CORONA & RUMAH TANGGAKU
Luthfi Bashori
Hidup bersama seorang istri dan empat orang anak, tentu banyak sekali dinamika yang datang silih berganti dalam kehidupanku.
Rasanya, sejak enam tahun yang lalu, saat putrikku yang besar berangkat mondok di sebuah pesantren, apalagi tiga tahun berikutnya disusul oleh salah satu adiknya yang belajar juga di pesantren, maka praktis aku jarang sekali makan bersama keluargaku secara lengkap, seperti dahulu, yaitu bisa duduk satu meja sebanyak tiga kali dalam sehari, kecuali hanya beberapa kali saja di saat ada liburan pesantren.
Itupun biasanya anak-anakku sering mengajak teman pesantrennya untuk menginap di rumah, hingga ada suatu sekat yang membatasiku untuk dapat berkumpul bersama keluarga secara lengkap.
Dulu sebelum mereka mondok, aku sering mengajari kitab-kitab kecil. Namun sejak ke dua putriku mondok, jadi jarang sekali aku duduk bersama-sama untuk mengaji kitab lagi.
Dua adiknya yang lain, terhitung masih terlalu kecil jika akan diajak mengaji kitab, karena keduanya masih kelas empat dan lima SD. Jadi yang lebih dibutuhkan oleh mereka adalah guru les bagi pelajaran sekolah Madrasah Ibtidaiyah.
Istriku terhitung sangat rajin memanggil guru-guru les buat anak-anaknya. Bahkan ia juga ikut mengontrol agar anak-anaknya itu serius saat belajar kepada beberapa guru les privat yang didatangkan ke rumahku.
Dengan situasi demikian, maka waktuku lebih banyak aku berikan kepada para santri yang hidup bersama di pesantrenku.
Belum lagi jadwalku untuk melaksanakan kewajiban di luar rumah, terhitung sangat padat. Masyarakat banyak yang memintaku untuk mengadakan Safari Dakwah, tentunya sangat sulit bagiku untuk mengatakan `tidak` kepada mereka.
Terlebih guruku juga masih tetap mengontrol kegiatan dakwahku, hingga beliau sempat berpesan kepadaku secara khusus, "Hendaklah engkau tetap istiqamah berdakwah dalam membimbing umat !"
Namun, sejak adanya musibah virus Corona, maka akupun lebih memilih banyak berada di rumah.
Saat aparat pemerintah menerapkan kebijakan lockdown terhadap masyarakat terkait wabah Corona, aku pun menerapkan `lockdown` bagi keluargaku.
Yang ingin aku bicarakan di sini, bukan urusan hukum syariat atau mungkin juga hukuman bagi masyarakat terkait kebijakan lokcdown, atau yang semisalnya, akan tapi rasanya ada hikmah yang aku temukan saat ini.
Ternyata selama enam tahun terakhir, aku menyimpan rasa kerinduan untuk selalu berkumpul bersama keluargaku. Yaitu aku sendiri, istriku dan anak-anakku.
Aku rindu makan bersama mereka satu meja dalam sehari tiga kali. Aku rindu menyaksikan mereka shalat berjamaah yang aku imami sendiri, tentunya juga bersama para santri lelaki di pesantrenku, dengan cara yang telah aku atur sedemikian rupa sejak lama, dan ternyata aku juga rindu mengajari keluargaku mengaji kitab secara bersama-sama.
Di saat musim liburan Corona ini, aku terapkan apa yang aku rindukan itu, bahkan aku sengaja membaca kitab yang paling ringan untuk aku kaji bersama keluargaku setiap bakdal Ashar, yaitu kitab Akhlak untuk pemula, karya Syekh Umar bin Ahmad Baraja, tentunya aku kupas untuk mereka sedemikian rupa dan aku sesuaikan dengan sikon dalam rumah tanggaku.
Satu pasal demi satu pasal aku bacakan dan aku jadikan bahan dasar untuk menasehati serta mengarahkan mereka.
Untuk menguji kepahaman putri-putriku itu, maka tiap kali selesai pembacaan satu pasal, dan aku terangkan sejelas-jelasnya, maka aku minta kepada mereka secara bergiliran untuk merangkum keterangan yang aku sampaikan, mulai dari yang terkecil, kelas 4 SD hingga yang terbesar, kelas 3 SMA.
Kemudian aku minta mereka berdiri satu persatu untuk menyampaikan ulang apa yang telah mereka dengarkan dariku.
Jadi hampir setiap bakdal Ashar, seakan-akan ada lomba pidato yang para pesertanya tiada lain adalah putri-putriku sendiri.
Betapa bahagianya hatiku, terutama saat menyaksikan tumbuh-kembangnya anak-anakku yang semakin lama semakin tambah dewasa dalam berpikir, tentunya sesuai dengan perkembangan usia mereka masing-masing.
(Terima kasih ya Allah)