Suatu kali, Nabi
sedang duduk bersama beberapa sahabat beliau. Tiba-tiba Nabi mendongak ke
langit dan berkata, "Kiamat akan tiba bila ilmu sudah dicabut".
Ziyad bin Labid,
seorang Anshar, bertanya bagaimana mungkin ilmu akan dicabut dari mereka,
sedangkan mereka punya kitabullah dan mengajarkannya kepada anak dan isteri.
"Kukira kau
adalah orang yang paling pandai di Madinah ini", ujar Nabi. "Tidakkah
kau tahu bahwa umat Yahudi pun tersesat, padahal mereka masih memiliki
Kitabullah?"
Perawi Hadits ini,
Jubair bin Nufair, mendatangi Shaddad bin Aus dan menyelidiki detail hadits
tersebut bersamanya. "Tahukan kau bagaimana ilmu dapat dicabut?"
Shaddad bertanya dan Jubair menjawab tidak tahu. "Bila wadahnya
dicabut," ujar Shaddad.
"Tahukah kamu
ilmu apa yang akan dicabut?" tanyanya lagi. Jubair pun tetap mmenggeleng.
Shaddad menerangkan bahwa ilmu yang akan dicabut adalah takut kepada Allah.
"Tidak akan kau
saksikan lagi orang yang bertakwa kepada Allah", tegasnya.
Sekarang
pertanyaannya adalah bagaimana dengan ilmu yang sudah Allah berikan kepada kita?
Apakah membawa kepada
bertambahnya rasa takut kita kepada Allah atau justru sebaliknya?
Bukankah banyak orang
yang dinilai pintar malah justru berani meragukan kebenaran dan keotentikan
Alquran?
Ternyata menurut
hadits tersebut, banyaknya ilmu yang kita punya, tingginya titel kependidikan,
dan menterengnya tempat kita menimba ilmu hingga mendapatkan predikat pintar
tidak dapat dijadikan ukuran. Dengan tegas hadits itu menjelaskan dan
menyiratkan dari apa yang tersurat didalamnya bahwa ukurannya tetap pada mampu
tidaknya ilmu itu membawa kita kepada rasa takut kepadaNya yang mana rasa takut
itu nantinya mampu bertransformasi menjadi ketaqwaan dan ter-implementasikan
atau nampak dalam segala tindak-tanduk ketakwaan si pemilik ilmu,. Maka dari
sinilah awal kemunculan hikmah, yakni dari sebuah pengetahuan yang benar
menurut Allah dan Rasulnya.
Tapi kalau kita mau
bercermin dan mengakui, ternyata tidak seperti itu lazimnya yang terjadi. Dengan
semakin banyak sarjana dari perguruan tinggi mentereng dalam maupun luar negeri,
dari eropa sampai timur tengah dengan
membawa titel-titel dan gelar yang menumpuk pada satu pribadi, tapi semakin
tertutup dan tertimbun hikmah-hikmah di bumi ini , demikian halnya dengan
kebijaksanaan-kebijaksanaan, dan ketaqwaan-ketaqwaan. Malah semakin tinggi
ilmunya semakin berani dan semakin lihai seorang manusia untuk mengotak-atik
ayat-ayat, hadits-hadits dan hukum-hukum Allah. Bahkan ada yang karena
kepintaran dan banyaknya literatur yang ia baca, dia justru ragu dengan
keotentikan Alquran.
Bukankah semakin lama
pelajar indonesia yang berhasil mengenyam pendidikan di luar negeri khususnya
yang mendalami ilmu agama dan segala yang berafiliasi padanya semakin lama
semakin banyak ? Mungkin zamannya Kyai Hasyim Asy’ari hanya beberapa
gelintir saja yang ditakdirkan kesana. Tapi justru kita tahu betul bagaimana
ilmu, aqidah dan ketaqwaan yang dibawa para ulama era itu mampu mewarnai dan
membawa masyarakat di tanah air kepada aqidah dan ketaqwaan yang benar. Bahkan hikmah-hikmah
yang mereka bawa sampai saat ini masih bisa kita rasakan. Bukankah seharusnya
era sekarang ditengah semakin banyaknya pelajar indonesia yang berkesempatan, bangsa
Indonesia lebih alim dan bijak, bukannya tambah bingung dengan berbagai macam
aqidah dan model yang dibawa?
Lantas apakah
gerangan yang terjadi? Apakah memang inilah tanda-tanda akhir zaman sebagaimana
yang disebutkan hadits tadi?.........
Kalau toh memang
seperti itu adanya mudah-mudahan kita senantiasa dengan hadits tadi, menjadi
orang yang mampu bercermin dan terus mengoreksi ilmu dan ketaqwaan kita ini!! Sehingga
kita mampu menjaga ilmu-ilmu yang benar
dan terus menyaring semua polutan yang ada didalamnya…….
Dan akhirnya kita termasuk orang-orang yang mendapatkan hikmah serta keridhoan
dariNya, Wallahu a’lam.