Ahlussunnah wal Jamaah,
Sebuah Konsep Inovatif
BANG OEMAR
Isu strategis yang kini dibidik orang-orang non muslim terhadap Islam adalah menciptakan imej negatif (buruk) terhadap Islam. Secara eksternal, imej bertujuan untuk menanamkan kebencian orang luar terhadap Islam. Secara internal, untuk menjauhkan umat Islam sendiri dari agamanya. Sebab apabila sudah tertancap dalam benak kaum muslimin, bahwa agama yang mereka peluk adalah agama yang mengajarkan kekerasan atau pemicu pertikaian, mereka akan meningalkan agamanya dan akan berpindah ke agama lain, atau—bisa jadi—memilih untuk tidak bergama. Imej negatif yang gencar dilancarkan antara lain, terorisme, fundamentalisme, anti demokrasi, anarkhis, premanisme, barbaris, radikal, dan ekstrimis.
Ini adalah scenario global yang terorganisir rapi yang saat ini sudah mulai merambah disetiap benak kaum muslimin, lebih-lebih non muslim. Isu ini digulirkan sebagai wujud ketakutan (phobia) mereka terhadap Islam. Mereka khawatir Islam jaya dan akan menggeser hegemoni dan idologi mereka, yaitu idiologi kapitalisme, materialisme, hedonisme, dan imperialisme model baru. Sebab Islam adalah satu-satunya musuh besar yang masih tersisa bagi kaum kapitalis setelah runtuhnya rezim komunis.
Untuk memperkuat asumsi negatif terhadap Islam tersebut, mereka memberikan kriteria menurut mereka sendiri. Kriteria tersebut berupa penampilan fisik dan pola pikir. Sehingga apabila ada seorang muslim yang ingin melaksanakan ajaran agamanya, tetapi menampilkan pola prilaku atau pola pikir tertentu, maka diklaim jaringan Islam fundmentalis, radikalis, ekstrim. Sehingga umat Islam menjadi tidak bebas dalam menjalankan ajaran agamanya sendiri.
Ironisnya, di saat musuh-musuh Islam gencar melakukan serangan berupa pelabelan negatif, pada saat yang sama pula ada sekelompok umat Islam yang menampilkan wajah Islam yang tidak ramah dan kurang bersahabat. Kehadiran kelompok ini bukan hanya membuat risih orang-orang diluar Islam, tetapi umat Islam sendiri merasa kurang sreg dengan pola prilakunya. Hal ini memperparah posisi umat Islam ditengah upaya mengembangkan dan memperkenalkan ajarannya yang penuh hikmah.
Ekstrimisme adalah pola prilaku yang melampaui batas kewajaran dalam melaksanakan, memahami, mencintai dan melakukan sesuatu. Sayyid Mohammad al-Maliki memberi definisi ekstrim dengan kata “al-Ghuluw” yaitu sikap yang keluar dari garis (ketentuan) yang seimbang dan lurus, sebagaimana ajaran Islam yang berwajah moderat, seperti informasi al-Quran, “dan demikianlah, Kami jadikan kalian umat yang tengah-tengah, agar kalian (kelak) jadi saksi atas umat yang lain.” (al-Baqarah: 143). Yang dimaksud “tengah-tengah” adalah fleksibel, moderat dan tidak ekstrim di setiap zaman dan dalam ketentuan hukum.
Fenomena ekstrimisme sebenarnya sudah ada sejak sebelum Islam. Rasulullah menginformasikan dan mewanti-wanti dalam sabdanya, “jauhilah sikap ekstrim dalam beragama, hanya saja umat sebelum kalian celaka karena ekstrim dalam beragama.” (HR. Ahmad).
Orang Yahudi bersikap ekstrim dalam memperlakukan para nabinya dengan mencaci, menyiksa, mengintimidasi, menghina, mendustai, bahkan mnembunuh nabi-nabi mereka. Demikian halnya orang Nashrani, mereka esktrim dalam pemahaman idiologis dan ekspresi keagamaan. Mereka menempatkan Nabi Isa as pada kedudukan yang sejajar dengan Tuhan, lalu disembahnya. Bahkan para pendeta diposisikan sebagai perwujudan Tuhan pembuat hukum. Mereka menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Ketaatan terhadap pendetapun menjadi mutlak.
Kasus esktrimisme juga pernah terjadi pada masa nabi, sebagaimana Hadits riwayat Imam Bukhari; Tatkala ada tiga orang menghadap sang Nabi dan masing-masing menceritakan; yang satu melakukan sholat semalam suntuk, yang satu lagi berpuasa setahun penuh, sementara yang terakhir memilih hidup membujang. Namun Rasulullah menyalahkan semuanya dan menyarankan agar sewajarnya dalam beribadah sesuai sunnah Nabi.
Dari beberapa analisa historis tersebut, ternyata sikap ekstrim memiliki dua kutub yang sama-sama berpotensi negatif. Kutub yang satu adalah ekstrim dalam melaksanakan ajaran agama, seperti kaum Nashrani dan tiga sahabat Nabi; yang satu lagi ekstrim dalam melanggar agama, seperti kaum Yahudi.
Saat ini, fenomena tersebut kembali muncul dan marak merambahi ranah pemahaman ajaran Islam. Satu sisi tampil dengan pola pemahaman yang mengklaim bahwa kelompoknya paling benar, karena telah melaksanakan ajaran Islam dengan kaffah (sempurna) tanpa mencampur adukkan dengan hal-hal yang bersifat pembaharuan (bid’ah), yang disebut Ekstrim Kanan. Sisi lain, kelompok yang mengusung pola pemahaman yang inklusif, yaitu berlebihan dalam menerima ajaran dari luar tanpa adanya proses seleksi dan filterisasi yang ketat, kemudian disebut Ekstrim Kiri.
Ekstrim Kanan, cenderung bersifat eksklusif (tertutup) dalam beragama. Kelompok ini mengklaim bahwa ajarannnya paling orisinil karena hanya berpijak pada al-Quran dan al-Hadits. Sementara tawaran para ulama terdahulu tentang konsep bermazhab, Ijmak, dan Qiyas dianggapnya suatu perbuatan yang mengada-ada (bid’ah) yang tidak pernah ada pada zaman nabi. Akibatnya, muncullah pemahaman yang parsial (sepotong dan tidak utuh) tentang teks-teks keagamaan. Hal ini tidak lain karena mereka terlalu tertutup dan menutup diri dari konsep pemahaman yang tidak bersumber dari al-Quran dan al-Hadits. Pemahaman yang parsial inilah yang potensial dengan prilaku negatif, seperti anarkisme, terorisme, fundamentalisme, yang kesemuanya di”atas-namakan” agama.
Ekstrim Kiri, tidak jauh beda. Benang merah antara keduanya hanya pada masalah objek dan sikap. Kelompok ini cenderung pada pengadopsian nilai-nilai Barat—yang nota bene jauh dari nilai Islam—untuk kemudian diterapkan dalam Islam. Akibatnya, muncul penafsiran yang bebas terhadap ajaran Islam.
Barat yang senantiasa mengedepankan kerja rasio (akal) menjadi kiblat dalam metodologi pemahaman teks agama Islam. Sehingga semua doktrin agama diukur dengan akal plus fenonema sosial. Kesakralan kitab suci (al-Quran) pun ternodai. Al-Quran sudah bukan lagi sesuatu yang suci, tetapi sekedar produk budaya yang perlu adanya revisi sana-sini demi untuk memenuhi tuntutan akal dan realitas. Dengan kata lain, hukum agama (al-Quran) harus patuh kepada realitas, bukan realitas yang mematuhi al-Quran. Kelompok ini ditandai dengan munculnya Islam Liberal, Islam Inklusif, Islam Pluralis, dan yang seakidah dengannya. Dampak dari model pemahaman ini tidak kalah dahsyatnya dengan kelompok ekstrim kanan. Apabila yang pertama lebih pada teror fisik, namun yang kedua ini menteror akidah dan idiologi umat Islam secara perlahan.
Terlepas dari tendensi politik yang melingkupinya, secara internal antara dua kelompok ekstrim ini sama-sama memiliki hubungan kausalitas, sebab akibat. Kemunculan ekstrim kiri dipengaruhi kejumudan (ketertutupan) ekstrim kanan yang tidak memberi ruang kepada umat Islam untuk melakukan pembaharuan dalam Islam. Akibatnya mereka melakukan revolusi pemikiran dan menjadikan konsep Barat sebagai kiblat. Begitu pula kemunculan ekstrim kanan, adalah sebagai respon terhadap ekstrim kiri yang terlalu toleran dengan konsep Barat dan cenderung mengaburkan kemurnian ajaran Islam.
Di Indonesia, munculnya isu aktual tentang kebijakan pembredelan ormas-ormas yang bersifat anarkhis ditengarai merupakan perpanjangan dari aksi yang dilakukan oleh sekelompok umat Islam yang “dinilai” anarkhis. Begitu pula, maraknya aksi pengeboman di berbegai tempat disinylair akibat pemahaman yang parsial tentang agama.
Memang, kebijakan tersebut kurang bijak apabila hanya ditujukan kepada kelompok tertentu, apalagi umat Islam. Sebab, term ekstrims tidak harus dilabelkan pada kelompok Islam, tetapi kelompok lain yang memiliki pola prilaku yang sama. Apabila penguasa konsekwen, maka kelompok-kelompok yang sebenarnya juga ekstrim dalam melakukan kemaksiatan dan melakukan terror akidah, semestinya harus lebih dahulu diberedel juga. Maka ekstrimisme dan anarkhisme tidak akan pernah ada di negara ini.
Sebagai solusi alternatif demi mengembalikan ajaran Islam pada manhajnya yang lurus, perlu adanya penyegaran pemahaman tentang Islam yang tidak parsial dan tidak berlebihan. Maka konsep al-Tasâmuh (toleran), al-Tawâsuth (moderat), al-Tawâzun (seimbang), dan al-I’tidâl (lurus), yang merupakan konsep inovatif Ahlussunnah wal Jamaah perlu dikembangkan. Hal ini untuk membentengi arus ekstrimisme yang melanda umat Islam.
Keempat konsep tersebut dirasa sangat penting diberdayakan ditengah gelombang isu dan fitnah yang melanda umat Islam akhir-akhir ini. Tetapi bukan berarti umat Islam tidak bersikap ketika ada musuh-musuh yang mengganggu, baik secara fisik maupun non fisik. Dengan berpijak pada empat konsep tersebut, diharapkan Islam akan dapat tampil anggun namun tegas, dimata orang luar lebih-lebih dihadapan umat islam sendiri.
Inilah pentingnya penyegaran akidah oleh mereka yang kompeten dibidangnya, para kiyai, ustdadz, pengajar, dan tokoh agama. Dengan demikian, nuansa yang terbentuk adalah nuansa Islami yang penuh kedamaian, kesejukan serta ketenangan. Pada saat yang sama, akan terbuka ruang dialog yang sejuk untuk mencari jalan keluar problematika umat, serta menemukan lempang jalan menuju persatuan sebagai cita-cita tertingggi umat Islam. Namun apabila, antara satu dengan yang lain sudah tertanam rasa saling curiga, dan cenderung mengklaim kebenaran kelompoknya, maka pintu dialog yang akan mengarah pada kebersamaan akan sangat tipis sekali. Musuh-musuh Islam akan mudah mencerai beraikan kesatuan umat Islam.