nuh) adalah pengasuh Ponpes Ihya Ulumiddin dan redaktur siaran berbahasa Arab di RRI Yogyakarta ketika masih menjadi ibukota darurat RI.

Guna menunjang semua ilmu agama yang telah diperolehnya, KH. Basori melengkapi keilmuannya dengan belajar sastra bahasa Indonesia kepada Mr. Merayu Sukma (Sulaiman) yang terkenal dengan motto hidupnya, “Membuat gubuk yang sudah jadi, lebih baik dari pada membuat istana yang belum jadi.”

Agaknya, ilmu sastra Indonesia inilah yang akan menjadi salah satu modal kepiawaiannya dalam menulis buku. Ilmu sastra Inggris pun juga pernah dilahapnya dari Mr. Nasib asal Singapura. Walhasil, tidak ada kata “cukup” untuk selalu belajar bagi KH. Basori Alwi demi mencapai cita-cita yang luhur.

Hobi Mengajar

 KHM. Basori Alwi merupakan sosok praktisi dunia pendidikan yang beken. Buktinya, selama puluhan tahun, beliau malang melintang berkhidmat di lembaga-lembaga pendidikan baik umum maupun agama, formal maupun informal. Antara tahun 1950-1953, beliau mengajar di SMI Surabaya (tinggal di kawasan Ampel di rumah paman). Pada tahun yang sama, beliau mengajar di PGA Negeri Surabaya.

Setelah itu beliau mengajar di PGAA Negeri Surabaya (antara tahun 1953-1958). Selanjutnya, pada tahun 1959, belaiu dipercaya oleh Ma’arif cabang Jombang yang pada saat itu peneterannya adalah KH. As’ad Umar dan H. Abdul aziz Bishri selaku ketua II untuk menyusun buku tafsir untuk guna diajarkan di Madrasah Ibtidaiyyah di lingkungan Ma’arif.

    Sejak itulah jiwa kepengajarannya terus terasah. Hal itu juga tidak lepas dari pesan KH. Dimyathi Al-Karim yang tidak pernah dilupakannya; “Li kulli syai’in zakatun, wa zakatul ilmi at-ta’lim” (Segala sesuatu itu ada zakatnya, dan zakat ilmu adalah mengajar). Setelah lama merantau, KH. Basori mulai mengabdikan dirinya ketempat kelahirannya, Malang. Di sana beliau mengajar di PGAA Negeri Malang (1958-1960), juga menjadi dosen bahasa Arab di IAIN Malang (1960-1961, sekarang UIN Malang). Di sekitar awal tahun 70-an, beliau diminta membina materi keagamaan di beberapa lembaga militer, seperti Lanud Abdurrahman Saleh, Kostrad (dulu PLP), kepolisian dan juga Kodam V Brawijaya. Akhirnya pada tahun 1978, beliau mendirikan Pesantren Ilmu Al Qur’an (PIQ).

    Selain mengajar di lembaga pendidikan resmi, beliau juga pernah dipercaya untuk menjadi instruktur pada training pembinaan Tilawatil Qur’an bil Ghina (seni baca Al Qur’an dengan lagu) bagi calon peserta MTQ. Pembinaan yang dilakukannya telah menelurkan sejumlah qari’ yang berhasil meraih juara nasiaonal bahkan internasiaonal, di antaranya  adalah Ust. Thoha Hasan dari Gresik, Ust. Abdul Hamid dan Ust. Fuad dari Surabaya, dan seorang peserta tuna netra dari Bululawang Malang, Ust. Suyono.

    Kegiatan mengajar Al Qur’an juga beliau lakukan di beberapa daerah, seperti di pesantern As- Salafiyyah As-Syafi’iyyah Asem Bagus situbondo, pesantern Sidogiri Pasuruan, pesantren Darul Ulum Banyu Putih Lumajang, sejumlah daerah di pulau Madura, Blitar, Mojokerto, masjid Baitul Rahman Leces Probolinggo, masjid Jami’ Malang, Sidoarjo, Pasuruan, Probolinggo dan Jember, dan beberapa majelis ta’lim di Malang dan daerah lainnya yang telah dirintisnya sejak muda. Bahkan di tengah usia lanjut, hari-hari mendekati kemangkatannya, beliau masih menyempatkan untuk melayani pentashihan Al Qur’an dari masyarakat yang membutuhkan.

    Selain mengajar Al Qur’an, beliau juga aktif mengadakan pembinaan ajaran dan akidah Ahlussunnah wal jamaah, bimbingan manasik haji serta pembinaan khatib dan imam Jum’ah di sejumlah daerah, termasuk di Singosari sendiri. Di pesantren pun, beliau tidak pernah bermalas-malasan untuk tidak mengajar dan sering kali ‘lupa waktu’ kalau sudah duduk di depan murid-muridnya. Bahkan sampai dengan saat ini, pengajian umum Ahad pagi yang telah beliau rintis sejak akhir tahun 70-an tetap eksis dengan ratusan jamaahnya.

    Dalam menyampaikan ilmunya, beliau tetap berpegang pada etika mengajar dan belajar sesuai dengan ajaran Islam, yang banyak tertera dalam beberapa kitab ulama salaf, seperti kitab Ta’limul Muta’allim. Namun, bukan berarti beliau menafikan perkembangan metode pengajaran yang terus berkembang. Dengan berbagai metode pengajaran dan pendekatan personal yang dilakukannya, beliau selalu berinovasi untuk membangkitkan keaktifan dan semangat belajar murid, sehingga kegiatan belajar tampak menyenangkan dan pelajaran mudah diterima.

    Di antara sekian banyak metode yang beliau cetuskan, ada satu metode yang cukup efektif untuk diterapkan, yaitu Metode Jibril yang diadopsi dari cara pengajaran Al Qur’an malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. Kemudian metode tersebut dikombinasikan dengan pengajaran Imam Al-Jazari dan Imam Abdurrahman As-Sulami. Di mana inti dari metode dua imam tersebut, adalah sering mengulang secara bergantian dan dengan sistem Multi Level Teaching (istilah penulis sendiri), yaitu dengan mengajar sejumlah orang, lalu sejumlah orang yang telah diajarnya mengajar sejumlah orang yang lebih banyak di bawahnya. Begitu dan seterusnya.

    Selain metode pelajaran, beliau juga membuat kitab panduan dan media pengajaran audio visual yang bertujuan untuk mempermudah dalam belajar, khususnya Al Qur’an. KH. M. Basori Alwi, sekali lagi, lewat kepiawaiannya dalam mengajar, semakin mengokohkan jati diri beliau sebagai seorang teknolog pendidikan sekaligus seorang kiai ‘tradisionalis’ yang kental akan nilai-nilai kesalafannya, namun tidak menepis kemodernan untuk menyempurnakan hasil yang diinginkan. Tercatat, sejumlah media audio visual yang diciptakannya adalah:

1.    Kaset panduan tajwid dari buku Pokok-Pokok Ilmu Tajwid dan kamus Waqaf dan Ibtida’ yang terdiri dari lima kaset.
2.    Kaset tartilul Qur’an, yang berisi rekaman driil bacaan Al Qur’an dengan metode Jibril.
3.    Buku dan VCD Bina Ucap, panduan makhraj huruf Al Qur’an yang terdiri atas dua keping.
4.    Kaset ceramah agama; Tawassul dalam pandangan Islam, Bahaya Ajaran Syiah, Bahaya Syirik kepada Allah SWT.
5.    MP3, yang berisi doa-doa dalam ibadah haji dan umrah, metode tartil, tuntunan surat bagi imam Jum’at dan Tarawih, serta kajian Islam dari kitab Mafahim karangan DR. As-Sayyid Muhammad Alwi Al-Maliki.
6.    VCD metode pengajaran bahasa Arab dari kitab Madarijud Durus Al-Arabiyyah.
7.    VCD pengajaran juz Amma dengan metode Jibril.
Semua produk ini dibuat oleh house production milik pesantren.

Aktivis Organisasi

Di samping menerjunkan diri di dunia pendidikan, KH. Basori Alwi juga merupakan tipikal aktifis organisasi kemasyarakatan yang ulet. Pada tahun 1955, beliau menjadi salah satu pendiri Jam’iyyatul Qurra wal Huffadz Jatim. Sedangkan antara tahun 1955-1958, beliau memegang tampuk kepemimpinan Gerakan Pemuda Ansor. Selanjutnya, pada tahun 1959 beliau menjabat sebagai Pembantu Daerah Menteri Muda Penghubung Kabinet/Alim Ulama untuk daerah Jatim. Kemudian pada tanggal 12 September 1960 beliau diambil sumpahnya sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) tingkat satu Jatim menggantikan Bpk. M. Rumawi (anggota antar waktu). Pada event Konferensi Islam Asia-Afrika (KIAA) di Bandung tahun 1964 beliau mencetuskan ide Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) Nasional dan Internasional.

    Di tahun 1964 itu pula, beliau menjadi anggota misi kebudayaan Indonesia yang dikirim ke Pakistan. Selepas peristiwa pemberontakan G30S/PKI tahun 1965, bersama dengan Ustadz H. Abdul Aziz Muslim dan almarhum Fuad Zain menjadi anggota qari’ dari Indonesia ke sebelas Negara Islam di Timur Tengah selama 4 bulan, yaitu Arab Saudi, Pakistan, Irak, Iran, Siria, Lebanon, Mesir, Palestina, Aljazair dan Libia. Pada kesempatan itulah beliau melaksanakan ibadah haji untuk yang pertama kali.

Karena menjadi salah satu pencetus ide MTQ Nasional dan Internasional, pada setiap event tersebut beliau selalu ditunjuk sebagai dewan hakim dalam MTQ/STQ (Musabaqah Tilawatil Qur’an/Seleksi Tilawatil Qur’an), baik tingkat provinsi, nasional dan internasional, seperti MTQ Internasioanl di Brunei Darussalam (1985), MTQ Internasional di Mesir (1998) dan MTQ Internasional di Jakarta (2003).

    Organisasi lain yang beliau geluti adalah di kepengurusan takmir masjid jami’ Malang sebagai dewan penasehat. Di jaman perjuangan kemerdekaan, beliau juga termasuk dalam anggota Laskar Hizbullah yang turut serta merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. Bahkan pada masa rekrutmen ketentaraan, beliau sempat berpangkat kapten. Namun kemudian mengundurkan diri dari TNI.

Kiai Yang Penulis

    Sebagai panutan masyarakat, KH. Basori merasa tertuntut untuk selalu mengikuti dinamisasi pada segala aspek kehidupan di masyarakat, terutama yang bersentuhan langsung dengan aspek keagamaan. Beliau terpanggil untuk menulis buku-buku sebagai jawaban terhadap berbagai permasalahan umat Islam masa kini pada khususnya dan kebutuhan masyarakat akan ilmu-ilmu agama yang lain pada umumnya.

    Terhitung semenjak tahun 50-an, di antara First book-nya adalah buku panduan bahasa Arab praktis bagi pemula dan lanjutan, Madarijud Durus Al Arabiyah. Pada tahun 1959 melalui firma “Bidjaksana” Surabaya sebagai penerbit, buku ini dipakai sebagai buku pegangan di seluruh madrasah-madrasah Ma’arif. Kemudian pada tanggal 14 Juni 1976 Departemen Agama merekomendasikan buku ini untuk dipakai di Madrasah Ibtidaiyah Negeri di seluruh Indonesia.

Di samping itu, karya-karyanya yang lain juga banyak memuat tentang berbagai bidang keilmuan yang sering ditemui di tengah masyarakat. Seperti permasalahan tentang tata cara membaca Al Qur’an yang benar berikut ilmu-ilmu yang menyertai ke Al Qur’an-an, seperti ilmu Tajwid, Gharaib (bacaan asing dalam Al Qur’an), fadhilah/keutamaan Al Qur’an dan pembacanya, dan lainnya. Dua disiplin ilmu di atas (Al Qur’an dan bahasa Arab) adalah sesuai dengan karakter khas keilmuan beliau.

    Topik lain yang diangkat dalam buku-bukunya adalah masalah seputar tauhid, ibadah haji, fiqh praktis, khutbah Jum’at, dan beberapa terjemahan dari kitab-kitab berbahasa Arab. Sedangkan buku Madarijud Durus Al Arabiyah, pokok-pokok Ilmu Tajwid dan Kamus Waqaf serta ibtida’ dan buku Hukum Islam (terjemah Taqrib) merupakan best seller-nya.

    Fenomenalitas juga ditemui pada karya-karya beliau yang banyak bersinggungan dengan aliran-aliran Syiah, Khawarij dan Mu’tazilah serta beberapa gerakan pembaharuan dari Timur Tengah lainnya. Tulisan-tulisan itu menjadi lebih ditekankan ketika KH. Abdurrahman Wahid –ketua umum PBNU saat itu- mengatakan bahwa tradisi/kultur NU dan aktifitas ritualnya merupakan Syiah kultural. Bak gayung bersambut, polemik tersebut ternyata membuat mata umat Islam menjadi semakin melek akan hadirnya kelompok lain dan ‘pemikiran kiri’ di Indonesia. KH. Basori terdorong untuk menjawab semua itu dengan goresan penanya secara ilmiah.

    Kesan ulama ahli fiqh juga melekat pada diri KH. Basori. Beberapa tulisan beliau banyak yang mengupas tuntas masalah pengambilan dasar hukum dalam syariat Islam serta masalah furu’iyyah (cabang) lainnya, seperti dasar hukum tahlil, talqin mayyit, tawassul, shalat tarawih dan lain-lain. Beliau juga bertindak bijaksana dalam menyikapi adanya perbedaan pemahaman tentang masalah di atas.

Sebagai contoh, beliau pernah menyampaikan khutbah Jum’at di masjid Al Akbar Surabaya pada pertengahan tahun 2000. Di antara isi khutbah tersebut menyinggung hadits Nabi Muhammad SAW yang menerangkan pahala orang yang membaca surat Al Ikhlas dan surat Al Mu’awwizatain (Al Falaq dan An Nas), masing-masing tujuh kali sesudah imam mengucapkan salam dari shalat Jum’at.

Tak pelak, hal itu mengundang reaksi dari berbagai pihak. Salah satunya adalah Prof. Dr. H. M. Roem Rowi (anggota dewan imam masjid Al Akbar dan asisten direktur I IAIN Sunan Ampel Surabaya) yang mengcounter khutbah tersebut di depan pengajian umum rutin di masjid Al Akbar, sekaligus juga mengirimkan surat langsung kepada KH. Basori menanyakan perihal di atas.

Beliau sangat bersyukur karena telah mendapatkan tantangan ilmiah baru dan segera melayaninya dengan jawaban ilmiah pula. Lalu disusunlah sebuah risalah untuk meresponnya dan disebarkan kepada khalayak dan jamaah masjid agar mereka mengetahui ilmu-ilmu yang melandasi amal ibadah mereka dan amal-amal lainnya.

    Terlepas dari pro dan kontra, setidaknya KH. Basori melalui tulisan-tulisannya telah mampu mewarnai kehidupan religi umat Islam di negeri ini. Secara terperinci, goresan penanya yang terbukukan di antaranya:

1.    Madarijud Durus Al Arabiyah (pelajaran bahasa Arab yang terdiri dari 4 jilid)
2.    Dalil-Dalil hukum Islam (terjemahan dari Matan Ghayah wat Taqrib, 6 jilid)
3.    Pokok-Pokok ilmu Tajwid dan Kamus Waqaf wal Ibtida’
4.    Al gharaib fi al-rasm al utsamani (seputar bacaan-bacaan asing di Al Qur’an Rasm Utsmani)
5.    Ahadits fi Fadlailil Qur’an wa Qurra-ihi (beberapa hadits tentang keutamaan Al Qur’an dan para pembacanya)
6.    Terjemahan Syari’atullah al Khalidah (karangan Dr. Sayyid muhammad Alwi Al-Maliki)
7.    Pedoman tauhid (terjemahan nadzam Aqidatul Awwam)
8.    Pengantar Waraqat Imam al Haramain
9.    Membahas Kekuasaan (diterjemahkan dari Nashaih ad Diniyyah wa al Washaya al  Imaniyyah oleh santri PIQ di bawah bimbingan beliau)
10.    Al-Miqat al-Jawwi lil Hajji Indonesia (Miqat Udara bagi Haji Indonesia)
11.    Kumpulan khutbah Jum’at (empat judul)
12.    Bina Ucap (Latihan membaca huruf Hijaiyah dalam satu kata)
13.    Petunjuk Singkat Manasik Haji
14.    Apa Hukumnya Dzikir Ba’da Shalat Jum’at
15.    Zakat dan Penggunaannya
16.    Hukum Talqin dan Tahlil
17.    Tarawih dan Dasar Hukumnya
18.    Pedoman Singkat Imam dan Khatib
19.    At tartil wa al Lahn (membedakan bacaan yang benar dan salah)
20.    Tafsir Terjemahan Al Qur’an Juz ‘Amma (tiga jilid)
21.    Memakmurkan Masjid (diterjemahkan dari tafsir ayat al Ahkam karangan Syekh Muhammad Ali As-Shabuni oleh para santri PIQ dengan bimbingan beliau)
22.    Petunjuk Singkat Tentang Qurban
23.    Empat Sumber Hukum Islam: Qur’an – Sunnah – Ijma’ – Qiyas
24.    Perbandingan Ahlissunnah wal Jama’ah
25.    Pengantar Ilmu Ahlissunnah wal Jama’ah (Untuk Madrasah Tsanawiyah / sekolah Lanjutan)
26.    Sikap Golongan-golongan Islam terhadap Shahabat (Mu’tazilah, Syiah, Khawarij, Ahlissunnah wal Jama’ah)
27.    Fatwa Syekh Muhammad Alwi Al-Maliki; “As Shadaqah wa at Tahlil ‘an al Mayyit wa Surah yasin
28.    Dan beberapa buku lainnya.

Memori Perjuangan

KH. Basori Alwi telah melewati masa-masa belajar yang panjang dan berliku. Setelah mengais-ngais ilmu di tanah kelahirannya, beliau nyantri di Pondok Sidogiri Pasuruan, lalu Ponpes Legi Pasuruan. Kedua pesantren ini, selain belajar Al Qur’an, juga mendalami kitab kuning.

Sekitar tiga tahun di Pasuruan, kemudian kembali lagi ke Singosari. Usai proklamasi kemerdekaan, KH. Basori saat muda pergi ke pondok Salafiyah Solo, asuhan KH. Dimyati. Ini adalah salah satu pondok salaf perintis sekolah klasikal. Beliau masuk sekolah madrasah Aliyah di pesantren ini. Beliau lebih banyak memanfaatkan waktu luangnya untuk mengikuti pengajaran bahasa Arab oleh sejumlah ustadz.

Saat itu kondisi Indonesia belum stabil betul karena adanya tentara sekutu yang merongrong kedaulatan Indonesia. Belum lagi menamatkan belajarnya di Pesantren Salafiyah, tiba-tiba Solo diserang sekutu. Beliau pun mengungsi ke Yogyakarta, ibukota sementara RI saat itu. Tapi Yogyakarta juga diserang sekutu. Apa boleh buat, beliau mengungsi bersama sejumlah orang ke Malang dengan jalan kaki. Karena kendaraan umum tidak ada yang beroperasi.

Jarak Yogya – Malang sekitar 390 kilo meter itu ditempuh dengan jalan kaki selama dua minggu, dengan sering kali berhenti di rumah penduduk untuk sekedar numpang istirahat. Rute yang dilewatipun harus melewati gunung dan hutan-hutan. Setelah berjalan kaki selama dua minggu tersebut, tibalah beliau di Malang bagian selatan. Badannya memang utuh, tapi rasa penat di badan sudah hampir mencapai titik kulminasi. Guna memenuhi kebutuhan selama dalam perjalanan, satu persatu pakaiannya pun dilego. Terakhir, tas pun ikut berpindah ke tangan pembeli.
Sudah capek-capek berjalan ratusan kilometer, sampai di Malang bagian Selatan, ada kabar bahwa Singosari jatuh ke tangan musuh, dan keluarganya mengungsi ke Kediri. Tak ada pilihan lain, secepatnya harus menumpang kendaraan umum ke Kediri. Kebetulan jalur ke sana aman.

Di Kediri, beliau tinggal di pesantren Lirboyo asuhan KH. Mahrus Ali. Kesempatan itu dimanfaatkannya untuk mengaji kitab kuning. Di sana beliau bertemu dengan KH. Masykur, kala itu menteri agama RI, yang juga mengungsi. Kebetulan KH. Masykur juga berasal dari Singosari. KH. Basori lalu dimintanya membantu mengasuh putranya yang bernama Saiful Islam.

Ketika keadaan Yogya berangsur aman, KH. Masykur kembali ke sana, KH. Basori pun saat itu di ajaknya serta. KH. Basori masuk ke jajaran Dapertemen Agama sebagai pegawai dengan rekomendasi KH. Masykur. Kesempatan di sana dimanfaatkannya untuk belajar bahasa Arab kepada KH. Abdullah bin Nuh, pengasuh Ponpes Ihya Ulumuddin Bogor dan redaktur siaran berbahasa Arab di RRI Yogyakarta. Ketika clash kedua terjadi lagi di Yogya. KH. Basori pergi ke Surabaya dan tinggal di sana.

Kepribadian

KH. Basori Alwi, merupakan pribadi yang sejuk. Siapapun yang mengenal beliau akan selalu terkesan. Pancaran kesejukan didapatkan dari ajaran beliau yang selalu mengajak untuk selalu ingat kepada Allah di setiap waktu dan tempat. Bahkan selain mengajak berdzikir dengan membaca Al-Qur’an, beliau juga pernah menjadi mursyid thariqat Naqshabandiyah  yang diikuti oleh ratusan jamaah dari masyarakat Singosari dan sekitarnya. Guru beliau, Syekh Muhammad Utsman Nadi Al-Ishaqi, pendiri pesantren Darul Ubudiyyah Raudlatul Muta’allimin Jatiporo Surabaya, telah mempercayakan kepada Kiai Bashori untuk memimpin kegiatan dzikir ini apabila beliau berhalangan. Sebagimana penuturan H. Muhammad Bahrab (teman KH. Basori), “dulu Kiai Basori Alwi dikenal sebagai badal (pengganti) Kiai Utsman, beliau hanya memberangkatkan murid-murid yang ingin mendalami thariqat, selain itu beliau juga memberikan wejangan-wejangan pada murid-murid yang akan berangkat itu.”

Selain banyak membidangi Ulumul Qur’an dan bahasa Arab, beliau juga termasuk ulama yang getol membentengi kemurnian ajaran dan akidah Ahlussunnah wal Jama’ah dari aliran-aliran kiri dan pengaruh-pengaruh modernisasi yang tidak sejalan dengan Islam. Ini tercermin dari banyaknya karya-karya beliau yang berkutat pada masalah akidah Ahlussunnah dan pembendungan gerakan pembaharuan dari Timur Tengah yang mengarah kepada tuduhan bid’ah yang dialamatkan kepadanya.

Tantangan itu tidak hanya berasal dari luar (baca: luar NU, barat, oreintalis), tetapI juga dari golongan sendiri (dari dalam NU). Saat ini, di tubuh NU telah terjadi dinamisasi yang cukup pesat dan cenderung ‘tidak sehat’. Baik di kalangan sepuh-nya, lebih-lebih pada generasi mudanya, akibat pengaruh perubahan kondisi bangsa Indonesia secara makro dan eskalasi dunia yang cenderung mengglobal. Beliau tampil sebagai generasi sepuh yang memahami tujuan awal didirikannya NU secara organisatoris dan fungsionalnya sebagai wadah Ahlissunnah wal Jama’ah. Sehingga beliau terpanggil untuk mengembalikan NU sesuai dengan yang telah diperjuangkan pendirinya, KH. Hasyim Asy’ari. Mengingat bahwa ormas Islam terbesar di Indonesia ini rentan untung ditunggangi paham sekulerisme dan liberalisme yang justru akan membuat rancu bahkan merusak ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah yang telah menjadi trade mark NU itu sendiri.

Kepedulian Kiai Basori sangatlah beralasan, sebab beliau adalah seorang figur ulama ‘tradisionalis’ yang selalu bersikap ihtiyathan (berhati-hati) dalam bertindak dan termasuk fid din (berpegang teguh agama), fundamental dalam memahami teks ayat Al-Qur’an, hadits dan kitab-kitab yang dipelajarinya, serta doktrin agama yang diyakininya. Sebagai panutan umat, beliau mengetahui persis ke mana arah yang ditujunya serta memiliki keyakinan yang teguh akan kebenaran dan manfaat dari perilaku yang dikerjakan bagi diri sendiri dan umat yang dipimpinnya.

Kiai yang selalu berpenampilan rapi ini juga sering kali menganjurkan kepada semua santrinya, baik yang menetap di pesantren maupun santri kilatan, agar senantiasa mengajarkan ilmu yang telah diperolehnya dari pesantren atau dari pengajian-pengajian yang diasuhnya. Mengajar tidak berarti harus bisa dan sempurna segalanya. Akan tetapi kemampuan dan kesempurnaan itu diperoleh dari seringnya berlatih mengajar. Agaknya, beliau terinspirasi oleh taushiyah gurunya; “Li kulli syai’in zakatun. Wa zakatul ‘ilmi at-ta’lim”.

Lebih lanjut beliau menambahkan bahwa sesuatu yang dizakati akan terus berkembang, sesuai dengan arti kata “Az Zakatu” secara etimologi, yakni “An Namaa” (berkembang dan bertambah). Demikian pula dengan eksistensi Pesantren Ilmu Al Quran (PIQ)  yang sedang beliau dirikan. Pada mulanya adalah majelis taklim biasa yang diikuti oleh segelintir orang. Namun karena pengajaran itu dilakukan terus menerus, maka dengan sendirinya semakin berkembang menjadi sebuah pesantren yang kokoh baik dalam bidang fisik sekaligus religinya. Kekokohan itu diperkuat oleh salah seorang putra beliau, KH. Luthfi Bashori yang telah menimba ilmu di Timur Tengah (Madinah & Makkah), tepatnya kepada seorang Imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Assayyid Muhammad bin Alwi Almaliki Alhasani. Sehingga menambah kiprah pesantren di dunia pendidikan maupun di tengah masyarakat luas. (Mengenai sosok KH. Luthfi Bashori akan dipaparkan pada pembahasan berikutnya).


KH. LUTHFI BASHORI 

Murid ‘Al-Maliki’ Yang Kaya Ide dan Kreasi

    KH. Luthfi Bashori lahir di kota santri, Singosari, pada tanggal 5 juli 1965, dari orang tua KH. M. Basori Alwi dan Hj. Qomariyah binti Abdul Hamid. Layaknya anak-anak Singosari kala itu, KH. Luthfi Bashori di saat kecil menempuh pendidikan dasar di Madrasah Ibtidaiyyah Al Ma’arif Singosari. Setelah lulus dari Madrasah Ibtidaiyyah pada tahun 1979, beliau melanjutkan pendidikannya di SMP Negeri -1 Singosari (Malang) hingga tahun 1982. Rupanya, ini merupakan akhir jenjang studi formalnya. Karena pada tahun yang sama, putra ke-9 dari 11 bersaudara ini memutuskan untuk masuk ke pesantren Darut Tauhid asuhan Assyeikh Abdullah Awadl Abdun, Malang.

    Selama kurang lebih setahun KH. Luthfi Bashori menimba ilmu agama, terutama ilmu bahasa Arab, di pesantren Darut Tauhid yang terletak di kawasan Sumbersari Malang tersebut. Rupanya, proses ini merupakan pembekalan bagi sosok KH. Luthfi Bashori yang mendapatkan kesempatan berharga untuk menempuh pendidikan di Timur Tengah (Madinah dan Makkah).

    Selama 8 tahun, tepatnya sejak tahun 1983 hingga 1986 dia menetap di Madinah, lantas tahun 1987 hingga 1991 pindah ke Makkah, di bawah bimbingan seorang ulama kharismatik, Assayyid Muhammad Alwi Al Maliki Al Hasani.

    Tatkala belajar di Alharamain, Madinah dan Makkah, KH. Luthfi Bashori mengaku sangat senang saat diperintah untuk berkhidmat pada guru utamanya itu. Karena beliau yakin, turunnya barakah itu seringkali disebabkan oleh khidmat pada guru, dan kenyataan ini sudah dirasakan sendiri oleh KH. Luthfi Bashori.

Dalam mengaplikasikan keyakinannya, beliau sangat antusias tatkala sang guru memintanya untuk berkhidmat, bahkan mayoritas  kehidupan KH. Luthfi Bashori di Alharamain, dijalani dengan berkhidmat secara ikhlas. Beliau sering menukil kata mutiara arab, “qaddimil khidmat ‘ala at ta’allum” (dahulukan berkhidmat dari belajar), tentunya di saat waktunya bersamaan. Arti ikhlas saat berkhidmat, menurut beliau, haruslah disertai dengan tingginya I’tiqad (keyakinan) dan selalu menjaga husnudhan (prasangka baik) kepada guru. KH. Luthfi Bashori juga senantiasa berusaha untuk ‘dekat’ secara dhahir dan bathin, bahkan menempatkan diri di depan gurunya layaknya seorang anak di hadapan orang tuanya.

    Selama 8 tahun itulah KH. Luthfi Bashori dan beberapa temannya mendapat tugas dari gurunya untuk membuatkan sekaligus menghidangkan minuman Syai Akhdhar (teh hijau) dan Qahwa Arabi (kopi arab) khas Arab Saudi, kepada para tamu yang berziarah maupun yang menghadiri majlis ta’lim gurunya. “Jumlah tamu yang datang tiap hari terkadang puluhan, bahkan tak jarang ratusan orang”, ujar KH. Luthfi Bashori menerangkan.

Pekerjaan ini terus beliau jalani sekalipun rasa capai sering dirasakan, karena saat menyuguhkan minuman, posisi badan beliau harus berdiri dan membungkuk. Ini disebabkan format para tamu yang mendapat suguhan dari tangan beliau itu duduk bersila di atas karpet. Namun ucapan para tamu, “jazakallahu khairan” (semoga Allah memberimu balasan kebaikan), diyakini oleh KH. Luthfi Bashori sebagai doa yang maqbul (dikabulkan). Aktifitas selain belajar di kelas yang demikian ini, beliau jalani sejak awwal masuk di kota Madinah, pada tahun 1983.

    Tatkala diperintahkan untuk pindah ke Makkah pada tahun 1987, tugas KH. Luthfi Bashori bertambah pula, yaitu sebagai salah satu katib (penulis) yang membukukan surat menyurat, catatan harian, serta pemikiran guru besarnya itu ke dalam buku tulis berukuran tebal, dengan tulisan khat yang baik dan rapi. Sudah tak terhitung berapa banyak buku tulis yang berisikan goresan tangan KH. Luthfi Bashori yang kini tersimpan rapi di perpustakaan khusus milik As Sayyid Muhammad Alwi Al Maliki Al Hasani.

Tentunya hal ini menjadi kenangan yang tak terlupakan bagi KH. Luthfi Bashori, terlebih sepeninggal guru besarnya tersebut. Dengan wafatnya As Sayyid Muhammad Alwi Al Maliki Al Hasani, KH. Luthfi Bashori merasakan duka dan kesedihan yang tiada tara. Namun beliau juga telah merasakan barakah dari guru besarnya itu, yang begitu banyak mempengaruhi pembentukan karakter kehidupannya. Setidaknya itulah yang dirasakan oleh KH. Luthfi Bashori.

Sepulang dari Makkah, KH. Luthfi Bashori melaksanakam perkawinan pertama dengan Ibu Nurul Hidayah, asal Surabaya dan dikaruniai seorang 1 putri yang ikut menetap di Surabaya, lantas menikah lagi dengan seorang beretnis Arab bernama Ibu Nyai Fathmah Obed bermarga Bamajbur asal Indramayu, dan dikaruniai 4 orang putri menetap di Singosari, yang secara urut sebagai berikut:
1.    Fathimatuz Zahra (Surabaya)
2.    Amirah Luthfi
3.    Najmah Luthfi
4.    Lubbiya Luthfi
5.    Fairuz Luthfi

Garis Keturunan

    Pada saat berangkat mencari ilmu di Makkah, umur KH. Luthfi Bashori masih muda belia, yaitu 18 tahun. Sebagaimana pada umumnya, anak pada usia tersebut kurang memperdulikan garis keturunan datuk-datuknya. Hingga saat menjelang pulang ke tanah air, As Sayyid Muhammad Alwi Al Maliki berpesan kepada KH. Luthfi Bashori agar mencari tahu dan menelusuri garis nasabnya.
    Setiba di tanah air, beliau lalu menanyakan pada sang ayah, namun kurang mendapatkan jawaban yang jelas. Pesan guru besar beliau tersebut selalu terngiang di telinga. Hingga pada akhirnya KH. Luthfi Bashori mencari tahu dari bibi-bibinya dari pihak ayah. Dari merekalah KH. Luthfi Bashori mengetahui bahwa keluarga ayahnya adalah keturunan Adipati Omben Madura. Dengan bekal informasi tersebut pergi ke Pulau Madura untuk menelusuri lebih lanjut tentang datuknya.

    Di sana, beliau mendapat banyak informasi diantaranya dari H. Azhari (alm), salah seorang tokoh di kawasan Omben yang mengatakan bahwa Adipati Omben itu bernama Syarif Husain yang terkenal juga dengan julukan Bujuk Rokem.

    Raden H. Mahmud (alm), salah seorang mantan pegawai kantor kabupaten Bangkalan, yang mengaku masih keturunan Adipati Omben, tatkala ditemui oleh KH. Luthfi Bashori, sempat membacakan secara jelas silsilah keturunan yang mempertemukan nasab dirinya dengan nasab keluarga KH. Luthfi Bashori.

    Menurut beberapa sumber terutama dari para Kyai Madura, KH. Luthfi Bashori mendapat informasi yang akurat, bahwa putra Syarif Husain yang bernama Datuk Hasan, dimakamkan di daerah Arusbaya Bangkalan, masyarakat menjulukinya sebagai Datuk Raddin karena wajahnya yang sangat tampan. KH. Luthfi Bashori pun kerap kali berziarah makam beliau.

    Datuk Hasan ini mempunyai putra yang bernama Datuk Yusuf Qadir, dimakamkan di daerah Bergan (dekat Blega) atau dekat perbatasan kota Sampang. Masyarakat menjulukinya sebagai Datuk Qadir atau Datuk Bergan. Beliau mempunyai putra bernama Datuk Alwi yang terkenal sebagai Datuk Matal. Dijuluki Datuk Matal. Karena menurut sejarah, beliau mampu mendirikan rumah dari bekas tatal kayu. Tatal adalah potongan kecil atau lembut dari sebatang kayu yang digergaji atau dipotong dengan kapak.

Semua makam pekuburan datuk-datuk KH. Luthfi Bashori yang tersebut di atas ini, berada di Pulau Madura, dan semuanya itu sudah pernah dikunjungi oleh KH. Luthfi Bashori.

Adapun Datuk Alwi mempunyai putra yaitu Mbah/Kyai Abdurrahim yang hidup pada masa kolonial, beliau adalah seorang pejuang yang dikejar-kejar oleh Belanda, yang pada akhirnya melarikan diri dari Madura dan mengungsi serta menetap dan dimakamkan di Kuburan Kadipaten Singosari. Mbah/Kyai Abdurrahim mempunyai putra, bernama Mbah/Kyai Murtadla, yang dikenal sebagai seorang ahli Al Qur’an yang di jaman itu cukup disegani di wilayah Singosari. Beliau mempunyai putra yang bernama Kyai Alwi, yang dikenal sebagai aktivis NU pada masanya, bahkan menjadi wakil NU di keanggotaan (konstituante) DPR Pusat di kala itu. Kyai Alwi mempunyai putra bernama KH. Basori, yang sangat terkenal sebagai ahli Al Qur’an pendiri Jam’iyyatul Qurra wal Huffadz, badan otonomi Ormas Nahdlatul Ulama (NU), dan cikal bakal MTQ Nasional, sekaligus sebagai pendiri Pesantren Ilmu Al Qur’an (PIQ) Singosari.

    Untuk menghormati datuk-datuknya sekaligus mengekspresikan wasiat dari guru besarnya, KH. Luthfi Bashori sering menziarahi makam Syarif Husain di kawasan Omben serta kakek-kakeknya dari garis keturunan ayahandanya ini, untuk membacakan doa kepada Allah, yang diperuntukkan bagi para datuknya, termasuk yang berada di pemakaman keluarga di makam pekuburan Kadipaten Singosari.

    Dilahirkan dari keturunan pejuang-pejuang Islam serta masa kecil yang dihabiskannya di lingkungan pesantren yang diasuh ayahandanya, rupanya berpengaruh besar dalam cara hidup dan gaya pikir KH. Luthfi Bashori. Sejak awal beliau sudah menentukan disiplin ilmu apa yang harus digeluti dan bagaimana beliau akan mengisi hidupnya, yakni mendalami ilmu agama dan mengajarkannya pada orang lain. Dunia pendidikan dan dakwah Islamiyah dengan memegang tradisi salaf merupakan way of live KH. Luthfi Bashori yang dikaruniai 5 anak ini.

Pendidik Tulen

    Sosok KH. Luthfi Bashori, sebenarnya tidak jauh dari profil seorang yang banyak bergelut di dunia pendidikan Islam. Hal ini dibuktikan dengan jati diri beliau sebagai pendidik tulen yang memangku sebuah pesantren miliknya sendiri, Ribath Al Murtadla Al Islami di kawasan Tumapel Singosari, juga merangkap sebagai pengganti ayahnya, pasca wafat KH. Basori Alwi untuk mengasuh dan mendidik para santri di Pesantren Ilmu Al Qur’an (PIQ) Singosari yang didirikan oleh ayahnya itu.

    Di pesantren yang didirikan ayahnya, PIQ, sejak kepulangan dari Makkah tahun 1991 hingga saat ini, KH. Luthfi Bashori masih aktif mengurusi dan mengajar. Selama ini pula sangat banyak perombakan dan pembenahan yang dilakukan demi perkembangan serta kemaslahatan pesantren tersebut. Dengan penuh perhatian, beliau tak segan-segan turun langsung untuk memeriksa para santri, misalnya jika menemukan ada santri yang berambut panjang, maka langsung diperintahkan untuk memotongnya saat itu juga. Sebab menurut beliau rambut panjang bagi seorang laki-laki sangat dilarang bahkan dilaknat oleh agama, karena rambut menyerupai ciri wanita.

KH. Luthfi Bashori juga menerapkan peraturan anti rokok bagi para santri. Apabila mendapati santri yang merokok beliau akan menghukumnya sesuai dengan sanksi yang beliau tetapkan sebagai peraturan pesantren. KH. Luthfi Bashori juga menerapkan wajib shalat berjama’ah dan seragam putih-putih saat belajar di kelas atau kegiatan-kegiatan lain.

Suatu saat beliau mendapati seorang santri tidak memakai peci putih di majelis beliau, saat itu juga KH. Luthfi Bashori langsung memerintahkannya untuk menggantinya dengan peci putih. Perhatian beliau sangatlah besar saat mengajar, baik di dalam kelas maupun majlis yang dihadiri oleh semua santri, seakan beliau tidak memberi sedikitpun kesempatan kepada para santri untuk lengah dan tertidur, seluruh hadirin selalu dalam pengawasan beliau secara ketat.

    Khusus di majelis yang diasuh oleh beliau, dan dihadiri oleh seluruh santri, KH. Luthfi Bashori seringkali mentransfer pemikirannya dalam bentuk dialog interaktif dengan para santri. Maka berbagai pertanyaan dari para santri selama ini, bisa beliau tampung, hingga semua para santri dari masa ke masa, akan mendapatkan jawaban yang cukup jelas. Keadaan inilah yang kini banyak mempengaruhi karakter kehidupan para santri dalam proses kaderisasi, dan itulah salah satu target KH. Luthfi Bashori dalam membina generasi muda Islam sesuai dengan ajaran ulama salaf Ahlussunnah wal Jama’ah.

    Sebagai pengelola di pesantren milik ayahnya, sebenarnya cukup menyita waktu, sebab beberapa permasalahan yang berkaitan dengan para santri, wali murid, hubungan dengan sekolah-sekolah formal tempat santri PIQ menimba ilmu pengetahuan umum, termasuk menjadi tanggung jawab beliau. Belum lagi sebagai pengambil keputusan yang berkaitan dengan dana oprasional pesantren yang cukup rumit. Itupun tidak menjadikan KH. Luthfi Bashori cepat patah arang.

Tidak jauh berbeda dengan aktifitas di Ribath Al murtadla, pesantren yang beliau dirikan sendiri, berlokasi tidak jauh dari PIQ, KH. Luthfi Bashori juga ikut menangani mulai dari bidang pengajaran, pendidikan, pembangunan, bahkan keuangan walaupun semua aktifitasnya itu dibantu oleh staf-staf dari kalangan para pengurus di kedua pesantren tersebut.

Bahkan seringkali beliau dalam keadaan yang kurang sehat, tetap mengajar secara istiqamah, sekalipun harus menggunakan baju tebal dan berkaos kaki. Semuanya itu menunjukkan keteguhan hati beliau di dalam mengemban amanat sebagai pendidik tulen.

    Saat mendirikan dan meresmikan pesantren Ribath Al murtadla, pada tahun 2001, KH Luthfi Bashori kala itu berusia 36 tahun. Beliau berupaya secara maksimal mengekspresikan cita-citanya secara konkrit dalam mengaplikasikan ilmu dan pengalamnnya selama belajar di Madinah dan Makkah kepada para santri. Ribath Almurtadla adalah pesantren yang mempunyai gaya pendidikan khas Timur Tengah, dengan bahasa pengantar proses belajar-mengajar serta percakapan para santri sehari-hari banyak diselingi bahasa Arab. Sebab di dalam mewujudkan target pendidikan di pesantrennya, KH. Luthfi Bashori juga berhasil menggandeng para ustadz alumni Timur Tengah untuk mengajar di pesantrennya.

Para ustadz yang yang mayoritas dari kalangan habaib keturunan Arab tersebut, adalah alumni dari beberapa institusi pendidikan yang ada di negara-negara Arab, seperti Universitas Al Azhar (Mesir), Rubath Al Madinah (Saudi Arabia), Rubath Tarim (Yaman), Darul Musthafa (Yaman), dan universitas Al Ahgaff (Yaman). Sistem pendidikannya juga tidak memperkenankan santrinya merangkap sekolah umum/formal di luar, hingga dapat fokus belajar ilmu agama.

    Model pendidikan ini tentunya dapat memperluas wawasan para santri. Hal ini tidak lepas dari gaya didik yang diapdopsi oleh KH. Luthfi Bashori, ketika menempuh pendidikan di Makkah dahulu. Di Ma’had As Sayyid Muhammad Alwi Al Maliki Al Hasani, selain dari Sayyid Muhammad Almaliki sendiri, KH. Luthfi Bashori juga menerima transfer ilmu dari beberapa ulama dari negara-negara Arab. Di antaranya Habib Zein bin Ibrahim bin Smith, seorang ulama yang berasal dari Hadramaut Yaman dan kini menetap di Madinah, juga dari Syeikh Abu Jamil, seorang hafidz  Al Qur’an dari Palestina, Syeikh Ahmad Farhan, muqri’ Al Qur’an dari Mesir, Syeikh Ahmad Ruqaimi, seorang faqih (ahli fikih) madzhab Syafi’I dari Yaman Utara, Syeikh Ibrahim bin Syu’aib al Hausawi, ahli bahasa Arab dari Afrika, Syeikh Abdurrahman Kurdi, seorang sufi dari Turki, Syeikh Abdullah Dardum (alm), ahli Nahwu (gramatikal Arab) asal Makkah. Ulama yang terakhir disebut ini terkenal dengan julukan ‘Imam Sibawaih Makkah’. Imam Sibawaih adalah salah seorang peletak dasar ilmu Nahwu yang sangat terkenal di kalangan dunia Islam, khususnya dunia ketatabahasaan Arab.

    Para santri Ribath Almurtadla juga mendapatkan bimbingan antara teori dan praktek secara seimbang. Shalat 5 waktu secara berjama’ah yang diakhiri dengan bacaan hizib dan ratib, yang disusun oleh tokoh-tokoh kalangan habaib menjadi rutinitas keseharian di Ribath Almurtadla. Di samping pelajaran Muhadatsah (percakapan berbahasa Arab), para santri juga mendapatkan bimbingan karang-mengarang serta pidato berbahasa Indonesia, sebagai persiapan mereka untuk terjun di tengah masyarakat. Minimal 2 kali dalam setahun, diadakan Tarbiyyah Ijtima’iyyah (pendidikan kemasyarakatan), yaitu menerjukan seluruh santri Ribath Almurtadla ke desa-desa untuk mengisi kuliah subuh dan maghrib di masjid-masjid, serta membantu mengajar di tempat-tempat pendidikan Islam yang ada di sekitar tempat tugas.

    Untuk mengisi waktu-waktu tertentu di pesantren, terdapat pula kesenian marawis, tari zafin dan qasidah. KH. Luthfi Bashori juga punya perhatian tinggi terhadap kesenian Islam. Tak jarang beliau mengajarkan langsung lagu-lagu qasidah dan cara memainkan alat musik rebana serta tari zafin yang mengiringi gambus marawis kepada murid-muridnya.

    Sebagai salah satu alumni Timur Tengah, KH. Luthfi Bashori juga selalu mendorong para santri untuk “mengikuti jejaknya” meneruskan studi di negeri-negeri Arab. Sampai saat ini, sudah banyak santri yang kemudian meneruskan belajar di Arab berkat motivasi dari KH. Luthfi Bashori. Di antara mereka ada yang berdomisili di Yordan, Mesir (Kairo), Arab Saudi (Makkah dan Madinah), dan Yaman (Tarim Hadramaut). Tidak hanya sekedar motivasi, KH. Luthfi Bashori juga membimbing mereka sejak sebelum meninggalkan tanah air, hingga saat mereka sudah tinggal di luar negeri, beliau masih tetap mengontrol perkembangan studi mereka secara berkala.

    Tidak jarang pula, beliau mencurahkan perhatian dan bimbingan kepada para alumni pondok-pondok pesantren yang beliau temui, terutama dari generasi mudanya, untuk selalu eksis di dalam mengemban dan mengamalkan ajaran yang diperoleh dari pesantren, bahkan terkadang beliau ‘turut campur’ mencarikan pendamping hidup bagi mereka. Sehingga banyak yang kemudian menganggap KH. Luthfi Bashori sebagai senior dan pembimbingnya.

    Banyak kalangan menilai KH. Luthfi Bashori adalah ‘figur unik’ dengan kreatifitas tinggi. Memasuki bangunan pesantren Ribtah Almurtadla yang dia rancang sendiri, orang akan mendapat kesan asri dan artistic, atau modifikasi modern dengan gaya klasik. Dari depan, tampaklah bangunan khas Saudi Arabia berupa pagar dinding dan pintu gerbang tinggi setengah lingkaran bertuliskan lafadz-lafadz Arab. Memasuki halaman, pesantren ini akan terkesan layaknya tempat beristirahat atau villa yang sejuk, sebab sistem penataan yang artistik, kombinasi warna kuning, hijau muda, merah pink, dan coklat muda pada bagian-bagian tembok, halaman lantai bercat hijau, batu granit, dan beberapa bagian tembok pagar yang dibiarkan terlihat batu batanya tertata rapi dengan dilapisi vernis.

Bangunan utama kombinasi warnanya coklat tua dan krem. Ruang tamu terkesan berbentuk gasebo atau seperti rumah makan lesehan, dengan hiasan foto ulama yang kian menambah keanggunan bangunan fisiknya. Hampir seluruh ruang keluarga, ruang tamu dan hunian santri beralaskan karpet bermodif, layaknya tradisi ruangan di Saudi Arabia dengan kombinasi Jawa. Di Ribath ini juga terdapat lapangan kecil 200 M2 berlantai semen dicat warna hijau. Tempat ini sekaligus menjadi tempat refreshing keluarga dan juga santri di saat senggang, karena berfungsi untuk permainan futsal.

Di sela-sela kegiatan KH. Luthfi Bashori yang sangat padat, beliau sering kali meluangkan waktu untuk memeriksa kondisi kebersihan di lingkungan pesantrennya, serta merawat beberapa hewan piaraan yang silih berganti, seperti ikan, kelinci, dan burung berkicau, tupai, musang, hamster, landak mini, iguana dan masih banyak lagi jenis-jenis hewan yang kerap dipeliharanya.

    Semua ini memang banyak dipengaruhi oleh karakter pribadi KH. Luthfi Bashori. Beliau adalah seorang pribadi yang kreatif, mempunyai jiwa seni yang tinggi, kaya ide, supel, punya pergaulan luas, serta terlalu terbuka pada semua tingkat umur dan lapisan masyarakat. Hal ini pula yang terkesan ketika beliau bergaul dengan para santrinya dalam keseharian. Sejatinya demikianlah, ciri khas pesantren-pesantren di Timur Tengah, menuntut pengasuhnya untuk sering bersentuhan langsung dengan para santri, baik untuk urusan pendidikan, ketertiban, maupun tetek bengek lainnya.

    KH. Luthfi Bashori, di depan para santrinya, bisa menjadi figur layaknya seorang ayah, atau paman, bahkan seorang teman yang demikian terbuka. Untuk itulah beliau lebih senang dipanggil dengan sebutan ‘Ammy’ (yang berarti paman) oleh para santri. Dalam kesempatan tertentu, beliau juga tidak canggung untuk membacakan puisi-puisi keagamaan, kebangsaan, dan isu-isu sosial hasil karyanya di hadapan para santri, layaknya seorang seniman yang tengah mengekspresikan suara hatinya.

    Dalam dunia yang lebih luas, beliau bisa menjalin ukhuwah Islamiyyah dengan tokoh-tokoh nasional maupun internasional semisal Ir. Shlahuddin Wahid, KH. Dawam Anwar,
KH. Irfan Zidni (kalangan PBNU); KH. Athian Ali (ketua FUUI); Dr. Fuad Amsyari – Drs. M. Thalib (tokoh-tokoh Muhammadiyah); Habib Rizieq bin Syihab, Habib Muhsin al Atthas, Habib Abdurrahman as Segaf (FPI); Ust. Hartono Jaiz (penulis); Ust. Husain Umar (Dewan Dakwah); Dr. Salim Bajrei (al-Irsyad); Prof. Dr. Eka Rojatun dekan fak. Pertanian Unibraw, Prof. Dr. Ir. M. Nuh DEA rektor ITS, Prof. Dr. Deliar Noor (kalangan akademik), KH. Alawi Muhammad Sampang, KH. Ahmad Tijani (ulama Madura), Dr. Hidayat Nur Wahid (PKS), KH. Syukron Makmun (Jakarta), Ust. Abdul Shomad (UAS), KH. Idrus Ramli (Pakar Aswaja Asy’ariyah),  Buya Yahya (Da’i), Mahendradata SH. (coordinator Tim Pengacara Muslim), Umar Basyarahil, pimpinan pusat Gema Insani Press, Ahmad bin Toha Al-Munawwar, pimpinan percetakan dan penerbit Karya Toha Putera Semarang (kalangan penerbitan), Al Habib Ali Al Hamid, pengasuh majlis ta’lim masjid Thaha bin Umar Seiwun Hadramaut (ulama dari Yaman), As Syaikh Salim Alwan (ulama dari Libanon); As Syaikh Muhammad Al Fathani (ulama dari Thailand). Muhammad Hesslerr Hussein (pengusaha sukses dari Malaysia). Tentu masih banyak yang tidak mungkin ditulis namanya satu persatu, termasuk sejumlah tokoh di Malaysia, Singapura, Philipina, dst.

Aktifitas Dakwah

    Orang yang mendengarkan ceramah-ceramah KH. Luthfi Bashori baik yang disampaikan lewat mimbar Jum’at, majlis ta’lim atau tabligh akbar, akan menangkap kesan keteguhan dalam memegang prinsip yang diyakininya, serta keberaniannya dalam menentang kemungkaran yang terjadi di tengah masyarakat, baik pada level pemerintahan maupun masyarakat secara umum. Di saat menyampaikan materi pembahasan, KH. Luthfi Bashori selalu menyesuaikan dengan situasi dan kondisi para pendengarnya. Adakalanya dengan aksen keras, tegas, dan lugas, namun di saat lain beliau menyampaikan dengan cara yang sejuk, lembut, dan komunikatif, sekalipun demikian kesan tegas tidak pernah hilang dari dirinya. Demikian juga tatkala beliau mengulas makalahnya yang disajikan dalam seminar-seminar, termasuk di saat menjawab pertanyaan-pertanyaan, gaya penyampaiannya dikenal sangat mudah dimengerti dan mampu memuaskan audiens. Sejak pulang dari Makkah Al Mukarramah tahun 1991 hingga sekarang, Ust. Luthfi tetap istiqamah dalam menempuh cara ini.

    Beliau juga selalu berada di barisan paling depan menentang penyebaran aliran-aliran dan ajaran-ajaran sesat semacam Syi’ah, Wahhabisme, Islam Liberal, sinkretisme (pencampuradukkan agama), manunggaling kawulo gusti (penyatuan diri dengan Tuhan), ruwatan (sedekah) bumi, fenomena doa bersama muslim dan non muslim, dan sebagainya, sekalipun dalam melakoninya KH. Luthfi Bashori harus berhadapan dengan tokoh sekelas Gus Dur dan Megawati.

    Tatkala Gus Dur mengatakan, “NU adalah Syi’ah kultural, buktinya NU senang membaca shalawat Daiba’.” Dengan tegas Ust. Luthfi mengomentari, “Pendapat itu adalah upaya pembodohan publik dan pembodohan terhadap ummat yang dilakukan oleh Gus Dur, sebab As Syaikh Abdurrahim bin Ali bin Muhammad As Syaibani Al Yamani Az Zabidi As Syafi’i, pengarang kitab maulid Ad Daibai’, tiada lain adalah ulama bermadzhab Sunni-Syafi’i, sebagaimana termaktub dalam biografinya.”

    Menurut KH. Luthfi Bashori, di dalam muqaddimah qanun asasi Jami’yyah Nahdlatul Ulama, Hadlratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, melarang warga NU terpengaruh dan ikut aliran sesat, termasuk Syi’ah Zaidiyyah. Perlu diketahui bahwa Syi’ah Zaidiyyah menurut para ulama, kesalahannya tidaklah terlalu besar, kelompok ini hanya mengatakan bahwa Sayyidina Ali bin Abi Thalib RA, lebih Afdhal dari pada Sayyidina Abu Bakar As shiddiq RA dan Sayyidina Umar bin Khattab RA . Itupun sudah diantipasi oleh Hadlratus Syaikh. Apalagi Syi’ah Imamiyyah yang kini berkembang di Indonesia, dengan tokoh idolanya Khomaeni, di mana kelompok ini telah mengkafirkan Sayyidina Abu Bakar RA dan Sayyidina Umar bin Khattab RA, bahkan mengakafirkan mayoritas sahabat Nabi Muhammad SAW, sebagaimana yang tertera di dalam buku-buku rujukan utama mereka. Tentunya apa yang disampaikan Gus Dur, sangat bertentangan dengan wasiat pendiri NU, KH. Hasyim Asy’ari tersebut.

    Al Habib Abdurrahman bin Husain As Segaf, pengasuh Pesantren Ihyaus Sunnah Pasuruan, merangkap sebagai ketua FPI Jawa Timur pernah mengatakan: “Sekarang ini jarang sekali orang NU yang benar-benar NU tulen, seperti jamannya KH. Hasyim Asy’ari. Nah, di antara orang-orang NU yang jarang sekali ditemukan itu adalah KH. Luthfi Bashori. Maka sangat keliru kalau ada orang yang mengatakan bahwa KH. Luthfi Bashori telah keluar dari NU, justru KH. Luthfi Bashori yang berjuang memurnikan NU, agar menjadi NU asli seperti saat didirikan dahulu.”

    Bersama Habib Thahir bin Abdullah Al Kaff (muballigh asal Tegal); Drs. Habib Muhammad bin Hasan Baharun (muballigh dan penulis dari Malang); Habib Ahmad bin Zain Al Kaff (yayasan al Bayyinat berpusat di Surabaya); KH. Dawam Anwar (pengurus PBNU); Kh. Irfan Zidni (ketua lajnah falakiyah dan dewan syuro PBNU); Ust. H.M Amin Djamaluddin (pimpinan lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam, Jakarta); dan beberapa ulama terkemuka, KH. Luthfi Bashori sangat getol memerangi dan mengantipasi penyebaran aliran Syi’ah Imamiyyah di kalangan Umat Islam, baik lewat pengajian umum, tabligh akbar, seminar, tulisan, rekaman video, hingga permohonan resmi pelarangan penyebaran Syi’ah lewat jalur pemerintah di era Presiden Soeharto. Bahkan di akhir era pemerintahan Presiden Soeharto itu, pemerintah sempat menyatakan secara resmi Syi’ah adalah aliran sesat yang perlu diwaspadai, tiada lain berkat keuletan para ulama yang berjuang bersama KH. Luthfi Bashori.

    Bersama KH. Athian Ali (ketua FUUI berpusat di Bandung), beliau pernah mengeluarkan fatwa mati bagi Ulil Abshar Abdalla yang divonis telah menghina Islam, karena tulisannya di Koran Kompas: ‘Tidak ada hukum Tuhan. Yang ada adalah prinsip-prinsip umum yang universal’.

Dalam suatu acara di Yogyakarta, di hadapan ribuan simpatisan yang juga dihadiri para wartawan asing non muslim yang meliput acara tersebut, KH. Luthfi Bashori sempat melontarkan salam khusus pada para peliput dari kalangan non muslim, “As saam ‘alaikum!” (racun atas kalian!). Tindakan ini diambil sebagai reaksi atas tekanan dan kedzaliaman Amerika dan musuh-musuh Islam terhadap kaum muslimin, yang saat itu sangat gencar terjadi.

    Pada saat FPI memperingati salah satu hari jadinya di Jakarta, karya tulis KH. Luthfi Bashori yang diberi judul, “11 September Hari Anti Amerika Sedunia” ikut mewarnai acara tersebut, bahkan dicetak ribuan lembar dan disebarkan di kalangan yang hadir. Dalam acara silaturrahim Nasional Ulama dan Habaib yang di gelar di Jakarta dan dirilis oleh hampir seluruh stasiun televisi secara langsung, sosok KH. Luthfi Bashori tampak duduk di deretan meja narasumber dan ikut aktif menolak calon presiden wanita serta calon presiden yang diindikasikan menjadi boneka Amerika.

    Dalam ceramahnya, beliau sering mengelompokkan komunitas muslim menjadi dua bagian; muslim konsisten dan inkonsisten. Muslim ‘konsisten’ menurutnya, adalah kalangan umat Islam yang selalu bersemangat memperjuangkan dan memurnikan ajaran Islam yang berafiliasi pada ajaran ulama salaf Ahlussunnah wal jama’ah dan tidak keluar dari jalur syariat. Sedang muslim ‘inkonsisten’ adalah sebaliknya, seperti kaum syi’ah, kelompok liberal, pelaku dan pendukung sinkretisme (pencampuradukan agama-agama, seperti mengadakan acara keagamaan bersama muslim-non muslim), sekulerisme, komunisme (yang kini ajarannya marak digandrungi oleh kalangan mahasiswa di perguruan-perguruan tinggi berlabel Islam), westernisasi, dan upaya pendangkalan agama serta pemurtadan umat.

    Dalam dunia dakwah, KH. Luthfi Bashori, ternyata telah melanglang buana ke pelbagai kota di Indonesia. Adapun kawasan yang sudah beliau masuki, adalah hampir seluruh kota di Jawa Timur, seperti Banyuwangi, Bondowoso, Jember, Probolinggo, Pasuruan, Malang, Surabaya, Tuban, Kediri, Jombang, dan lain-lain. Di Jawa Barat, seperti Bandung, Garut, Cirebon, dan lain-lain, termasuk juga di ibu kota Jakarta. Beliau juga sering berdakwah di luar pulau Jawa, seperti pulau Sumatra, pulau Sulawesi, pulau Kalimantan, Kepulauan Riau, pulau Bali, pulau Lombok, dan di hampir semua wilayah di Indonesia. Kota Batam terutama, ibarat kota ke dua di tanah air setelah Malang Raya yang menjadi tempat terfavorit bagi KH. Luthfi Bashori dalam menjalankan program Safari Dakwahnya.

    Bahkan, KH. Luthfi Bashori juga memiliki jadwal rutinitas dakwah di negara Malaysia, dengan aktif memberikan kajian ilmiah di masjid-masjid, majelis ta’lim, kampus, atau kajian di rumah-rumah penduduk asli warga Malaysia, hingga mereka merasa cukup familiyar dengan kehadirah KH. Luthfi Bashori di tengah-tengah mereka.

Hampir semua kota-kota besar di Malaysia yang sering dikunjungi oleh KH. Luthfi Bashori dalam rangka Safari Dakwah. Biasanya ditempuh dengan durasi sekitar 10 hingga 15 hari, beliau berkeliling dari satu wilayah ke wilayah yang lain, sebut saja di Kuala Lumpur, Selangor, Malaka, Johor, Kedah, Perlis, Penang, Kuantan, Pahang, dan kota-kota besar lainnya. Hingga nama KH. Luthfi Bashori cukup dikenal oleh warga Malaysia, terutama sebagai Ulama Aswaja yang sering bersinergi dengan dua sahabat karibnya dalam dunia dakwah, yaitu KH. Idrus Ramli dan Buya Yahya, dan nama beliau bertiga ini cukup familiyar di kalangan telinga warga Malaysia sebagai Tiga Serangkai Tokoh Aswaja asal Indonesia.  

Aktifitas Organisasi

    Dunia pendidikan dan dakwah yang selama ini digeluti, seakan kurang sempurna apabila tidak dikembangkan di tengah masyarakat luas. Sehingga beliau melebarkan sayap dakwahnya di tengah masyarakat dengan aktif di berbagai organisasi dan pergerakan Islam, diantaranya sebagai mantan Ketua Komisi Hukum dan Fatwa MUI Kabupaten Malang dua periode, Wakil Rais Syuriah MWC.NU Singosari dua periode, Ketua FORMAIS (Forum Masyarakat Islam Singosari), anggota FUUI (Forum Ulama Umat Indonesia) Bandung Jabar, mantan penasehat MMI (Majelis Mujahidin Indonesia) pusat, mantan penasehat FPI (Front Pembela Islam) Jatim, penasehat FSPS (Forum Silaturahim Peduli Syariat) se Malang Raya, penasehat FKRM (Forum Komunikasi Remaja Masjid) kabupaten Malang, penasehat Tim Fakta dan ARIMATEA cabang Malang (dua organisasi yang berkecimpung dalam membentengi umat Islam dari maraknya kristenisasi), pencetus ide munculnya forum ilmiah dalam rangka memberantas liberalisme yang menyusup ke dalam tubuh ormas NU agar menjadi Lurus kembali, Ketua Dewan Penasehat Tastafi (Tasawuf, Tauhid, Fiqih) gerakan penyebaran faham Aswaja di kalangan masyarakat Aceh yang tersebar di seluruh Indonesia, anggota KKNU1926 gerakan penyelamatan ormas NU yang dimotori oleh KH. Sholahuddin Wahid Tebuireng Jombang, dan masih banyak ormas-ormas maupun forum-forum yang meminta beliau untuk aktif bersama mereka.

    Karena sering aktif berdakwah di Jakarta, beliau juga dilibatkan dalam kegiatan ulama se-Jabodetabek, termasuk saat menyampaikan amanat umat Islam kepada Prof. Dr. BJ. Habibi, tatkala menjabat sebagai presiden RI. Demikian pula di pulau Madura, beliau seringkali menghadiri rapat-rapat yang diadakan oleh para ulama Madura guna membahas permasalahan sosial yang terjadi di tengah masyarakat Madura hingga persoalan nasional. Termasuk saat berdialog dengan Prof. Dr. Amien Rais tatkala menjabat sebagai ketua MPR dalam rangka menjaga marwah Islam di tengah masyarakat. Apalagi saat beliau aktif ditunjuk sebagai salah satu pengurus harian Hai’ah As Shofwah, sebuah organisasi yang menaungi seluruh alumni ma’had As Sayyid Muhammad bin Alwi Al Maliki Al Hasani, yang rata-rata anggotanya adalah para ulama dan habaib pemangku pesantren dan majlis ta’lim dari pelbagai belahan Indonesia.

KH. Luthfi Bashori juga aktif mengisi kajian-kajian ilmiah dengan tema yang sangat variatif, baik yang diselenggarakan di masjid-masjid, majelis ta’lim, pesantren-pesantren, tabligh akbar, seminar-seminar dan lain sebagainya.

    Dengan seabrek organisasi dan kegiatan yang diterjuninya, seakan membuat perhatian dan kepeduliannya terhadap masalah sosial keagamaan sangatlah besar, tidak hanya pada sekup lokal saja, tetapi juga pada tataran umat Islam secara luas. Ust. Ali Rahbini, yang pernah menjabat sebagai sekretaris As Shofwah, merasakan manfaat yang besar dengan keberadaan KH. Luthfi Bashori dalam jajaran fungsionaris Hai’ah As Shofwah. Pria asal Gondanglegi Malang itu mengatakan, “Hai’ah As Shofwah adalah sebuah organisasi yang bergerak dalam bidang Tarbiyah dan Dakwah, maka sosok KH. Luthfi Bashori yang dikenal ‘komplit’ dan ulet, sangatlah cocok duduk dalam kepengurusan harian. Belum lagi kepedulian dan kegetolannya di dalam membentengi umat Islam dari aliran-aliran dan perilaku bid’ah dhalalah (sesat) yang keluar dari aqidah Ahlussunnah, hal ini sesuai dengan visi dan misi Hai’ah As Shofwah.”

    Dengan keaktifan KH. Luthfi Bashori di berbagai kalangan, tanpa membeda-bedakan kultur dan latar belakang organisasi, menjadikan pemikiran beliau diterima oleh banyak pihak, baik dunia pesantren, pergerakan Islam, kampus, dan di tengah masyarakat pada umunya. Inilah alasan beliau menjalin hubungan dakwah dengan berbagai kalangan dari berbagai latar belakang, agar pemikiran dakwah beliau diterima luas, alias langkah beliau ini bukan sebagai tindakan “kutu loncat” terutama untuk mencari kedudukan yang berorientasi penumpukan dana. Karena itu pula KH. Luthfi Bashori selalu menolak jika diajak untuk menjadi pengurus partai atau pencalonan Pilkada & Pilgub atau yang semisalnya. Kecuali jika ada kepentingan demi kemashlahatan Islam dan umat Islam.

    Secara konkrit, perjuangan beliau sering diwujudkan dengan menggandeng aparat terkait dalam memberantas kemaksiatan, budaya non muslim yang melanggar Syariat, atau semacam upaya Kristenisasi di beberapa daerah. Seruan tegas KH. Luthfi Bashori lewat mimbar jum’at dan karya tulis baik dalam format buku maupun artikel pendek, serta produksi video youtebe berdurasi panjang, maupun video pendek format Whatsapp kerap kali mewarnai dunia medsos (media sosial) dalam menyikapi problematika yang dihadapi oleh umat Islam di tanah air, maupun penindasan dan perampasan hak-hak umat Islam di seluruh dunia, seperti di Uighur, Rohingya, Iraq, Palestina, Afghanistan dan di berbagai belahan dunia lainnya.

    Beliau juga tak segan mengirim para muridnya terutama berdomisili di pesantren Ribath untuk ikut membantu perjuangan beliau, dengan cara bernegoisasi dengan pihak aparat, serta terjun ke desa-desa dalam berdakwah dan menyebarkan stiker-stiker anti kemaksiatan dan lain sebagainya.
Karya Tulis

    KH. Luthfi Bashori juga begitu aktif menulis kajian-kajian Islam. Talenta menulis beliau ini barangkali merupakan ‘warisan’ dari sang ayah, KH. Basori Alwi, yang juga dikenal sebagai penulis dan penerjemah kitab. Sejak kecil, KH. Luthfi Bashori sudah aktif menulis karya-karya semacam puisi, cerpen dan essay. Beberapa karyanya di usia kanak-kanak pernah dimuat di Majalah Anak-anak Kawanku. Saat ini, sesuai dengan kapasitas ilmu dan dunia yang beliau geluti, beliau sudah berhasil melahirkan karya-karya tulis baik yang berbentuk artikel maupun buku. Materi kajian yang sering beliau angkat adalah tentang kritik sosial keagamaan.

    Ada beberapa artikel beliau yang dimuat di media massa dan beberapa bukunya sudah diterbitkan. Di antaranya yang sangat fenomenal adalah buku Al Qur’an Versi Syiah Tidak Sama dengan Al Qur’an Kaum Muslimin yang dicetak sebanyak 150.000 eksemplar oleh berbagai simpatisan dan disebarkan secara cuma-cuma. Juga buku Musuh Besar Umat Islam yang pernah diterbitkan oleh beberapa penerbit, seperti Wihdah Press Yogyakarta. Gema Insani Press Jakarta, dan dicetak sendiri secara berkala oleh beliau untuk dijadikan buku panduan di Pesantren Ilmu Al Quran dan Ribath Al murtadla. Buku Musuh Besar Umat Islam ini, disamping diberi kata pengantar oleh Dr. Fuad Amsyari (tokoh Muhammadiyyah), sudah sering kali dibedah oleh aktifis pergerakan Islam di berbagai tempat, di antaranya di Universitas Brawijaya Malang, masjid Jami’ Pandaan, pesantren al Anwar Sarang Rembang, PMII cabang Purworejo Jateng dan di kota-kota besar lainnya seperti Solo, Yogyakarta, Madura dan lain sebagainya. Buku lain yang telah ditulis antara lain, Di Balik Upaya Pembubaran Depag, NU dan Sekularisme, Presiden Wanita dalam Wacana Hukum Islam, dan sebagainya. Satu judul materi yang ditulis Ustadz Luthfi pernah dimuat dalam musykilat NU, yaitu buku karya bersama KH. Yusuf Hasyim; KH. Irfani Zidni; Ir. Sholahuddin Wahid; H. Said Budairi; Gus Ishom Hadziq; KH. Luthfi Bashori. Buku tersebut dicetak sampai ribuan eksemplar, saat menjelang diresmikannya undang-undang multi partai di Indonesia.

Termasuk karya beliau yang cukup fenomenal adalah buku Dialog Sunni & Wahhabi Seputar Amaliah warga Aswaja. Buku ini beliau cetak sendiri secara berkala dan dijadikan buku panduan di kedua pesantren yang diasuhnya, serta dipasarkan lewat media online oleh petugas yang tunjuk. Buku ini juga sering dibedah oleh berbagai komunitas.

Karya tulis harian KH. Luthfi Bashori yang berupa ribuan artikel dakwah, sekaligus ratusan video ceramah maupun video pendek beliau, dapat dilihat lewat akun webset yang beliau kelola bersama para stafnya pada alamat www.pejuangislam.com yang dirintis sejak tahun 2009.
Bisyarah

    Padatnya aktifitas yang digeluti oleh KH. Luthfi Bashori, tidak lepas dari sebuah motivasi spiritual dalam bentuk bisyarah (kabar gembira), yang dialaminya tatkala beliau berdomisili di kota Madinah. Kala itu beliau bermimpi diajak Rasulullah SAW berhijrah dari Makkah ke Madinah bersama Sayyidina Abu Bakar RA. Dalam mimpi tersebut, Rasulullah SAW menaiki onta dan disertai Sayyidina Abu Bakar RA yang berjalan di sebelah kanan Rasulullah SAW. Sedang KH. Luthfi Bashori mendapat tugas memegang tali kekang onta untuk menuntun onta tersebut dari arah depan. Tatkala mendekati kota Madinah, Rasulullah SAW memerintahkan KH. Luthfi Bashori untuk mengajak penduduk Madinah masuk Islam. Lantas KH. Luthfi Bashori berlari kecil menuju ke penduduk Madinah dan berteriak: “Aslimuu…Aslimuu…Aslimuu…” (masuklah Islam 3x).

    Makna mimpi ini lantas ditanyakan kepada salah satu guru beliau, Syeikh Abdullah Dardum dan mendapat jawaban: “Arrukyaa Asshalihah tasurru walaa taghurru” (Mimpi yang baik itu akan menggembirakan dan tidak akan menipu). Karena jawaban ini dirasakan masih umum, beliau lalu memberanikan diri untuk menanyakan langsung pada guru besar beliau, Sayyid Muhammad Al Maliki Al Hasani, yang kemudian memberi takwilan bahwa kelak KH. Luthfi Bashori akan meneruskan perjuangan Rasulullah SAW.

Kedekatan dengan Para Habaib

    Pria yang selalu bersarung dan berbaju-berpeci putih ini juga dikenal akrab dengan para habaib. Beliau sering hadir pada acara-acara yang digelar oleh para habaib di berbagai kota besar. Hal ini dapat dimaklumi karena ditunjang oleh kemampuan berbahasa Arabnya yang cukup memadai, belum lagi wajah, penampilan good looking, dan karakter beliau yang nyaris kearab-araban, mendukung diterimanya figur beliau di kalangan komunitas warga keturunan Arab tersebut. Bahkan, sejak tahun 2000 beliau mempersunting seorang wanita keturunan Arab, Ny. Fatmah Obed Bamajbur dari kota Indramayu yang hingga kini mendampingi hidup beliau.

KH. Luthfi Bashori dikenal dekat dengan para Habaib sepuh, seperti Habib Anis Al Habsyi shahibul haul (Solo), Habib Agil Al Atthas shahibul haul (Jember), Habib Ahmad bin Ali Al Atthas (alm) shahibul haul (Pekalongan), Habib Hasan bin Husain Al Haddad shahibul haul (Tegal) dan saudara-saudaranya, Habib Alwi bin Salim Al Aidrus, pengasuh majlis ta’lim Al Islami (Malang), Habib Muhammad bin Syeikh bin Yahya, pengasuh Pesantren Jagasatru (Cirebon), Habib Ali Ba Faqih seorang ulama kharismatik yang usianya di atas 100 tahun, dari daerah Negara (Bali), Habib Hasan Baharun, muballigh dan penulis (Bondowoso), Habib Muhsin Al Atthas, pengasuh Pesantren Babul Khairat (Lawang).

Pencetus Arak-arakan Maulid di Singosari

    Bersama dengan Habib Muhammad bin Ali bin Agil, pengasuh majlis ta’lim al Hidayah Malang, KH. Luthfi Bashori mencetuskan ide untuk mengadakan peringatan Maulid Nabi setiap tanggal 12 Rabi’ul Awwal, pukul 08.00 pagi, dengan didahului pembacaan tahlil di pesantren yang didirikannya, Ribath Al Murtadla Al Islami Tumapel. Lantas dilanjutkan arak-arakan para habaib dan ulama yang semuanya berpakaian putih-putih, dengan diiringi shalawat dan terbang banjari, serta payung khusus untuk pembicara, serta bendera-bendera besar bertuliskan Arab ‘Laa ilaaha illallah” dan berbagai bendera kecil hingga arak-arakan tersebut tampak sangat meriah, berjalan bersama seluruh santri menuju pesantren rintisan ayahnya, Pesantren Al Qur’an (PIQ).

Peringatan maulid dengan arak-arakan tersebut telah berjalan mulai tahun 2000, yang rata-rata dihadiri oleh lebih dari 100 habaib se-Malang Raya maupun dari luar kota, serta para Ulama dari berbagai tempat yang ikut memeriahkan acara tersebut.

    Di era tahun 2000, cara ini merupakan suatu tradisi baru di kota Singosari dan cukup menyita perhatian masyarakat, lebih-lebih rute yang ditempuh mengharuskan peserta arak-arakan melintasi jalan raya protokol Malang-Surabaya. Tak pelak arak-arakan yang dibantu pihak kepolisian tersebut cukup memacetkan sejenak lalu lintas pengguna jalan raya.

    Dalam merespon ide cemerlang KH. Luthfi Bashori ini, Habib Muhammad bin Agil, saat berbaring di rumah sakit menjelang kewafatannya, selalu menganjurkan kepada para penjenguknya yang rata-rata dari kalangan para habaib, untuk ikut memeriahkan acara Maulid yang digagas oleh KH. Luthfi Bashori yang lebih familiar di kalangan para habaib dengan panggilan Ustadz Luthfi, “Kalau cinta sama ana, ente harus menghadiri Maulid di tempat Ust. Luthfi…!” tegas beliau suatu saat. Di waktu yang lain Habib Muhammad bin Aqil berujar kepada para tamunya, “Ana dan Ust. Luthfi ini satu, jangan dipisah-pisahkan, makanya ente harus hadir di majlis (maulid)-nya Ust. Luthfi...!”

    Di antara para penceramah pada acara maulid tersebut adalah Habib Hadi Al Kaaf (Malang), Habib Husain bin Agil (Probolinggo), Habib Qosim Baharun (Bangil), Habib Agil Al Athttas (Jember), habib Abdurrahman As Segaf (Pasuruan), dan Habib Thohir bin Abdullah Al Kaaf (Tegal, Jateng), Hb. Ali bin Abdullah Al kaaf (Jakarta), Hb. Muhammad bin Ahmad Vad’aq (Jakarta), Hb. Hamid Naqib BSA (Jakarta), Habib Abdillah Al habsyi (Surabaya), Hb. Jamal Ba’agil (Malang), dan sejumlah penceramah dari kalangan habaib lainnya.

Kegiatan ini juga tidak terlepas dari peran Habib Agil bin Ali bin Agil yang menggantikan kedudukan kakaknya, Alm. Hb. Muhammad bin Ali bin Aqil selaku koordinator para habaib se Malang raya.
Sebuah komentar manis pernah terlontar dari Habib Agil Al Athttas (Jember) saat ikut diarak, “Ya khair maqam ya Ustadz Luthfi (kedudukan yang mulia untukmu, Ust. Luthfi)”.

Kesan manis ini juga dibarengi dengan semakin meningkatnya antusias masyarakat dan para hadirin yang turut mendukung acara tersebut dari tahun ke tahun. Habib Agil bin Ali bin Agil, adik kandung dari Habib Muhammad bin Ali bin Agil (Malang), penerus perjuangan kakaknya, pernah mengatakan, “Termasuk bentengnya para Habaib untuk wilayah Malang Utara adalah Ustadz Luthfi”.

Kedekatan dengan para Kyai Sepuh

KH. Luthfi Bashori juga dikenal dekat dengan sejumlah Kyai sepuh, dan beliau senang bertabarrukan dan mohon doa dengan cara sowan ke kediaman mereka. Di antara sekian banyak para ulama sepuh yang sempat didatangi untuk sowan bahkan seringkali beliau diajak berdiskusi terkait kondisi keumatan:

1.    KH. Yusuf Hasyim, putra KH. Hasyim Asy’ari, Tebuireng Jombang.
2.    KH. Abdullah Faqih, Langitan Lamongan.
3.    KH. Maimun Zubair, Sarang Rembang
4.    KH. Alawi Muhammad, Sampang Madura
5.    KH. Khotib Umar, Jember
6.    KH. Hasan Abdillah, Banyuwangi
7.    KH. Ahamad Subadar, Pasuruan.
8.    KH. Syukran Makmun, Jakarta.
9.    Maulana Kamal Yusuf, Jakarta.
10.    KH. Masruri Abdul Mughni, Benda Brebes.
11.    KH. Hamid Baidhowi, Lasem.
12.    KH. Zaki Ubaid, Pasuruan.
13.    KH. Endang Bukhari, Sumedang.
14.     KH. Mudatstsir Badruddin, Pamekasan.
15.    KH. Abdul Aziz Masyhuri, Jombang.
16.    KH. Mahfudz, Slatri Malang.
17.    KH. Mahmud Zubaidi, Malang.
18.    KH. Abdul Wafi & KH. Zuhri, Nurul Jadid Paiton.
19.    KH. Abdul Jalal, Nurul Qadim, Paiton.
20.    KH. Nawawi Abdul Jalil, Sidogiri Pasuruan

Tentunya masih banyak nama-nama para ulama sepuh yang sudah disowani oleh KH. Luthfi Bashori, terlebih di saat beliau sedang berdakwah di hampir seluruh wilayah di Indonesia, maka beliau seringkali meminta tolong kepada panitia pengajian, agar mengantarkan beliau untuk sowan kepada ulama sepuh yang tinggal di wilayah tersebut.

Artikel yang cukup mengesankan

Dari ribuan artikel yang telah ditulis oleh KH. Luthfi Bashori, ada satu artikel yang cukup mengesankan, terutama bagi warga NU yang merindukan suasana keagamaan di Indonesia itu kembali seperti jaman dahulu, yaitu bagaimana umat Islam dapat menjalankan ritual agamanya yang sesuai dengan ajaran para pendiri NU, serta ajaran para sesepuh ulama yang benar-benar berpegang teguh pada ajaran kitab-kitab para ulama Salaf Ahlussunnah wal Jamaah.


RINDU NU TEMPO DOELOE

(Luthfi Bashori)

“Jangan kotori NU kami dengan intrik-intrik politik, serta arogansi perebutan jabatan di pemerintahan dengan menjual kebesaran nama NU, sungguh nista siapa saja yang telah melakukannya”.

    Suatu saat, penulis bertemu dengan PNS (Pegawai Negeri Sipil) di salah satu instansi pemerintah Kodya Malang. Ia bersama beberapa kawan, yang kebetulan ada keperluan yang sama. Tiba-tiba orang ini spontan mengucapkan salam, mengajak berjabat tangan, berangkulan layaknya sahabat karib.

Terkaget saya, karena merasa kurang begitu kenal. Belum sempat bertanya, siapa dia, justru lelaki ini spontan memperkenalkan penulis kepada kawan-kawannya.

“Ini namanya Gus Luthfi Bashori. Saya sering membaca tulisan-tulisannya. Saya senang sekali dengan pemikiran Gus Luthfi ini. Karena Gus Luthfi selalu mengajak kita, agar lebih mengenal wajah NU zaman dulu,” katanya.

Selesai? Belum!

Katanya, NU zaman dulu itu dipegang para ulama sepuh, pemahaman dan pendapatnya mengikuti ajaran para ulama salaf Ahlussunnah Wal Jama’ah. “Gus Luthfi ini selalu mengajak kita untuk menteladani perilaku para sesepuh NU zaman dulu. Itu yang menjadikan hati ini senang, tentram dan sangat merindukan kembalinya Ormas NU zaman dulu, asli dan murni…!” tambahnya.
Baik!

Penulis dan semua orang yang ada di situ, hanya tersenyum manggut-maggut. Pertanda setuju dengan apa yang ia terangkan. Ini menandakan betapa semakin banyak kalangan nahdliyyin, akar rumput NU yang menyadari, bahwa, apa yang mereka temukan dalam tubuh NU dewasa ini, sudah banyak menyimpang, berubah dari kondisi asli organisasi NU saat didirikan oleh Hadlratus Syeikh KH. Hasyim Asy’ari bersama para ulama sepuh lainnya.

Betapa mereka Rindu NU Tempo Doeloe.

    Dulu, NU adalah organisasi yang jauh dari intrik-intrik politik. Bukan organisasi yang kental dengan aroma kepartaian sekuler. Organisasi yang jauh dari upaya mencari kucuran dana-dana syubhat yang tidak jelas halal-haramnya. Bukan organisasi yang haus kucuran dana Syi’ah-Iran, atau dana Wahhabi Saudi maupun dana yang berasal dari kalangan liberal Barat.

    Dulu, NU organisasi yang lebih banyak mengurusi orang yang mengkaji ayat-ayat Al Qur’an, Hadits Nabi Muhammad SAW dan ilmu para ulama salaf yang tertera dalam kitab kuning. Bukan organisasi yang konsentrasi mengurusi ayat-ayat konstitusional.

    Dulu, NU adalah organisasi yang lebih mengedepankan wawasan keislaman dalam bingkai ketasawwufan dengan penguatan aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah sebagai pijakan beragama bagi seluruh warganya. Bukan organisasi yang sekedar mengutamakan wawasan keislaman itu sendiri.

    Dulu, NU adalah organisasi menolak kehadiran aliran sesat. Sebagaimana yang diajarkan oleh Almaghfurlah Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari. Bukan organisasi yang melegalkan sikap toleransi terhadap keberadaan aliran sesat, seperti Wahhabisme, Syi’ahisme dan Liberalisme dengan mengatasnamakan wawasan kebangsaan atau HAM secara berlebihan.

    Dulu, NU adalah organisasi yang aktif melawan upaya kristenisasi bangsa Indonesia yang dilakukan oleh penjajahan Belanda, dan berani menyatakan perang melawan mereka. Bukan organisasi yang ikut aktif menjaga gereja di saat malam Natal, serta gemar berbasa-basi sibuk mencari dalil untuk mengucapkan selamat Natal kepada kaum kafir itu.

    Dulu, NU adalah organisasi yang melanjutkan dakwah Walisongo secara bertahap melakukan Islamisasi bangsa Indonesia, yang semula mayoritas penduduk Indonesia adalah penganut Animisme, Dinamisme, Hindhu dan Buddha, hingga bisa berubah total menjadi umat Islam yang jumlahnya mayoritas. Bahkan sebagai penghuni wilayah Indonesia yang mengamalkan ajaran Al Qur’an, Hadits serta isi Kitab Kuning dengan parameter bahasa Arab, sekalipun dalam memahaminya tetap menggunkan bahasa daerah. Bukan organisasi yang sengaja berupaya mengindonesiakan ajaran Islam yang asli, dengan cara semisal publikasi Jawaisasi lagu pembacaan Al Qur’an (Al Qur’an langgam ngremo Jawa), akhirnya secara bertahap warga NU menjadi alergi terhadap segala sesuatu yang berbau Arab lewat jargon Islam Nusantara.

    Dulu, NU adalah organisasi yang didirikan Hadratussyeikh KH. Hasyim Asy’ari, penulis beberapa kitab agama, semua isinya menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar. Bukan organisasi yang mengingkari pentingnya Arabisasi umat Islam dunia, karena Al Qur’an itu sendiri adalah kitab suci yang diturunkan Allah SWT dengan mengunakan bahasa Arab.

Bahkan Nabi Muhammad SAW menerangkan, cinta kepada Arab merupakan tanda keimanan dan membencinya merupakan tanda kekufuran. Siapa yang mencintai Arab berarti mencintai Nabi Muhammad SAW, dan barangsiapa yang membenci Arab berarti membenci beliau SAW.

Nabi Muhammad SAW bersabda: Cintailah Arab karena tiga hal (dalam riwayat lain, jagalah hak-hakku melalui Arab karena tiga hal): Pertama, karena aku orang Arab. Kedua, Al Qur’an berbahasa Arab dan Ketiga, pembicaraan ahli surga dengan bahasa Arab.

Mencintai bangsa Arab dan menjaga kelestariannya adalah termasuk cahaya dalam Islam. Kekuatan bangsa Arab adalah kekuatan Islam, dan kelemahan bangsa Arab, adalah kelemahan Islam.

Nabi Muhammad SAW bersabda, “Pertama-tama orang yang mendapat syafa’at dari umatku adalah Ahlulbait-ku, kemudian yang paling dekat dari keluargaku, orang yang paling dekat dari kaum Quraisy kemudian kaum Anshar, kemudian orang yang beriman kepadaku dan mengikutiku dari orang-orang Yaman, kemudian seluruh bangsa Arab, kemudian seluruh bangsa Ajam (non Arab), barangsiapa yang mendapatkan syafa’atku  pertama kali adalah yang paling afdhal.” (HR. At Thabrani).

Arab bukan berarti identik dengan Saudi Arabia. Arab juga bukan berarti identik dengan Wahhabisme. Menggenalisir tuduhan dakwah Arabisasi di tengah umat Islam dunia sebagai gerakan Wahhabisme, adalah sebuah keserampangan dan kesemberonoan tingkat tinggi yang tidak mudah dimaafkan. Karena Hadratussyeikh KH. Hasyim Asy’ari adalah alumni Makkah Al Mukarramah Al Arabiah yang justru menjadi garda terdepan dalam melawan gerakan Wahhabisme di Indonesia.

    Dulu, NU adalah organisasi yang mencintai Arab karena Al Qur’an diturunkan di wilayah Arab dengan menggunakan bahasa Arab, kepada Nabi Muhammad SAW yang berbangsa dan yang berbudaya Arab.

    Dulu, NU adalah organisasi yang tidak melarang setiap warganya untuk melakukan segala aktifitas yang berbau kedaerahan masing-masing, selagi tidak berseberangan dengan ajaran Syari’at Islam, yang datang dari seorang Nabi yang berbangsa Arab. Sehingga tidak pernah terjadi perdebatan antara tradisi tanah air dengan tradisi Arab, bahkan saling melengkapi. Bukan organisasi yang semakin liberal mengikuti kaum orientalis Barat, yang apriori terhadap produk Arab dan segala macam yang terkait dengannya.

Dulu, NU adalah organisasi yang sangat menghormati otoritas para ulama Salaf, dan menghormati para penuntut ilmu agama yang diajarkan oleh para ulama Salaf lewat kitab-kitab kuning, serta menghormati para penyimak ilmu agama yang baik, dan menghormati orang yang mencintai Ahli Ilmu.

Bukan organisasi yang mengajarkan sikap curiga terhadap mereka yang bersusah payah melestarikan penerapan dan pengalaman Syari’at di tengah kehidupan umat Islam secara riil, dengan memberi stigma negatif sebagai kelompok purifikasi agama, kaum yang kolot, kaum terbelakang, bahkan dengan tuduhan radikal, ekstrem serta teroris dan istilah-istilah lainnya yang seharusnya ditentang oleh NU.

Jangan Kotori dengan Intrik Politik 

    Salah seorang ulama Salaf mengatakan: “Maha suci Allah, Dia telah memberi jalan keluar bagi kaum muslimin. Yakni, tidak akan keluar dari ke empat golongan manusia yang dipuji tadi, melainkan golongan yang kelima, alias golongan yang binasa, yaitu seorang yang bukan alim, bukan penuntut ilmu, bukan penyimak yang baik dan bukan pula orang yang mencintai Ahli Ilmu, maka ialah orang yang binasa.”

Sebab, barangsiapa membenci Ahli Ilmu, berarti ia ‘pasti’ mengharapkan kebinasaan mereka. Barangsiapa yang mengharapkan kebinasaan Ahli Ilmu, berarti ia menyukai padamnya cahaya Allah di atas muka bumi. Sehingga kemaksiatan dan kerusakan merajalela. Kalau sudah begitu keadaanya, dikhawatirkan tidak akan ada amal yang terangkat (diterima). Demikianlah yang dikatakan oleh Imam Sufyan Ats Tsauri.

Dulu, NU adalah organisasi yang membangun mindset warganya agar sangat menghormati para ulama, dengan keyakinan bahwa menghormati ahli ilmu agama itu termasuk pengagungan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Musa Al Asy’ari RA, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:

“Sesungguhnya termasuk pengagungan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, yaitu memuliakan orang tua yang muslim, orang yang hafal Al Qur’an (ahli ilmu agama) tanpa berlebih-lebihan, atau berlonggar-longgar (menghamba) di dalamnya dan memuliakan penguasa yang adil.”

    Nah! Kembalikan NU kami kepada kondisi yang dulu, di mana dengan susah payah dibangun oleh para pendirinya, dengan peneguhan aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah, yang mengikuti fiqh madzhab Syafi’I, tanpa menafikan tiga madzhab lainnya. Bertauhid sesuai ajaran Imam Asy’ari – Maturidi, dan bertasawwuf ala Imam Junaid Al Baghdadi, Imam Ghazali dan Habib Abdullah Al Haddad, sebagai tasawwuf yang berstandar Syari’at, bukan bertasawwuf wali-walian (mengaku jadi wali lantas beranggapan dirinya boleh melanggar Syari’at, seperti meninggalkan shalat atau berkolaborasi ritual dengan pihak gereja).

Jangan kotori NU kami dengan intrik-intrik politik, serta arogansi perebutan jabatan di pemerintahan dengan menjual kebesaran nama NU, sungguh nista siapa saja yang telah melakukannya. Peribahasa menyatakan: Kullu khairin fittibaai man salaf, wa kullu syarrin fibtidaai man khalaf (mayoritas kebaikan itu saat meneladani ajaran para ulama Salaf, dan mayoritas kerusakan itu saat terbawa arus kesesatan orang-orang sekarang). Wallahu ‘alam


Komentar Prof. Dr. Ustadz H. Abdul Somad, Lc, M.A (UAS)       

“Saya tak ingin membenci NU hanya gara-gara ‘nila setitik, rusak susu sebelanga’. Kalau ada yang bertanya, Ustadz, NU ini siapa yang bisa kita ikuti? Ikuti tiga. Kiai Haji Luthfi Bashori, Kiai Haji Idrus Ramli dan Buya Yahya. NU . Dalam ritual dia ikut madzhab Syafi’i, dalam fiqh tetap Syafi’i, dalam aqidah ikut Imam Asy’ari, dalam tasawwuf ikut Imam Junaid Al Baghdadi. Tidak terkena virus sekuler dan liberal.”
   
      
   

   
 Isikan Komentar Anda
   
Nama 
Email 
Kota 
Pesan/Komentar 
 
 
 
 
 
Kembali Ke atas | Kembali Ke Index Karya Ilmiah
 
 
 
  Situs © 2009-2025 Oleh Pejuang Islam