UMAT ISLAM TERPECAH BELAH
(Bedah Pemikiran Mbah Hasyim Asy’ari)
Luthfi Bashori
Dalam kitab Risalah Ahlis Sunnah wal Jamaah, KH. Hasyim Asy’ari menukil Hadits dari Imam Abu Daud, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah yang meriwayatkan dari Shahabat Abu Hurairah RA bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: “Orang-orang Yahudi terpecah belah menjadi 71 golongan. Orang-orang Nasrani terpecah belah menjadi 72 golongan, dan umatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan, semuanya di neraka kecuali satu golongan saja.”
Para sahabat bertanya: “Siapakah golongan yang selamat itu, ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Mereka adalah orang-orang yang memegang teguh apa yang kuikuti dan diikuti oleh sahabat-sahabatku.”
Dalam hadits ini, ada penyebutan angka 71, 72 dan 73 golongan. Menurut sebagian ulama, bahwa hitungan ini diambil dari keberadaan kelompok-kelompok terbesar di antara mereka, hingga jumlahnya sama dengan apa yang disabdakan oleh Rasululah SAW, adapun jika ada golongan lain yang bermunculan, maka dianggap sebagai cabang dari salah satu kelompok yang besar tersebut.
Namun sebagian lainnya berpendapat, bahwa penyebutan angka 71, 72 dan 73 itu bukan makna hakiki, melainkan gambaran yang menunjukkan arti jamak atau banyak. Seperti adanya sebagian masyarakat yang sering mengatakan, “Celaka 13”, itu bukan berarti kecelakaan atau ditimpa musibah sebanyak 13 kali, melainkan dianggap istilah bagi nasib seseorang yang seringkali ditimpa musibah, bisa saja terhitung 3, 4, 10, 13, 20, 100 kali tertimpa musibah dan seterusnya.
Selanjutnya, KH. Hasyim Asy’ari menukil pendapat Imam As-Syihab Al-Khafaji Rahimahullah dalam kitab Nasimur Riyadh yang mengatakan: “Golongan yang selamat itu ialah golongan Ahlussunnah Wal Jama’ah.”
Sedangkan termaktub dalam kitab Hasyiyah As-Syanwani ala Mukhtashar ibni Abi Jamrah disebutkan: “Mereka (kelompok yang selamat) itu adalah golongan Asy’ariyah yang dimotori oleh Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan para pengikutnya, (juga golongan Maturidiyah, yang dimotori oleh Imam Abu Manshur Al-Maturidi), yaitu kaum Ahlussunnah (orang-orang yang menghidupkan sunnah) dan ulama-ulama terkemuka. Sebab Allah SWT menjadikan mereka sebagai pemberi petunjuk bagi makhluk-Nya. Mereka adalah tempat mengadu bagi orang-orang awam dalam urusan agama mereka, dan mereka adalah orang-orang yang dimaksud dalam sabda Nabi SAW: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengumpulkan umatku di atas kesesatan.”
Bagaimana cara mendiskrepsikan golongan di kalangan umat Islam yang selamat itu, ternyata hanya ada satu saja dari 73 golongan yang disebutkan oleh Rasulullah SAW.
Pertama, hendaklah menengok hadits Rasulullah SAW yang lainnya, sebagaimana beliau SAW bersabda, “Sesungguhnya umatku tidak akan berkumpul pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian melihat terjadinya perselisihan, maka ikutilah golongan mayoritas.” (HR. Ibnu Majah, 3950).
Kedua, hendaklah mengibaratkan dunia Islam itu seperti diagram lingkaran bulat. Lantas digambarkan pula ada bagian 90% dari lingkaran tersebut berwarna putih, sedangkan 10% sisanya berwarna hitam. Maka jumlah pengikut Ahlus sunnah wal Jama’ah yang sesuai dengan madzhab Aqidah Imam Asy’ari dan Imam Maturidi adalah sebagai penghuni 90% dalam diagram berwarna putih, sedangkan sisa 10% berwarna hitam dibagi-bagi untuk semua aliran non Ahlus sunnah wal Jama’ah dengan segala variannya.
KH. Hasyim Asy’ari melanjutkan nukilannya, bahwa dalam menjelaskan hadits di atas ini, Imam Abu Mansur bin Thahir At-Tamimi mengatakan: “Para ahli bahasa meyakini bahwa yang beliau SAW maksud bukanlah golongan-golongan tercela yang berselisih paham tentang cabang-cabang fiqih, yaitu terkait masalah halal dan haram, tetapi beliau SAW bermaksud mengecam orang-orang yang berselisih paham dengan para pendukung kebenaran mengenai pokok-pokok Aqidah keyakinan, penentuan standar baik dan buruk, syarat-syarat menjadi Nabi dan Rasul, loyalitas kepada para shahabat Nabi SAW, dan masalah-masalah lain yang termasuk di dalam lingkup bab-bab ketauhidan ini. Sebab orang-orang yang berselisih paham tentang masalah-masalah ketauhidan seperti ini, saling mengkafirkan satu sama lain.
Tidak seperti yang terjadi pada masalah-masalah jenis pertama (cabang-cabang fiqih). Mereka yang berselisih paham tentang masalah-masalah fiqih ini, tidak menganggap kafir atau fasiq orang yang berbeda pendapat (ijtihad) dengan mereka. Jadi, takwil hadits tentang perpecahan umat itu merujuk kepada perselisihan paham jenis (yang kedua / aqidah ketauhidan) ini.”