Kekuatan Air Mata
BANG OEMAR
Di awal kehadiran manusia di dunia tiada kata, reaksi dan ekspresi yang pertama kali nampak selain sebuah tangisan. Tangisan itu senantiasa setia mengiringi kehadiran anak manusia di muka bumi. Dengan tangisan yang diteriakkan oleh bayi yang baru lahir, orang-orang—atau bahkan mahluk lain—disekitarnya akan sama-sama bersuka cita, ternyata sang bayi lahir dengan selamat.
Tangis sang bayi seringkali diinterpretasikan dengan pemaknaan transendent-spritual. Tangisan itu adalah perlambang “ketak-kuasaan-nya” menolak kenyataan ketika ia harus keluar dari alam rahim yang penuh kedamaian, dan lahir ke alam dunia yang penuh tipu daya. Oleh karena sang bayi adalah mahluk lemah yang tak memiliki kekuatan, maka ekspresi puncaknya hanyalah menangis.
Dari sini kita sering mendengar kata-kata bijak, “jika waktu anda lahir menangis, sementara orang-orang disekitar anda tertawa bahagia, maka disaat anda meninggalkan dunia hendaklah anda tersenyum bahagia, sementara biarkanlah orang-orang sekitar anda menangisi kepergian anda.”
Tangisan sang bayi juga dipahami sebagai tanda bahwa sang bayi lahir sempurna dan dapat bicara/bersuara. Orang akan cemas apabila bayi lahir tanpa suara atau tidak menangis. Orang akan khawatir bayinya, Naudzubillah, bisu atau bahkan mati.
Demikian halnya tangisan anak-anak dalam sebuah keluarga menjadi irama tersendiri yang menyenandungkan harmonika kebahagiaan dalam kehidupan ber-rumah tangga, dibandingkan dengan keluarga yang sepi dari tangis karena belum dikaruniai anak oleh Allah.
Tangisan identik dengan air mata. Air mata muncul mengiringi tangisan, sebab air mata adalah ekspresi nyata dari kondisi jiwa. Kendati si bayi menangis tanpa air mata, cukuplah tetes air mata bahagia sang ibu sebagai ganti.
Air mata adalah karunia agung sang Pencipta yang telah Dia ciptakan tanpa sia-sia. Karena segala yang dicipta-Nya selalu mengandung manfaat dan faedah, begitu halnya dengan air mata.
Air mata adalah wujud kecemasan dan keresahan. Air mata sebagai senjata dalam ke-takberdayaan. Air mata sebagai ungkapan akhir dari kepedihan atau kebahagaiaan. Dan air mata merupakan ekspresi puncak dalam ke-tak-kuasaan, suka atau duka.
Seseorang yang mendapat penghargaan kadang meneteskan air mata tanpa terasa karena bahagia. Orang yang menonton sinetron juga kedua matanya perlahan sembab karena haru dengan apa yang dia saksikan, duka atau bahagia. Seorang yang dilanda cinta hari-harinya akan bersimbah air mata, karena takut harapan-harapan cintanya tak tercapai sehingga ia akan menelan kecewa. Hanya air mata yang bisa diteteskan, ketika tak ada sikap yang mampu diperbuat.
Syahdan, betapa pemuda Tsauban, sahabat Rasulullah, menderai air mata ketika cemas akan berpisah dengan sang kekasih, baginda Rasulullah. Begitu halnya Sayyidina Umar yang gagah, apabila menangis ibarat gemuruh ombak atau kerumun tawon dengan cucuran air mata yang membasahi jubahnya, karena menyesali dosa-dosanya di masa silam. Wanita shufiyah, Rabiah, ia tak pernah jeda untuk menyerahkan air matanya kepada sang Kekasih, Allah Rabbul Izzati, karena rasa rindu rendam dan sejuta kekhawatiran menyelimuti jiwanya, takut cintanya di tolak oleh Sang Kekasih.
Air mata ada di mana-mana dan milik siapa saja. Allah telah menempatkannya tanpa pandang bulu, apakah orang tersebut bertakwa atau durhaka, tetaplah ia mendapat jatah air mata. Tetapi, bukan berarti air mata itu dititipkan begitu saja tanpa ada pertanggung jawaban kelak di akhirat. Kendati ia hanya berbentuk bertetes-tetes air—yang sepertinya tidak begitu berharga--, tetapi ia memiliki kekuatan yang maha dahsyat. Bahkan untuk menghancurkan sebuah negara sekalipun!
Kita perhatikan, ketika ada seorang lelaki gagah, dengan segala atribut kewibawaannya, dengan serta merta ia akan berbuat nekat di luar kewajaran dan irasional. Mengapa? Karena ia sedang dilanda cinta kepada seorang perempuan yang istimewa, sedangkan si perempuan menangis—sambil meneteskan air mata, karena hal itu satu-satunya senjata pamungkas yang ia miliki—untuk melakukan perbuatan nekat tersebut. Dan, sang lelakipun luluh oleh air mata. Atau bisa jadi, jika sang lelaki itu adalah seorang raja, ia akan berani mengumandangkan perang demi memenuhi tuntutan sang gadis yang memohon sembari menangis dan meneteskan air mata.
Demikian halnya, dalam riwayat para shâlihin dan muttaqĩn, mereka mampu mencapai derajat yang tinggi disisi Allah, diantaranya adalah dengan menyerahkan tetes air mata ciptaan-Nya hanya kepada Allah, di tengah keheningan malam, di saat orang-orang terlelap. Sehingga pada akhirnya Allah berkehendak untuk menempatkan mereka di maqâm yang tinggi di sisi-Nya, sebagaimana Sayyidina Ali Zainal Abidin ra, Rabiah al-Adawiyah, Abdullah al-Haddad, Syekh Abdul Qadir al-Jailani, dan beberapa tokoh shufi lainnya. Kitapun sering mendengar tentang perihal karakteristik ulama salaf, dimana mereka terkenal suka menangis atau cengeng. Tangisan yang dipersembahkan hanya kepada Allah dan Rasulnya, setiap waktu.
Maka, saatnya kita mengkalkulasi, sudah berapa banyak tetes air mata yang kita keluarkan selama ini. Lalu, untuk apa saja air mata itu menetes. Adakah untuk menangisi kegombalan-kegombalan cinta dan tipuan-tipuan duniawi yang tidak ada sangkut pautnya dengan penghambaan kita kepada Allah, Dzat yang telah mencipta air mata? Atau air mata itu telah dipersembahkan kepada Allah dan Rasul-Nya, sebagai wujud kecemasan dan kekhawatiran kita, jangan-jangan amal kita tidak memenuhi syarat untuk diterima, dan kita kelak akan celaka? Atau karena rindu mendalam kepada sang baginda Rasulullah, sebagaimana pemuda Tsauban? Atau, sebagai wujud ekspresi cinta kita kepada Rasulullah yang melebihi kecintaan kita terhadap diri sendiri?
Jika amal ibadah kita dirasa kurang memenuhi standar untuk di kabulkan, janganlah khawatir. Bukankah kita masih punya air mata. Kita gunakan ciptaan Allah yang satu ini sebagai amunisi untuk menebus kekurangan kita dalam beribadah, atau untuk menembus jagad Rahman dan Rahim-Nya, atau untuk meleburkan kesombongan kita di hadapan-Nya sembari menyadari dan melaporkan segala kesalahan dan dosa-dosa kita. Hanya dengan air mata, kita menuju Tuhan Sang Pencipta !
“Apabila Allah mencintai hamba-Nya, maka Dia akan mengujinya
karena senang dengan keluhan (air mata) nya”. Al-Hadits