BERUSAHA LANTAS BERTAWAKAL
Luthfi Bashori
Imam Abu Yazid RA berkata, “Jika engkau yakin bahwa tidak ada penolong bagi dirimu, tidak ada pemberi rezeki bagimu dan tidak ada saksi bagi amalanmu selain hanya Allah, maka itulah arti tawakal yang sempurna. Karena arti tawakal adalah kepasrahan hati kita kepada Allah sepenuhnya, karena kita yakin bahwa tidak suatu apa pun yang keluar dari kekuasaan-Nya dan tidak suatu apa pun yang dapat mendatangkan kebaikan dan keburukan (selain dari-Nya).”
Tawakal (bahasa Arab: توكُل) atau tawakkul berarti mewakilkan atau menyerahkan. Dalam ajaran syariat, tawakal berarti berserah diri sepenuhnya kepada Allah dalam menghadapi atau menunggu hasil suatu pekerjaan, atau menanti akibat dari suatu keadaan.
Rasulullah SAW bersabda:
“Seandainya kalian sungguh-sungguh bertawakal kepada Allah, sungguh Allah akan memberi kalian rezeki sebagaimana Allah memberi rezeki kepada seekor burung yang pergi dalam keadaan lapar dan kembali dalam keadaan kenyang “ (HR.Tirmidzi, hasan shahih)
Seekor burung tidak tahu letak di mana biji-bijian dan makanan yang akan didapatkan, bisa jadi di tempat kemarin yang ia dapatkan, sekarang telah habis persediaan biji tersebut.
Namun, usaha burung saat terbang meninggalkan sarangnya, adalah termasuk menjalankan perintah syariat sebagai bentuk ikhtiar atau usaha untuk merncari sejumput makanan.
Dalam sebuah riwayat ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, apakah saya ikat onta saya lalu tawakal kepada Allah ataukah saya lepas saja sambil bertawakal kepada-Nya ? Rasulullah SAW menjawab, “Ikatlah dulu ontamu itu, kemudian baru engkau bertawakal !” (HR. At-Tirmidzi, 2517).
Sebagai pengalaman pribadi, sering kali penulis sebagai pengasuh sebuah pesantren yang tidak memilik pekerjaaan tetap dalam dunia bisnis atau kepegawaian, mendapatkan situasi dan kondisi yang mengharuskan penulis bertawakal penuh kepada Allah, karena saat penulis berusaha untuk mendapatkan sesuatu yang penulis perlukan,
sebut saja semisal saat mencari dana pembangunan renovasi pesantren, yang secara dhahir penulis tidak mendapatkan dana dari usaha yang penulis lakukan, walaupun sudah berusaha secara sunguh-sungguh, namun ternyata Allah memberikan apa yang penulis perlukan itu dari jalur lain, yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan sama sekali, semisal tiba-tiba datang seorang tamu dermawan yang menyerahkan sejumlah dana bantuan dari pribadinya sendiri, agar penulis dapat melanjutkan renovasi pesantren.
Contoh-contoh seperti ini, bukan hanya sekali atau dua kali, namun sering kali terjadi dalam kehidupan penulis sehingga menimbulkan kepercayaan yang penuh, bahwa sebenarnya Allah telah menyiapkan orang-orang dermawan yang baik hati dan dari tangan merekalah Allah membagi rejeki-Nya kepada penulis, hingga dapat mengamalkan ajaran kewajiban berikhtiar dan bertawakal dalam kehidupan sehari-hari penulis.
Pesan penulis, “Jalani saja kehidupanmu dengan sebaik mungkin, maka Allah akan mengatur yang terbaik bagimu, tentu selagi engkau selalu berusaha berada pada jalur syariat-Nya secara baik dan benar.”