BAGAIMANA JIKA ALLAH TELAH MEMANDANG HAMBANYA?
Luthfi Bashori
Allah adalah Dzat yang Maha Kuasa dan Maha Pemberi. Tidak ada siapa atau sesuatu pun yang dapat mencegah atau membatasi kedermawanan Allah, jika Dia telah melimpahkan rejekinya kepada makhluk.
Pemberian Allah kepada setiap makhluk-Nya, sangatlah besar bahkan tak mungkin seseorang itu sanggup untuk menghitungnya. Wai ta’uddu ni’matallahi la tuhshuha (apabila kalian akan menghitung kenikmatan Allah, maka kalian tidak akan mampu membatasi hitungannya).
Dari sekian banyak makhluq Allah itu, tentu ada para hamba yang diberi kekhususan dalam urusan pembagian rejeki. Terkadang ada orang yang hampir dalam seluruh hidupnya, hanya dipergunakan untuk berbuat taat kepada Allah, dan tidak banyak tersita oleh hiruk pikuk dunia, namun Allah memperhatikan pembagian rejeki kepada orang tersebut, justru bersumber dari hal-hal yang tidak pernah disangka-sangka.
Sering didengar dalam kisah-kisah teladan, bagaimana ada seorang yang dalam menjalani kehidupannya, mereka memilih untuk lebih banyak mendekatkan diri kepada Allah, yang secara dhahir tidak tampak kapan bekerja dalam mencari ma’isyah, namun justru diberi rejeki yang lebih melimpah dibanding orang-orang yang telah menghambakan dirinya kepada kehidupan duniawi, bahkan terlalu sibuk dalam mengumpulkan harta, hingga melupakan kewajiban beribadah kepada Tuhan-nya.
Tentunya kejadian yang semacam demikian ini, tiada lain karena urusan rejeki itu pastilah Allah yang telah mengaturnya. Kata orang, tak akan lari gunung dikejar. Kalau sudah rejeki, tidak akan kemana.
Diceritakan bahwa Syekh Hatim Al-Asham berkata kepada anak-anaknya, “Sesungguhnya aku ingin pergi haji.”
Maka mereka menangis seraya berkata, “Kepada siapa engkau serahkan kami?”
Di antara putrinya berkata kepada saudaranya, “Diamlah Biarkan dia (ayah), beliau bukan pemberi rezeki. Sesungguhnya Allah, Dialah yang memberi rezeki.”
Maka terjadilah pada mereka bermalam dalam keadaan lapar dan menyalahkan saudara perempuannya itu. Kemudian ia berkata, “Ya Allah, jangan permalukan aku di antara mereka”
Pada suatu hari penguasa kota itu lewat dan meminta air. Kemudian keluarga Syekh Hatim memberikan sebuah kendi berisi air dingin, lalu penguasa kota itu meminumnya. Ia bertanya “Rumah siapa ini?”
Mereka menjawab, “Rumah Syekh Hatim Al-Asham.”
Maka ia (penguasa itu) lemparkan sebuah sabuk dari emas. Penguasa itu berkata kepada teman-temannya, “Barangsiapa menyukai aku, hendaklah ia melakukan seperti aku.”
Kemudian orang-orang yang biasa hidup bersasma sang penguasa, ikut melemparkan barang-barang berharga seperti yang dikalukan oleh sang penguasa kota. Maka putri Hatim itupunn menangis.
Ibunya berkata, “Mengapa engkau menangis, sedangkan Allah telah melapangkan rezeki bagi kita?”
Sang Putri menjawab, “Seorang makhluk melihat kepada kita sehingga kita menjadi kaya. Lantas apa pendapatmu terhadap Sang Pencipta Yang Maha Agung yang menundukkan makhluk ini, sehingga mengarahkan hati sang pengusa kepada kita.”
Maksudnya, itu baru seorang makhluk yang kaya karena menjadi seorang penguasa, atau raja yang memandang dengan iba lantas memberi. Apalagi jika yang memandang itu adalah Allah Yang Maha Kaya.
Maka alangkah bahagianya seseorang yang selalu berusaha melakukan pendekatan diri kepada Allah sehingga dipandang Allah dengan pandangan Rahmat.