KEJAHATAN TAKARAN TIMBANGAN
Luthfi Bashori
(Dinikul dari buku Kisah 25 Rasul, karya Dhuroruddin Mashad)
Kejahatan alias curang dalam menakar telah terjadi sejak lama. Ketika membeli minta dilebihi, tatkala menjual diam-diam mengurangi. Itulah perbuatan curang, mau untung sendiri. Kalau berdagang maunya dengan modal sekecil-kecilnya, namun mengharap untung sebesar-besarnya, persis tabiat kaum Yahudi.
Prinsip ala Yahudi ini cenderung melahirkan orang-orang loba bin serakah, menjadi bibit dari sikap menghalalkan segala cara, the end justifies the means, al-gayyah tubarrir al-wasilah.
Islam mengajarkan kepada umatnya agar berdagang dengan untung sewajarnya, tak eksploitatif, tak menebarkan tipu. Curang dalam timbangan adalah realisasi dari prinsip ekonomi: modal sekecil-kecilnya dengan untung sebesar-besarnya.
Kejahatan ekonomi dengan curang dalam timbangan merupakan dosa tak terampunkan. Tuhan mengancam, `Masuk neraka Wail-lah orang-orang yang menimbang, yakni orang-orang yang suka mengurangi timbangannya.`
Mengurangi timbangan bisa dalam dua pengertian.
1. Timbangan barang dagangan, sehingga orang lain dirugikan. Perbuatan ini sama dengan mengambil hak orang lain dengan diam-diam tanpa keridhoan alias mencuri, maling bin ngembat. Mengingat diancam dengan neraka Wail, maka `Wahai para pedagang` berhati-hatilah dalam menimbang, hindari menggunakan timbangan yang telah rusak yang dapat menyebabkan merugikan pembeli.
2. Timbangan bisa berupa keadilan dalam hukum dan peradilan. Tegakkan hukum sebuah perkara berdasar pada subtansi dan nurani keadilan, bukan pada barang bukti nyata sering kali bisa direkayasa. Hakim yang menerima suap, lantas memutuskan perkara dengan menguntungkan pihak penyuap, apalagi orang yang salah dibenarkan dan orang yang benar disalahkan, maka si hakim terkena dua dosa, yakni: menimbang secara tidak imbang yang ancamannya neraka Wail, dan ancaman dosa akibat penyuapan. Rasulullah SAW mengingatkan dalam sabdanya: `Orang yang menyuap dan yang disuap sama-sama masuk neraka.` Oleh karena itu, Rasulullah melaknat orang yang menyuap, yang disuap, dan perantara terjadinya penyuapan.
Bahkan, seorang hakim yang tanpa suap ternyata memutuskan perkara dengan tak adil, bertentangan dengan ruh dan nurani keadilan, dia tetap terkena dosa akibat menimbang secara tidak imbang. Akibat beratnya tanggung jawab seorang hakim (di dunia sampai akhirat), maka Abu Musa al-Asy`ari misalnya, menolak ketika ditunjuk Khalifah Umar ibnul Khattab sebagai wazir (hakim) di wilayah Mesir. Abu Musa ingat bahwa dua pertiga dari hakim akan masuk neraka, sementara hanya sepertiganya yang masuk surga.
Keadilan dalam Islam menempati posisi sangat utama, yang oleh Tuhan disebut refleksi sifat ketakwaan. `Berbuat adillah kamu, sebab keadilan itu lebih dekat pada ketakwaan.` Bahkan, kepada orang yang kita benci sekalipun Islam menandaskan agar tetap adil kepadanya, `Janganlah kebencian kamu pada suatu kaum menyebabkan kamu berbuat tidak adil pada mereka.` ketika benci saja dilarang berbuat tak adil, apalagi ketika tidak benci.
Memang pada akhirnya akan ada keterkaitan antara tradisi curang dalam menimbang komoditi dan ketidakadilan dalam pemerintahan. Dalam konteks ini, Rasulullah SAW mengingatkan betapa berat implikasinya tatkala kecurangan dalam menimbang telah merajalela.
Bila masyarakat telah mentradisi mengurangi berat sukatan dan timbangan, maka mereka akan mengalami musim paceklik, yaitu musim yang bumi menjadi tandus, gersang tidak bisa menumbuhkan tanaman sekalipun ada hujan yang turun padanya. Biaya penghidupan semakin berat dirasa dan pemerintahan pun semakin tidak adil.
Catatan ilustrasi untuk jaman sekarang, kejahatan takaran timbangan bisa juga diartikan kecurangan tindak korupsi, mulai dalam hal yang ringan seperti korupsi waktu, korupsi jatah pangan hingga yang berat seamisal penyalahgunaan jabatan yang merugikan masyarakat dan negara hingga trilyunan rupiah semisak skandal Bank Century.