Menyambung Silaturahim, Merajut Ukhuwah
Mafahim
Konflik yang terjadi di lingkungan keluarga adalah hal yang biasa terjadi. Pemicunya beragam, mulai dari masalah pribadi, harta, warisan, sampai pada masalah perbedaan keyakinan (madzhab, golongan, dan paham keagamaan) yang terjadi antar anggota keluarga.
Belakangan faktor terakhir ini menjadi pemicu utama terputusnya hubungan silaturahim yang sulit dirajut kembali. Sehingga akibat perbedaan ini, seorang kakak dan adik menjadi terpisah, tidak saling sapa layaknya tidak saling kenal. Fenomena sosial ini seharusnya menjadi bahan renungan bagi kita semua. Sebab silaturrahim berkorelasi dengan keimanan seseorang. Mengapa persoalan ini harus direnungkan? Bukan sekedar renungan tentunya, tapi dicari akar persoalannya.
Institusi keluarga adalah salah satu komponen masyarakat. Keakraban sebuah keluarga, merupakan konstribusi besar bagi terwujudnya umat Islam yang utuh, dan bersatu padu (ukhuwah Islamiyah). Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam telah mewanti-wanti persoalan ini melalui ayat al-Qur\`an dan as-Sunnah. Beliau memberi kabar akan bahaya memutus keluarga dan memuji orang yang menyambungnya.
Ancaman Allah Subhanahu wa Ta`ala terhadap pemutus keluarga sangat serius. Dalam surat Muhammad (ayat 22-23), Allah Subhanahu wa Ta`ala memvonis mereka sebagai orang yang terkutuk, dengan telinga ditulikan dan penglihatannya dibutakan. Artinya, nasihat-nasihat baik tidak akan bisa masuk telinga dan merasuk hatinya. Ia juga kesulitan melihat kebenaran (al-haq) walaupun kebenaran itu nyata di depan mata. Dalam ayat lain Allah Subhanahu wa Ta`ala juga memberi mereka predikat orang fasik dan merugi (al-Baqarah 26-27), terkutuk dan penghuni neraka jahannam (al-Ra`d 25). Ancaman al-Qur`an ini kemudian dita`kid (dikuatkan) oleh hadis Rasulullah Shallahu `alaihi wa sallam, yang artinya:
"Tidak masuk surga orang yang memutus keluarga"
Ta`kid dari hadis Rasulullah shallahu `alaihi wasallam ini semakin menunjukkan bahwa ancaman Allah terhadap pemutus tali silaturrahim benar-benar serius.
Dari sini dapat dipahami bahwa silaturrahim (menyambung tali kekerabatan) bertalian dengan keimanan seseorang. Silaturrahim adalah salah satu identitas seorang mukmin. Seorang mukmin mempunyai tabiat selalu menjaga keakraban dengan keluarga dan bila keluarga itu terputus, ia segera menyambung dan mengadakan ishlah. Rasulullah shallahu `alaihi wasallam bersabda, yang artinya:
"Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah menyambung keluarga (silaturrahim)".
Mengomentari dua hadis tersebut, Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad menyatakan bahwa hukuman orang yang memutus kerabat sungguh berat. Hukuman itu tidak hanya di akhirat tapi juga ditimpakan sejak di dunia. Sebab, menurut beliau memutus tali kekerabatan termasuk dari salah satu dosa besar. Bahkan dosa itu berimplikasi kepada orang-orang di sekitarnya.
"Sesungguhnya Rahmat itu tidak diturunkan kepada kaum yang di dalamnya ada seorang pemutus keluarga".
Arti Hadis di atas menunjukkan bahwa dosa memutus kerabat juga berakses negatif (dicabutnya rahmat Allah) terhadap orang-orang yang berada di sekitarnya.
Barangkali, hilangnya rahmat Allah Subhanahu wa Ta`ala itu dapat kita rasakan pada beberapa masyarakat saat ini. Masyarakat begitu mudahnya tersulut amarah, emosi bahkan pembunuhan terhadap saudara atau tetangga sendiri sering terjadi. Belum lagi himpitan ekonomi yang semakin mencekik dan musibah yang terus datang bertubi-tubi. Fenomena-fenomena ini semakin meyakinkan bahwa sedikit demi sedikit Allah Subhanahu wa Ta`ala melenyapkan rahmat-Nya.
Saudara yang berpisah dan berseteru bisasanya disebabkan pada masalah perebutan harta, warisan, kecemburuan, dan soal pribadi. Konflik dalam masalah-masalah tersebut sudah biasa terjadi dan sering terdengar telinga kita. Dan pada beberapa kasus, problem itu dapat terselesaikan dengan damai.
Kalau soal harta, kita sering mendengarnya. Tapi sebenarnya ada faktor lain yang mungkin akhir-akhir ini menjadi fenomena baru. Persoalan perbedaan pandangan agama kadang menjadi pemicu terjadinya konflik antar keluarga atau antar anggota masyarakat – pada beberapa kasus, masalah ini sulit didamaikan.
Kehadiran oraganisasi, gerakan agama, atau madzhab yang terbilang baru oleh masyarakat akhir-akhir ini – atau meminjam istilah ketua PBNU KH. Hasyim Muzadi sebagai “syaiun ja’a” sering kali dipersoalkan dalam keluarga. Anggota keluarga yang memegang kuat tradisi keagamaan dari pendahulunya akan mempermasalahkan saudaranya yang ikut gerakan baru. Keluarganya tidak ingin dimasuki madzhab "asing" yang berbeda dengan tradisi keagamaan para pendahulu.
Seseorang yang sudah mendalami madzhab baru tersebut biasanya berusaha kuat menyebarkannya kepada orang terdekat atau saudaranya. Sedang, anggota keluarga lain yang memegang tradisi pendahulunya tidak akan rela melepaskan begitu saja. Ajaran dan doktrin keagamaan harus diturunkan kepada anak cucu. Maka, bila tidak saling memahami, konflik saudara akan terjadi.
Sebelum gerakan baru yang bersifat transnasional itu hadir, instalasi konflik keluarga berkisar pada masalah kecemburuan dan harta. Sejak menyebarnya paham baru itu, keharmonisan sedikit terusik. Masyarakat kita yang memegang kuat tradisi keagamaan secara turun-temurun – yang diwariskan dari wali songo – memang tidak dengan mudah menerima tradisi baru itu.
Dari perbedaan-perbedaan ini terjadilah salah komunikasi dengan anggota keluarga. Bahkan ada seorang mahasiswa yang aktif dalam gerakan baru di kampusnya rela putus hubungan dengan keluarganya demi berjuang menyebarkan madzhab barunya. Di rumah, ia tidak betah karena keluarganya menolak diajak masuk madzhab baru.
Perbedaan pandangan itu bermacam-macam kadarnya. Besar-kecilnya konflik juga bergantung dengan kadar perbedaan tersebut. Perbedaan yang belum menyentuh akar teologis biasanya masih bisa diakhiri dengan bijaksana dan damai. Saat terjadi perbedaan hari raya misalnya yang terjadi beberapa kali, orang sempat bersitegang dengan saudara yang berhari raya tidak sama. Tetapi ketegangan itu bersifat sementara – bila masing-masing mengerti. Selanjutnya kedua pihak bisa berangkulan.
Memang kedewasaan sikap seperti itulah yang seharusnya dimiliki masing-masing pihak. Sebagaimana wasiat Abuya Muhammad bin Alwiy al-Maliki rahimahullah agar umat Islam mendahulukan wihdatul ummah dari pada mempersoalkan perbedaan furuiyah. Berdasarkan fakta di lapangan, dalam persoalan beda furu` masing-masing masih bisa mentolelir. Gap pemisah belum begitu jauh, dan pihak-pihak yang berseturu bisa saling adaptasi.
Lain ceritanya bila perbedaan itu sudah menyentuh akar teologis, antar anggota keluarga biasanya sulit dikompromikan. Masing-masing memegang prinsip teologi secara kuat. Yang sering terjadi misalnya adalah benturan teologi Sunni-Syi`i. Memang, bila persoalan itu menyentuh akar teologi (akidah) sulit dikompromikan. Kalau sudah beda pohon, maka buahnya pun berbeda.
Keluarga, yang sejak nenek moyangnya memengang tradisi Sunni, akan menurunkan tradisinya kepada anak-anak dan kerabatnya. Ketika anggota kerabat dan saudaranya belum mengenal gerakan transnasional dari Iran itu, keakraban dan keguyuban sangat terasa dalam keluarga. Apalagi pada saat hari raya. Secara bergantian mereka saling mengunjungi rumah. Tetapi saat ada anggota kerabat yang menyimpang dari tradisi, suasana guyup di hari raya menjadi sulit ditumbuhkan. Yang ada adalah kekakuan, dan keakraban yang semu. Masing-masing saling menjauh. Seorang tokoh mengaku bahwa sejak keponakannya aktif di pengajian “ahlul bait”, ia jarang bertemu. Bahkan saat hari raya pun si keponakan tidak berkunjung ke rumahnya.
Musibah seperti ini pernah di alami oleh Nabi Nuh alaihissalam dengan anaknya Kan’an. Tatkala Nabi Nuh alaihissalam dan ketiga putranya Sam, Ham, Jafits beserta pengikutnya yang beriman sudah berada di dalam kapal, karena ada banjir bandang – Kan’an yang kafir menolak ajakan Nabi Nuh alaihissalam menaiki kapal.
“Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah,” tolak Kan’an. Akibat menolak ajakan ayahnya itu, ia ditenggelamkan oleh Allah dihempas air bah beserta kaum Nabi Nuh alaihissalam yang kafir. Nabi Nuh alaihissalam sedih atas musibah ini, seraya berseru, “Ya Allah ia adalah anakku!” Tapi apa jawaban Allah?
"Wahai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu, sesungguhnya perbuatannya adalah perbuatan yang tidak baik\" (QS. Hud: 45). Mendapat jawaban dari Allah Subhanahu wa ta`ala, Nabi Nuh paham bahwa anaknya telah memutus tali kerabat sekaligus memutus keimanan, ia bukan lagi anaknya. Oleh sebab itu dia harus merelakannya diazab oleh Allah Subhanahu wa ta`ala.
Qan`aan, dalam kisah tersebut walaupun mempunyai hubungan darah, tapi ia menganggap sudah tidak ada hubungan lagi dengan ayahnya. Padahal Nabi Nuh sangat menantikan ia kembali kepada Allah Subhanahu wa ta`ala dan berkumpul kembali bersama saudara-saudaranya. Beliau berusaha menyambung tali silaturrahim, dengan mengajak kembali kepada Allah. Tapi karena karena ia tetap memegang prinsip kekafirannya, Allah Subhanahu wa ta`ala memisahkannya dengan Nabi Nuh alahihissalam.
Dari kisah tersebut, kita semakin yakin dengan apa yang telah disabdakan Rasulullah Shallahu `alaihi wa sallam. Orang yang menyambung silaturrahim akan selalu dinaungi rahmat Allah Subhanahu wa ta`ala, sebaliknya orang yang memutus hubungan silaturrahim akan dihimpit laknat Allah Subhanahu wa ta`ala. Qan`an dalam kisah tersebut menolak ajakan Nabi Nuh untuk merajut tali silaturrahim. Akibatnya, Allah Subhanahu wa ta`ala menimpakan adzab kepadanya.